Fifa World Cup atau lumrah disebut Piala Dunia, sebuah event sepak bola yang paling ditunggu-tunggu oleh masyarakat dunia. Animo yang timbul dari Piala Dunia sungguh luar biasa. Tentu saja sebuah idaman bagi setiap pemain sepakbola untuk mewakili negaranya di event ini. Bukan hanya pemain, federasi di tiap negara juga memiliki impian yang sama, termasuk masyarakat di negara tersebut. Sebuah kebanggaan tersendiri jika berhasil lolos dari kualifikasi dan tampil di Piala Dunia.
Lantas bagaimana dengan Indonesia? Tentu saja rakyat Indonesia akan senang jika  timnasnya berhasil lolos kualifikasi dan tampil secara gagah di event empat tahun tersebut. Namun apa daya, itu semua hanya mimpi. Mimpi yang tak kunjung selesai. Federasi kita hanya bisa bermimpi, tapi tidak bisa bangun dari tidurnya yang lelap. Jangankan Piala Dunia, Piala Asia saja kita sudah tidak pernah lolos di beberapa edisi, Piala AFF pun hanya runner up, Sea Games hanya sekali menyabet gelar. Sungguh sedih memang timnas ini.
Kita sempat memiliki harapan kala Luis Milla datang dan mengubah timnas. Asian Games menjadi pembuktiannya dengan permainannya yang sedap dipandang mata, tapi itu hanya sebentar. Tak capai target, Luis Milla didepak. Datanglah Bima Sakti membesut timnas di ajang Piala AFF, tapi apa daya lagi, timnas kacau balau. Rasanya seperti melihat anak SSB berlatih melawan orang dewasa. Hasilnya bisa ditebak, kita jadi bulan-bulanan oleh tim dan supporter lawan.
Sebenarnya bukan hanya Luis Milla yang sempat membawa harapan, sebelum beliau datang sudah banyak pelatih hebat datang dan melatih negara ini. Salah satunya Anatoli Polosin, pelatih super kejam yang pernah dikenal negeri ini. Datang sebagai pelatih untuk proyek Sea Games 1991, federasi menargetkan emas untuk bisa disabet timnas.Â
Demi memenuhi target Anatoli Polosin lantas memanggil pemain untuk disiksa. Selama tiga bulan lebih fisik para pemain dilatih. Latihan tersebut dilakukan tanpa memegang bola sedikitpun.Â
Banyak para pemain yang mengundurkan diri dari pelatnas karena sudah tidak tahan dengan metode latihan Polosin. Meski begitu Anatoli Polosin tidak peduli dan tetap tancap gas dengan metodenya. Hasilnya sangat baik. Medali emas berhasil disabet timnas. Semua laga disapu bersih tanpa kekalahan satupun. Prestasi tersebut hingga sekarang belum bisa diulangi lagi oleh timnas.
Sepak bola Indonesia saat ini kembali kedatangan harapan. Ditunjuknya Shin Tae-yong sebagai pelatih timnas memberikan secercah maa depan cerah. Selama melatih timnas lagi-lagi Shin Tae-yong melakukan hal yang sama seperti dilakukan oleh Anatoli Polosin, yaitu latihan fisik yang berat.
Berkaca dari semua pelatih yang pernah melatih timnas Indonesia, semuanya mengeluhkan disiplin, fisik, dan mentalitas pemain. Penyakit akut yang selalu melanda timnas.Â
Tempaan yang seharusnya dilakukan di level klub justru dilakukan di pelatnas. Sebuah keanehan tentu bagi negeri tetangga. Jika hanya dua minggu tentu tidak aneh, yang aneh karena pelatnas timnas dilakukan selama 3 bulan, bahkan 6 bulan lebih. Untuk ukuran timnas itu benar-benar aneh. Entah apa yang dilakukan oleh para pemain di klubnya masing-masing. Â Â Â Â Â Â
Selain masalah para pemain, para petinggi federasi juga benar-benar bermasalah. Mulai dari kasus pengaturan skor, dualisme kepengurusan, jadwal liga yang super berantakan, pembinaan usia muda yang masih minim, pelatih yang terlalu sering diganti, hingga ditunggangi kepentingan politik. PSSI benar-benar tidak beres. Kita seakan hanya diajak bermimpi tanpa bisa bangun dan sadar dari mimpi tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H