*Dimuat di RADAR TEGAL edisi Senin, 25 Agustus 2014
Belakangan ini publik Kabupaten Tegal disuguhi polemik Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Perubahan (APBD-P) tahun 2014 antara anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Tegal Periode 2009-2014 dan Bupati Tegal. Anggota legislatif menyampaikan aspirasi agar ada porsi dana hibah dan bantuan sosial (bansos) yang perlu dialokasikan dalam APBD-P tahun 2014. Aspirasi tersebut ditentang oleh Bupati Tegal Enthus Susmono karena tidak memenuhi prosedur. Namun Bupati menjanjikan akan mengakomodasi aspirasi itu pada APBD-P tahun 2015 (Radar Tegal, 19-20 Agustus 2014).
Betul bahwa prosedur penganggaran dana hibah dan bansos pada APBD-P Kabupaten Tegal tahun 2014 tidak terpenuhi karena tidak diajukan sebelum sidang paripurna sehingga mendapat tentangan dari Bupati. Mengapa pengajuan aspirasi tersebut dilakukan setelah sidang paripurna?.
Hal yang juga perlu mendapat sorotan adalah urgensi dari alokasi dana hibah dan bansos yang diinginkan anggota legislatif. Anggota legislatif berargumen bahwa dana hibah dan bansos adalah bagian dari pokok-pokok pikiran DPRD yang tidak akan disalahgunakan untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya (baca: partai). Fenomena yang sering mengemuka tentang dana hibah dan bansos tidak lain adalah mengenai penyelewengan dalam penggunannya.
Anggaran Milik Publik
Masih segar dalam ingatan kita mengenai beberapa anggota DPRD Kabupaten Tegal periode 2004-2009 yang menjadi tersangka korupsi dana bansos penggemukan ternak sapi. Kita tentu tidak ingin kasus serupa terulang kembali. Keterlibatan anggota DPRD dalam kasus korupsi memang bukan hal baru. Indonesia Corruption Watch (ICW) baru-baru ini merilis temuan terbaru mengenai pejabat yang paling banyak melakukan korupsi di pemerintahan pusat dan daerah. Dari data itu ditemukan 6 (enam) pejabat yang selama ini dianggap kerap melakukan korupsi yaitu pegawai pemda di kementerian (42,6%), direktur/komisaris pegawai swasta (18.9%), kepala dinas (8,6%), anggota DPR/DPRD (7,5%), direktur komisaris BUMD (5,1%), dan kepala daerah (3,7%).
Pengalaman berbicara bahwa dana hibah dan bansos kerap menjadi pintu masuk korupsi baik melalui pemotongan oleh anggota legislatif maupun penggunaan dana yang sering tidak sesuai peruntukan oleh penerima. Modus yang biasa digunakan adalah lembaga penerima fiktif, lembaga penerima alamatnya sama, dana hibah dan bansos disunat, penerima dana tidak jelas, dan dana dialirkan ke lembaga milik keluarga atau kroni anggota legislative.
Menjelang pemilihan kepala daerah dan pemilihan legislatif, biasanya terjadi tren peningkatan alokasi dana hibah dan bansos di daerah. Setelah proses pemilihan berakhir, proses pengalokasian dana hibah dan bansos biasanya juga meningkat. Jika menjelang pemilihan kepala daerah dan pemilihan legislatif dana hibah dan bansos banyak diselewengkan untuk mendanai kampanye calon petahana (incumbent), pasca pemilihan dana hibah dan bansos diselewengkan untuk mengganti biaya yang telah dikeluarkan selama kampanye. Maka tidak heran jika dikatakan bahwa dana hibah dan bansos sangat kental nuansa politis.
Publik perlu sadar bahwa fenomena penyelewengan dana hibah dan bansos merupakan fakta bahwa APBD yang seharusnya milik publik malah menjadi bancakan politisi yang duduk di legislatif dan eksekutif. Fakta ini juga menjadi catatan bagi publik bahwa pemerintah yang dipilih langsung oleh publik melalui prosedur demokratis tidak otomatis menjadi representasi publik yang diharapkan dapat membawa kepentingan publik.
APBD dan perubahannya merupakan kesepakatan tertulis antara eksekutif dan legislatif dalam bidang keuangan untuk keperluan pembangunan daerah dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar publik. Mengingat pentingnya APBD bagi publik maka alangkah baiknya jika proses APBD didorong untuk melibatkan publik dan diawasi agar implementasinya dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya demi kepentingan publik. Proses pengawasan terhadap APBD dapat menjadi instrumen publik agar eksekutif dan legislatif bertanggungjawab dan menekankan akuntabilitas atas penggunaan uang publik. Kegiatan memantau dan mengawal proses penganggaran sama pentingnya dengan menjaga agar pelaksanaan pembangunan daerah dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya untuk kepentingan publik.
Tuntutan adanya partisipasi publik dalam penganggaran (participatory budgeting) sejatinya merupakan konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah. Kebijakan ini sudah seharusnya dapat dimanfaatkan oleh beberapa pihak yang berkepentingan untuk melibatkan partisipasi publik, misalnya melalui forum-forum deliberatif sebagai upaya penguatan kapasitas partisipasi publik dan penciptaan ruang-ruang publik untuk menyambungkan relasi antara masyarakat sipil dengan pemerintah (Joshua Cohen, 1989).