"Ayah... hari ini tidak seperti biasanya. Aku keluar masuk zoom hampir 10 kali. Sudah gitu internet sering sekali disconect."
"Ayah... bagaimana caranya agar signal tidak muncul tenggelam saat kita gunakan zoom di laptop?"
"Hari ini membosankan zoomnya tidak menarik."
Itulah litani keluhan seorang anak kelas 4 SD yang ditinggal sendirian dirumah karena pandemi ini. Kami suami istri harus bekerja tidak lagi dari rumah tetapi harus dikantor. Bekerja untuk mendidik anak orang mendapatkan haknya memperoleh pendidikan.
Setiap hari jam 7 harus sudah berada dikantor memberikan pelajaran dalam jaringan. Pulang sekolah belum sempat istirahat harus mendengarkan keluhan anak yang baru belajar bermain dengan telepon pintar karena sebelumnya saya termaasuk konservatif mendidik anak tanpa gadget.Â
Tetapi apa lacur pandemi datang dengan cepat. Konservatif saya kubuang jauh. 3 bulan awal masih bisa nebeng gadget. Kami masih diwajibkan kerja dari rumah dan anak belajar dari rumah.Â
Kami bisa saling bertukar mengerjakan tugas-tugas dari guru lewat gdget ini. Setelah harus kerja di kantor kami terpaksa harus menyisihkan gaji untuk beli gadget.Â
Iya karena kami memang hanya memiliki 2 gadget yang kami suami istri pakai untuk kebutuhan kerja dan komunikasi. Sedangkan anak semata wayang tak pernah terpikirkan untuk dibelikan gadget.Â
Memasuki tahun ajaran baru semuanya berubah. Ikat pinggang harus lebih kenceng diikat, kebutuhan belajar anak jelas bertambah berlipat. Beruntunglah. Saat bersyukur maka rejeki itu datang.Â
Seorang suster menghadiahi anak saya sebuah gadget bukan keluaran terbaru tetapi pastinya sangat bersyukur bisa mengatasi kesulitan anak dalam belajar. Dan gadget inilah yang menjadi media belajar. Beruntung pula atau memang sudah handycap bahwa anak generasi ini mudah untuk belajar.Â
Tentu tidak sampai disitu proses belajarnya. Tidak seperti gadget keluaran terbaru mode anak tentu sudah bisa di atur sedemikian rupa. Gadget yang ini belum bisa menyaring informasi baik atau buruk.Â