Sekolah di kota memiliki akses transportasi yang sudah memadai, sarana pra sarana sekolah yang mencukupi, serta orang tua yang memiliki kemampuan finansial. Itu tidak bisa dianggap sama dengan penyelenggaraan sekolah di pedalaman yang kondisinya mungkin bertolak belakang dengan wilayah perkotaan. Hal yang mungkin perlu diingat, Indonesia bukan sebatas Jakarta, Surabaya, Makasar, Medan, dan kota besar lainnya. Indonesia memiliki 74.053 desa yang juga menyelengarakan pendidikan. Jadi rasanya tidak bisa melihat pendidikan hanya dari satu sudut pandang.
Jikalau kebijakan Full day School atau sekolah 8 jam sehari diterapkan secara nasional, akan ada 50 juta anak terdampak. Mungkinkah kebijakan ini telah mempertimbangkan dampak psikologis beban siswa. Adakah dilibatkannya dan terakomodirnya kepentingan siswa terkait hal ini. Jangan sampai kita hanya memaksakan keinginan orang dewasa tanpa melibatkan subjek yang bersangkutan.
Kiranya menarik yang dikatakan om Dandhy Dwi Laksono dalam sosial medianya, bahwa sistem pendidikan makin jauh menyeret anak-anak dalam bias kepentingan orang dewasa (pekerja industri). Anak-anak terus digiring sesuai kebutuhan pasar kerja. Rasanya sekolah bagaikan sebuah bengkel, dimana anak-anak dicetak masal untuk menjadi tenaga siap pakai, yang ujung-ujungnya mengokohkan kedudukan kapitalis dan kelas berkuasa. Memangnya pendidikan diselenggarakan untuk alat pembebasan atau alat penindasan. Lantas jika situasi seperti ini, wajiblah kita bertanya maksud baik saudara untuk siapa. Maksud baik saudara memihak yang mana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H