Mohon tunggu...
Kamaruddin
Kamaruddin Mohon Tunggu... Jurnalis - Mengingat bersama dengan cara menulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Partisipasi Politik Perempuan di Aceh Penting dalam Pembangunan Demokrasi

1 Desember 2022   10:43 Diperbarui: 1 Desember 2022   10:45 371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banda Aceh - Partisipasi perempuan Aceh dalam parlemen masih sangat rendah. Pemerintah sudah memberikan ruang untuk partisipasi politik perempuan di legislatif 14 persen. Keterwakilan perempuan di parlemen sedikit banyak berpengaruh terhadap isu kebijakan terkait kesetaraan gender dan pemenuhan hak asasi perempuan.

Hal itu disampaikan dalam kegiatan Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI) Aceh Gathering yang didukung Women Democracy Networks (WDN) di Hotel Grand Permata Hati Banda Aceh, Selasa, 29 November 2022.

Adapun rangkaian kegiatan pada KPPI Aceh gathering berupa silaturahmi dan diskusi interaktif tentang "Memperkuat Komitmen Multipihak untuk Peningkatan Partisipasi Perempuan Politik dalam Pembangunan Aceh" yang ditutup dengan deklarasi dan penandatanganan komitmen bersama, dilanjutkan pada sesi kedua tentang "Konsolidasi Perempuan Politik Aceh".

Kegiatan itu melibatkan narasumber mewakili unsur pemerintahan, penyelenggara pemilu, LSM, Media, Kelompok perempuan akar rumput, jaringan muda serta perwakilan perempuan lintas partai politik yang dipandu oleh Ketua KPPI Aceh. Dilanjutkan dengan penandatanganan komitmen multipihak "Memperkuat Kepemimpinan dan Partisipasi Politik Perempuan dalam Pembangunan Aceh" pada spanduk.

Direktur Flower Aceh, Riswati, mengatakan dukungan dari multipihak untuk memperkuat kepemimpinan dan partisipasi politik perempuan dalam pembangunan Aceh menjadi keharusan. Upaya ini bagian dari merealisasikan  pembangunan Demokrasi di Aceh yang berkeadilan dan inklusi.

"Jika ekosistem politik di Aceh ramah perempuan, tentu akan meningkatkan partisipasi dan kontribusi perempuan dalam proses pembangunan demokrasi Aceh," kata Riswati

Sebaliknya, lanjutnya, perempuan politik akan terus terpinggirkan jika sistem dan multipihak yang berada di area ini tidak responsif gender dan belum punya komitmen serius.

"Pada saat yang sama, tentu secara internal, perempuan harus terus meningkatkan  kapasitas diri baik dari sisi pengetahuan, skill, modal sosial, leadership, termasuk dukungan keluarga dan masyarakat, serta faktor-faktor yang dibutuhkan dalam kerja-kerja publik dan politik," tuturnya.

Ketua DPW Nasdem Aceh, Teuku Taufiqul Hadi, mengatakan Partai Nasdem memberi banyak ruang untuk perempuan terlibat aktif dalam partai, selain menempatkan perempuan pada posisi strategis, juga memberikan kesempatan untuk leading memfasilitasi kepanitian atau kegiatan penting di partai.

"Kita tidak melupakan sejarah Aceh dengan pengalaman heroik sultanah dan perempuan tangguh seperti Cut Nyak Dhien, Laksamana Malahayati, Cut Meutia dan masih banyak deretan nama-nama perempuan Aceh yang tertulis dalam sejarah punya peran dan kontribusi besar di Aceh," ungkap Taufiqulhadi.
 
Ketua KPPI Aceh, Hj. Ismaniar AB Mizan, SE, menyampaikan kegiatan ini bagian kegiatan partai, untuk mempersiapkan kader mereka masing-masing. KPPI Aceh berharap partai segera mempersiapkan kader perempuan.

"2024 tinggal hitung hari, sebagai peserta pemilu, keterwakilan perempuan target kita 30 persen, mohon semua partai membantu kader perempuannya, agar tercapai 30 persen," ucap Ismaniar.

Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A), Nevi Ariyani, SE, menjelaskan kebijakan pemerintah dalam mendukung partisipasi kepemimpinan perempuan, dalam regulasi tingkat nasional UU 45 ayat 28 ayat 3. Khususnya di Aceh juga ada regulasi dalam Qanun 3/2008 tentang partai lokal yang menyebutkan keterwakilan perempuan 30 persen.

"Pemerintah sudah memberikan ruang untuk partisipasi, kalau sekarang bisa diilustrasikan keterwakilan perempuan legislatif hanya 14 persen, tapi lumayan dibanding tahun tahun lalu," tegas Nevi.

Dari kabupaten/kota, kata Nevi, hanya Aceh Tamiang yang melebihi 30 persen. Artinya, partisipasi perempuan masih sangat rendah, tidak hanya di parlemen, tapi juga di birokrasi dari 56 SKPA, hanya empat orang perempuan. Ini perlu didorong bersama, agar partisipasi perempuan lebih banyak, apalagi di parlemen agar kebutuhan perempuan bisa diakomodir.

"Ini tanggungjawab kita semua, berharap dari forum ini KPPI ini terus dilakukan pendampingan, bagaimana dengan penguatan kapasitas bisa duduk di legislatif dan eksekutif," tegasnya.

Ia menjelaskan pemerintah dalam dukungan finansial untuk perempuan ada.  Di DPPPA memiliki unit layanan UPTD PPA. Untuk korban terlapor kita fasilitasi, pemerintah turun tangan, negara ikut dalam perlindungan perempuan dan anak

"Saat ini sudah dianggarkan Rp5 M untuk pembangunan rumah aman, karena seluruh kab/kota kita punya unit layanan, namun Ibu menteri PP berharap nanti tahun kedepan kab/kota sudah membentuk unit layanan," tegas Nevi.

Ia berharap kedepannya banyak perempuan terpilih, dan ikut terlibat dalam politik. Dalam Paripurna, hampir semua fraksi mengharapkan pemerintah agar alokasikan anggaran maksimal untuk perlindungan perempuan dan anak, sehingga kenapa pentingnya perempuan berada di parlemen.
 

Memperkuat Komitmen Multipihak untuk Peningkatan Partisipasi Perempuan Politik dalam Pembangunan Aceh| Dok. Pri
Memperkuat Komitmen Multipihak untuk Peningkatan Partisipasi Perempuan Politik dalam Pembangunan Aceh| Dok. Pri

Jurnalis Serambi Indonesia, Yarmen Dinamika, mengatakan sebelum damai Aceh saja perempuan sudah berkiprah dalam Duek Pakat Inong Aceh (DPIA) dengan rekomendasi yang dikeluarkan, dalam proses perdamaian perempuan harus dilibatkan. Setelah damai, ruang politik diisi oleh perempuan hingga lobby ke nasional, sehingga perempuan terakomodir walaupun persentasenya belum memuaskan.


Aspek historis keterlibatan perempuan di ranah politik bukanlah hal yang baru. Kejayaan masa lalu sebagai kekuatan baru untuk mengisi ruang politik eksekutif dan legislatif.

"Untuk politik perempuan, kuota bukanlah hadiah, tapi diperjuangkan, kalau tidak bisa jadi Gubernur jadi wakilnya, kalau belum jadi Bupati jadi wakilnya. Kebiasaan untuk itu diawali dari rumah tangga, equal dari rumah membiasakan tidak terjajah oleh doktrin patriarki," tuturnya.

Presidium Balai Syura dan juga pengurus PUSHAM USK, Suraiya Kamaruzzaman, mengatakan hampir semua organisasi perempuan di Aceh mendorong keterwakilan politik perempuan, diturunkan dalam program dengan pelatihan, peningkatan kapasitas, memastikan perempuan terlibat.

"Bukan hanya di kerja internal, advokasi yang dilakukan balai syura, misal Qanun tentang partai politik, yang membuat draft itu organisasi perempuan, dan inisiatifnya DPPPA, hingga mengawal dan RDPU, kemudian memastikan keterwakilan 30 persen masuk dalam parlok, kepengurusan perempuan, di MPU harus ada perempuan itu advokasi gerakan perempuan, hingga roadshow ke nasional," ucapnya.

Suraiya mengatakan proses kaderisasi tidak rumit, kalau semua partai sudah ada sistem dan mekanisme. Untuk peningkatan kapasitas teman-teman dari gerakan perempuan bersedia menjadi fasilitator atau narasumber.

"Kampanye bagaimana orang mengenal kita, gunakan fasilitas media sosial, menunjukan kegiatan positif, perkenalkan visi kita, membuat konten yang keren, buat video pendek 1 menit menggambarkan perubahan, menggambarkan diri kita, buat hastag yang keren. Itu strategi kita," jelas Suraiya.

Ketua Kesatuan Perempuan Partai Golkar (KPPG) Aceh, Hj. Yuniar SP,M.Si, menyampaikan komitmen partai golkar dalam partisipasi perempuan. Untuk komitmen dimulai dengan rekrutmen kader.

"Afirmatif action 30 persen, bagi partai golkar sudah 40 persen di kepengurusan itu oleh perempuan, dan memiliki bidang perempuan," tuturnya.
 
Ketua Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh, Syamsul Bahri, mengatakan pemilu sebuah proses pemindahan kekuasaan secara demokrasi, maka dilakukan pemilu 5 tahun sekali, Tugas KIP menerapkan prinsip, kejujuran, keadilan dan akuntabilitas serta tanggung jawab melakukan tahapan-tahapan pemilu.

"Hasil pemilu 2019, pemilih laki-laki 1.784.616, perempuan 1.840.819, partisipasi laki laki 1.382.547 perempuan, 1.502.511. Yang disampaikan perwakilan golkar, kenapa keterwakilan perempuan sedikit yang duduk di legislatif, dari jumlah pemilih perempuan yang banyak, tapi perempuan hanya 6 orang, ini tidak lepas perempuan tidak begitu berani untuk maju untuk berbuat sehingga tidak dikenal dan tidak dipilih," ungkap Syamsul.

Syamsul menyampaikan banyak peran perempuan yang harus dilaksanakan, tidak hanya pemilih, tapi juga perempuan sebagai peserta, penyelenggara, pengawas. KPU membuat aturan penyelenggaraan itu harus ada keterwakilan perempuan. "Kenapa tidak ada keterwakilan perempuan juga ada yang lebih faktornya saya mengalami ketika ada perempuan penyelenggara, suaminya tidak merestui, itu pernah terjadi di Aceh Utara," ucapnya.

Dalam pasal 10 ayat 7 UU No. 7, lanjutnya, perempuan paling sedikit 30 persen, makanya ia berharap pemilu 2024 perempuan mau memilih perempuan sesuai dengan kemampuannya, bukan hanya sebagai pelengkap penderita

"Sebelum memilih lihat dulu calegnya, harus dikaji, bukan karena diajak, bukan karena diberi uang, maka pentingnya organisasi partai memberikan Pendidikan politik untuk perempuan agar dapat memilih caleg melihat karakter calon tersebut. Dengan terpilihnya perempuan, agar bisa menjalankan program programnya," jelasnya.

Untuk menguatkan perempuan, kata Syamsul, perempuan harus banyak membuat pelatihan, partai politik, LSM, KPPI dan organisasi lainnya. KIP sebagai penyelenggara tidak bisa melakukan itu karena anggaran yang minim.
 
Perwakilan PKS, Iriyani, mengatakan kondisi lapangan ketika partai mencari tokoh perempuan mengalami kesulitan karena tidak ada tokoh yang dijadikan caleg, karena minimnya perempuan ikut partisipasi. Disinilah perlu peran dalam memberi edukasi kepada perempuan di tingkat gampong, yang mungkin kurang tersentuh ilmu politik, sehingga mau terlibat dalam politik.

"Memang pada dasarnya di lapangan ketika ditanya ke pemilih lebih senang memilih laki-laki itu hambatan sendiri bagi perempuan, sehingga kepercayaan pada perempuan itu berkurang," ucap Iriyani.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun