Khairani menyebutkan, sejauh ini partisipatif perempuan dalam politik Aceh masih 11 persen, sedangkan di daerah kabupaten/kota se Aceh hanya dua persen. Dan itu belum termasuk keterlibatan perempuan di legislatif, eksekutif dan kepemimpinan perempuan.
Jika melihat dari data tersebut, maka wajar selama ini suara perempuan kurang terwakili di parlemen, sehingga hak-hak perempuan juga kerap terabaikan.
"Padahal kita punya sejarah panjang dalam mempertahankan tanah air di tengah penjajahan, karena itu kita berharap partisipatif perempuan dapat terus ditingkatkan," demikian Khairani.
JARI Aceh, Khairul Hasni, mengatakan pihak sudah melakukan melakukan SDG's sebelum dilakukan oleh pemerintah yang disahkan pada tahun 2015. Menurutnya, Indonesia banyak tertinggal dengan LSM yang bekerja di daerah.
"Tahun 2002 kita mencoba untuk melakukan pemberdayaan ekonomi untuk korban konflik. Itu tujuan pertama. Pada saat itu kita kasih bantuan dan advokasi terhadap pelanggaran HAM. Seiring dengan operasi militer meningkat kita tetap melakukan bersama Forum LSM, Koalisi NGO HAM sangat besar perannya untuk melakukan advokasi pada isu HAM disaat itu," ungkapnya.
Peneliti Koalisi NGO HAM, Zulfikar Muhammad, menyampaikan ada tiga fase sebelum Aceh dalam masa damai. Di tahun 2006 mulai setelah MoU Helsinki salah satu keistimewaan Aceh adalah adanya partai lokal dan independen. Berharap kerja-kerja OMS memperkuat calon independen, bisa dilakukan oleh generasi kedepan.
"Peran OMS itu, semua kita. Target kerja OMS, orang baik. Dari orang baik baru muncul kebijakan yang baik. Â Dari orang baik akan muncul demokrasi baik, dan kemudian kebijakan baik yang berkontribusi pada penghormatan HAM yang baik dan orang-orang baik akan terus hadir dalam keberlanjutan," tutur Zulfikar.
Direktur Flower Aceh, Riswati, mengatakan demokrasi hanya bisa terwujud jika semua pihak, termasuk perempuan, anak, disabilitas dan kelompok marjinal lainnya mendapatkan akses, partisipasi, kontrol dan manfaat yang adil dalam proses perencanaan dan pembangunan Aceh.Â
Kemudian, lanjutnya, harus dipastikan tidak ada yang tertinggal (no one left behind), sehingga aksi-aksi yang dilakukan multipihak baik OMS, pemerintahan, perguruan tinggi, filantropi/swasta dan media di Aceh benar-benar sesuai dengan pengalaman, harapan, dan manfaat semua pihak di Aceh.
"Dengan begitu Demokrasi di Aceh dapat menguat dan mendukung percepatan pembangunan berkelanjutan di Aceh," tutupnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H