Sebuah Kado untuk Indonesia Tercinta
Kemarin saya telah merefleksikan kembali Pancasila, Sila Pertama dan Sila Kedua. Saya berjanji untuk melanjutkan refleksi saya atas sila-sila yang lain. Pada kesempatan kali ini, saya akan melanjutkan untuk merefleksikan Sila Ketiga.
3. Nasionalisme
Indonesia adalah sesuatu yang abstrak jika kita tidak melihat individu-individu yang berkoeksistensi menjalin suatu hubungan yang disebut bangsa Indonesia. Individu-individu itu terdiri dari berbagai macam suku (Jawa, Batak, Dayak, Sunda, Betawi, Bali, Timor, Maluku, Komering, Asmat, Dani, warga keturunan Tionghoa, orang-orang berdarah Eropa, orang-orang berdarah Jepang, para indo, dan masih banyak lainnya), terdiri dari berbagai macam Bahasa Daerah dengan segala macam dialeknya, terdiri dari berbagai macam religiusitas (Islam, Kristianitas, Hindhu, Buddha, Konghucu, Kaharingan, Kejawen, Yahudi, dan masih banyak lainnya), terdiri dari berbagai macam usia, terdiri dari laki-laki dan perempuan, dan tinggal di pulau-pulau yang berserakan dari Sabang sampai Merauke. Apa yang membuat kita, yang beraneka ragam itu, menjadi Indonesia? Apa yang membuat kita, yang sangat plural itu, sepakat pada 17 Agustus 1945 bahkan sejak 1928 menjadi Indonesia?
Kita menjadi Indonesia justru bukan karena kita satu bangsa seperti halnya Italia, Jerman, Jepang, atau Perancis yang menjadi negara justru karena satu bangsa[1]. Kita juga tidak menjadi Indonesia karena satu agama seperti halnya negara Vatican. Yang mempersatukan kita, yang sangat beragam ini, menjadi satu bangsa adalah kenangan sejarah. Kita pernah sama-sama dijajah oleh VOC, kita pernah sama-sama diduduki Belanda, dan kita pernah sama-sama diperbudak Jepang. Kita pernah sama-sama menyandang nama “India Timur” dan kita pun pernah sama-sama menyandang nama “Hindia-Belanda”. Itulah sebabnya mengapa Timor Timur (sekarang Timor Leste) secara sejarah tidak pernah menjadi Bangsa Indonesia, itulah sebabnya mengapa Papua (dulu Irian Barat) secara historis merupakan bagian dari bangsa Indonesia. Kita pada waktu itu menjadi Indonesia justru karena memiliki “musuh yang satu dan sama” dan itu yang menyatukan kita untuk menyimpan sejenak perbedaan dan berjuang bersama.
Namun, di era kemerdekaan ini haruskah kita memiliki “musuh yang sama” untuk melampaui segala keberagaman kita? Menarik bahwa serta-merta Bangsa Indonesia, yang beragam serta digerogoti konflik antaragama dan antarsuku ini, bersatu padu memekikkan “Indonesia Raya” pada saat Malaysia mengusik kedaulatan bangsa. Segala konflik antaragama dan antarsuku itu seakan reda sesaat demi untuk bersatu meneriakkan pekik perang lama “Ganyang Malaysia!!!”. Haruskah kita selalu memerlukan “musuh yang sama” untuk tetap bersatu menjadi Bangsa Indonesia? Jika memang “ya”, baik jika kita sejenak merumuskan kembali “musuh bersama” itu. Apakah “musuh bersama” itu harus selalu berupa negara asing yang tidak menghormati kedaulatan NKRI? Sutan Sjahrir pernah berkata, “Tiap persatuan hanya akan bersifat taktis, temporer, dan karena itu insidental. Usaha-usaha untuk menyatukan secara paksa, hanya menghasilkan anak banci. Persatuan semacam itu akan terasa sakit, tersesat, dan merusak pergerakan.”[2]
Bangsa Indonesia bersatu untuk merebut kemerdekaan. Namun, kemerdekaan Indonesia bukanlah sebuah tujuan final. Sjahrir berpendapat bahwa perjuangan kemerdekaan adalah batu loncatan untuk perjuangan akan kebebasan dan nilai-nilai kemanusiaan lainnya. Maka, setelah merdeka, perjuangan yang sesungguhnya justru baru dimulai. Perjuangan itu tidak lagi perjuangan fisik melawan penjajah atau negara lain yang melanggar kedaulatan atau mengintervensi Indonesia, melainkan sebuah perjuangan kemanusiaan: keadilan sosial, persamaan derajat – antifeodalisme, pemberantasan kebodohan dan keterbelakangan, mencerdaskan kehidupan bangsa, semakin membudayakan individu-individu, memperluas cakrawala, melampaui segala keberagaman Indonesia tanpa harus menegasinya, dan yang paling aktual sekarang adalah perjuangan memberantas korupsi yang bukan lagi kejahatan moral melainkan kejahatan struktural. Semua perjuangan itu jauh lebih penting dari pada “Ganyang Malaysia!!!”. Persatuan “Ganyang Malaysia!!!” adalah baik, wajar, dan tidak an sich salah sebagai bentuk perlawanan terhadap fasisme Malaysia, tetapi menurut perspektif Sjahrir persatuan semacam itu justru merusak “pergerakan”[3], sebuah persatuan yang sangat naif sama seperti persatuan yang hanya berdasarkan agama atau suku.
Mengapa demikian? Sjahrir menjelaskan, “Bagi zaman yang lampau nasionalisme di dalam perhubungan antara bangsa-bangsa sering hanya nasional egoisme dan imperialisme. Kita tidak demikian. Kebangsaan kita hanya jembatan untuk mencapai derajat kemanusiaan yang sempurna bukan untuk memuaskan diri sendiri kita, sekali-kali bukan untuk merusakkan pergaulan kemanusiaan. Kebangsaan kita hanya satu roman dari pembaktian kita kepada kemanusiaan.”[4] Merefleksikan kembali pandangan Sjahrir akan nasionalisme membuka mata kita bahwa kita mengindonesia tidak sekadar untuk mengganyang Malaysia, tetapi untuk memanusiakan manusia Indonesia sama seperti memanusiakan manusia universal.
Pernyataan di atas masih sangat ideologis dan abstrak sehingga perlu kita “postmodern”-kan. Apa itu yang dimaksud memanusiakan manusia Indonesia sama seperti memanusiakan manusia universal? Indonesia terdiri dari banyak bangsa yang memiliki bentuk legal dalam provinsi. Setiap provinsi memiliki daerah-daerah. Setiap individu Indonesia mengindonesia (meruang dan mewaktu) di dalam lingkungannya. Proses mengindonesia ini yang adalah proses pemanifestasian kemanusiaan ini merupakan pewujudnyataan nasionalisme. Apa contoh konkritnya? Johnny Sihombing belajar di kota Sibolga Sumatera Utara, Amir Abdullah mengajar di Kediri Jawa Timur, I Wayan bertani di Bali, Manceltus Meol melaut di Timor, Obeth Sagisolo mengukir patung di Nabire Papua, Bante Aryasatyani bermeditasi di Vihara Buddha Mendut, Marsekal Jono berpatroli di perbatasan, dan lain sebagainya. Masing-masing individu Indonesia berusaha mengerjakan apa yang menjadi panggilan hidupnya (vocation). Proses ini oleh Driyarkara dinamakan sebagai proses membudaya.[5] Oleh karena panggilan hidup itu sangat beragam dan plural, kesadaran akan liyan yang berbeda itu adalah keharusan sehingga individu yang satu dapat menghormati individu yang lain tanpa menegasi eksistensinya dalam koeksistensi.
Tidakkah rumusan di atas terlalu partikular? Menjadi partikular setelah kita “postmodern”-kan. Namun, cerita-cerita kecil tidak pernah berdiri sendiri-sendiri, justru jika cerita-cerita kecil berdiri sendiri-sendiri, akan menjadi absurd dan tidak masuk akal, tetapi selalu mengarah kepada cerita besar. Semangat menghormati liyan menjadi batu loncatan untuk menghormati kebudayaan Indonesia lain. Semangat menghormati kebudayaan Indonesia yang lain menjadi batu loncatan untuk menghormati kemanusiaan universal. Justru di sinilah letak kebangsaan kita. Mengapa kita bersatu menjadi bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945 atau bahkan sejak 1928? Karena kita melihat penginjak-injakkan kemanusiaan, penjajahan. Penginjak-injakkan kemanusiaan itulah yang sebenarnya dulu kita lawan dan perlawanan yang sama hendaknya masih menyatukan kita yang terdiri dari banyak bangsa ini menjadi satu Bangsa Indonesia. Penjajahan kemanusiaan yang bagaimana? Kebodohan, kemiskinan, kelaparan, keterbelakangan, perbudakan, keadilan sosial, persamaan derajat, korupsi, diskriminasi, dominasi mayoritas, dan masih banyak yang lain.
Kesadaran itu menjauhkan kita dari bahaya paham nasionalisme yang sangat partikular dan sempit yaitu fasisme. Fasisme adalah suatu paham yang mengedepankan bangsa sendiri dan memandang rendah bangsa lain.[6] Sikap Nazi-Jerman, Italia rezim Mussolini, Jepang era Perang Dunia II, KKK (Ku Klux Klan) di Amerika Serikat, bahkan sikap Bangsa Malaysia terhadap para TKI –untuk tidak mengatakan buruh Indonesia– adalah contoh historis mengenai fasisme. Kebangsaan kita tidak membuat kita membenci dan memusuhi bangsa lain, tetapi justru adalah batu loncatan menuju kemanusiaan universal.
*Bersambung... .
[1] Paham modern-state yang adalah national-state.
[2] Saya sedikit kesulitan mendapatkan buku (tantang) Sjahrir dan pernyataan beliau saya dapatkan di internet. www.facebook.com/profile.php?id=1309606161&v=wall&story_fbid=127276777322618&ref=notif¬if_t=feed_comment#!/pages/SUTAN-Sjahrir/125473950650?ref=ts
[3] Perjuangan pasca-kemerdekaan.
[4] Seperti dikuti oleh Y.B. Manunwijawa, Manusia, Guru, Negarawan Sutan Sjahrir dan Relevansinya Kini dan pada Hari Mendatang, dalam H. Rosihan Anwar (ed.), MENGENANG SJAHRIR, Seorang Negarawan dan Tokoh Pejuang Kemerdekaan yang Tersisih dan Terlupakan, Jakarta: Gramedia, 2010, 420
[5] “Dia (manusia) subyek rohani. Dia menentukan dan mengatur hidupnya. Dengan semua ini dia mengangkat hidupnya ke tingkat insani (human level). Hidup yang demikian itu bukanlah hanya alam yang berjalan, melainkan alam yang dibudayakan, atau dengan kata lain: kebudayaan.” N. Driyarkara, FILSAFAT MANUSIA, Yogyakarta: Kanisius, 2010, 25.
[6] id.shvoong.com/humanities/theory-criticism/1818181-fasisme/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H