Tak perlu menjelaskan panjang lebar, secara sigap, pria paruh baya itu mengambil semua peralatan, peralatan yang memiliki fungsinya masing-masing. Ember yang berisikan air misalnya, itu berfungsi untuk memeriksa sumber ban bocor. Dilakukan dengan cara, ban terlebih dahulu diisikan angin, lalu dicelupkan ke dalam air. Maka, sumber bocor nantinya akan mengeluarkan buih-buih kecil.
Kemudian, tabung kompresor angin, berfungsi untuk mengambil udara atau gas dari sekitar yang kemudian akan diberi tekanan di dalam tabung, lalu disalurkan kepada pengendara yang mengalami kempes atau bocor ban. Selain itu, alat tambal ban bakar pres, yang berfungsi untuk mengepres ban yang akan ditambal, sehingga karet merekat erat pada ban.
Peralatan itu sudah disusun rapi di samping Abdullah. Dia sangat lihai, hanya butuh waktu tiga menit untuk mengetahui sumber ban bocor. Kayu-kayu yang dirapikan tadi di pinggir pagar GPIB Jemaat Banda Aceh, rupanya dikumpulkan untuk digunakan sebagai bahan bakar. Kayu itu dipotong kecil-kecil, lalu dimasukkan ke bagian bawah alat pres.
Cara tersebut tergolong masih tradisional, dibandingkan tempat lain yang mulai menggunakan cara-cara modern. Meski demikian, Abdullah tidak mengalami kesulitan saat menyalakan api. Hanya sekali percobaan, api langsung menyala. Ban bocor tadi pun di pres dengan tekanan kuat.
Alu alang kendaraan di Jalan Pocut Baren, sesekali mampu mengalihkan pandangan saya yang sedang fokus melihat sekeliling lapak tambal ban milik Abdullah. Saya menunggu di kursi santai napolly, di bawah pohon nangka yang sudah mulai berbuah.
Abdullah memang bukan tipikal orang yang suka duduk, meski usianya sudah tidak muda lagi. Sembari menunggu ban yang sedang ditambal, ia kembali membereskan kayu yang tadi belum selesai.
Tidak lama berselang, dua pria berboncengan berhenti di depan lapak tambal ban. Mereka berhenti untuk mengisi angin pada ban motor yang kempes. "Isi angin satu ban Rp1 ribu aja, kalau dua ban Rp2 ribu. Sedangkan untuk tambal ban Rp15 ribu," kata Abdullah.
Sepuluh menit dibuat menunggu, karet yang ditambal pada ban sudah melekat dengan baik. Kemudian dipasang kembali ke roda dan siap untuk dikendarai lagi.
Kepada Kompasiana, Abdullah, mengatakan sudah 16 tahun berprofesi sebagai tukang tambal ban dan tinggal di gubuk reyot itu. Penghasilannya sehari-hari sebagai tukang tambal bal pun tidak menentu. Bahkan pernah dalam sehari, lapak yang dibukanya mulai pukul 09.00 WIB - 22.00 WIB itu, tidak ada orang sama sekali, baik yang menambal ban maupun sekedar mengisi angin.