Banda Aceh - Suasana menjelang Pemilu 2024 yang akan dilaksanakan sekitar lima ratus hari kedepan mulai terasa. Apalagi, salah satu partai nasional telah mendeklarasikan calon presiden yang akan mereka usung. Pembicaraan seputar siapa calon-calon lainnya mulai menjadi pembicaraan di masyarakat.Â
Namun, pemilu bukan hanya tentang siapa yang menjadi presiden atau wakil rakyat di legislatif saja, tetapi bagaimana rakyat biasa memberikan suaranya sebagai hak politik mereka tanpa diskriminasi. Pemilu yang inklusif menjadi dambaan dan cita-cita masyarakat Indonesia.
Apa itu pemilu inklusif?Â
Direktur Eksekutif LSM Flower Aceh, Riswati, mengatakan pemilu merupakan kerangka sistem dalam sebuah tatanan negara demokrasi. Tidak boleh ada perlakuan diskriminatif terhadap hak dipilih dan memilih oleh setiap warga negara. Hal ini sudah diatur dalam UUD 1945, amandemen III pasal 22 E ayat 1 bahwa  pemilihan umum dilaksanakan secara umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.
Pemilu inklusif, kata Riswati, setidaknya memenuhi lima syarat. Pertama, hak pilih universal; termasuk orang di bawah perwalian. Kedua, tidak ada syarat medis atau bahasa bagi calon maupun pemilih. Ketiga, TPS yang aksesibilitas permanen bagi difabel. Keempat, hak memilih yang rahasia, jika dibutuhkan, diwakili oleh orang yang terpercaya. Kelima, penyediaan akomodasi yang wajar, seperti panduan surat suara taktis.
"Penyelenggaraan pemilu juga harus memikirkan bagaimana kelompok adat, kelompok trans, orang-orang di lapas, orang sakit yang dirawat di RS, orang-orang yang sudah tua, serta disabilitas. Harus ada solusi untuk kelompok rentan," kata Riswati saat membekali jurnalis warga Banda Aceh dalam workshop jurnalistik bertema "Warga Berdaya Pelopor Pemilu Jujur dan Adil" yang diselenggarakan Koordinator Jurnalis Warga Banda Aceh pada Rabu, 5 Oktober 2022 di Aula Klinik PKBI Aceh.
Pemantauan pelaksanaan pemilu, lanjutnya, harus melibatkan banyak unsur masyarakat, misalnya memastikan bahwa lokasi atau tempat pelaksanaan pemilu harus mudah diakses oleh semua kalangan, terutama individu rentan seperti disabilitas, manula, orang sakit, atau ibu hamil.
Berdasarkan pengalaman pemilu sebelumnya, kata dia, ada beberapa kabupaten yang menyediakan petugas untuk memudahkan akses kelompok rentan, tetapi ini juga harus dipantau sehingga tidak ada intervensi saat pemilihan berlangsung.
"Pendidikan politik ini tanggung jawab pemerintah untuk sosialisasi secara optimal. Jangan sampai warga kesulitan mengakses penguatan-penguatan tentang kepemiluan. Memberikan edukasi tentang pemilu damai, tentang memilih pemimpin yang baik karena ada black campaign dan money politic," ujarnya.
Riswati menyampaikan apalagi pendidikan politik di Indonesia, khususnya di Aceh yang belum terlalu kuat. Selain edukasi, lembaga juga melakukan advokasi, serta memberikan masukan ke pemangku kebijakan agar ada kebijakan yang lebih inklusi untuk perempuan. Terakhir kerja-kerja di lembaga adalah pengawasan karena biasanya pengawasan itu juga lemah.Â