Orang yang memiliki pandangan “Liar” adalah orang yang berpandangan sukses. Begitulah ucap seorang kawan saat kami bertemu dan meneguk kopi bersama di puncak Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat – beberapa waktu lalu. Liar tanpa batas adalah bentuk kemerdekaan pikiran dan jiwa. Liar bukan berarti semau-maunya bertindak dan merugikan orang lain. Tentu ada pedoman-pedoman nilai yang tidak dalam kuasanya. Akan tetapi, liar adalah sifat wajib yang harus dimiliki seseorang untuk merebut hak dan impiannya.
Sifat liar ternyata juga dimiliki oleh para founding father kita. Tengoklah Bung Karno. Sejak masih dipanggil kusno (nama kecilnya) ia adalah pribadi yang liar. Kusno sering memanjat pohon tinggi, menaiki kerbau, mandi di sungai deras, menjerat ikan, dan melakukan hal lainnya yang tak jarang membuat orang tuanya cemas sehingga ia beberapa kali mendapat hukuman atas sifat liarnya dalam bermain. Lihatlah pula Haji Agus Salim, The Grand Old Man nyentrik yang sangat liar dalam menulis. Suatu waktu saat ia bekerja sebagai pimpinan redaksi “Hindia Baroe” ia menjadikan surat kabarnya itu sebagai alat propaganda dalam mengkritisi kebijakan pemerintah. Padahal, ia sendiri bekerja di surat kabar miliki pemerintah Hindia Belanda.
Namun sifat liar itulah yang membuat Haji Agus Salim menjadi diplomat handal yang tak bisa ditebak jalan pikirannya. Dan sifat liar itulah yang membuat Soekarno mampu merumuskan berbagai manifesto dan membangun humanisme melalui konsep-konsep politiknya.
Sifat liar tentunya juga bisa kita lihat dari berbagai tokoh pergerakan lainnya. Tanpa “keliaran” kita belum tentu merdeka. Sebab keliaran erat kaitannya dengan keberaniaan. Tiada mungkin kita merdeka tanpa sumbangsih orang-orang berani.
Berfikir Liar
Menurut novelis ternama Mort Rainey, keliaran adalah simbol kreativitas dan inovasi. Bahkan, di negara maju “keliaran” sudah dimasukan dalam dunia pendidikan. Mereka menyebutnya dengan system pendidikan holistik, yakni system pendidikan yang bersendi pada nilai-nilai. Di sini pendidikan akan lebih fokus pada mengembangkan karakter individu melalui berbagai pengalaman interaksi yang pernah dilakukan peserta didik. Proses belajar dilakukan melalui hal yang menyenangkan, demokratis dan humanis. Sehingga dunia pendidikan bukan lagi sebagai sekolah, tetapi taman. Secara historis dalam kebangsaan, hal ini serupa dengan apa yang dikonsepkan KH. Dewantara ketika mendirikan Taman Siswa, 92 tahun silam.
Pendidikan holistik merupakan antitesa dari pendidikan “ala bank” – dimana anak didik diperlakukan sebagai “bejana kosong” yang hanya bisa diisi oleh sang guru. Jika mengutip pemikiran Paulo Fire, aktivis pendidikan asal amerika latin, guru bukanlah sumber pengetahuan yang mendominasi dalam berfikir, bicara, bertindak, mengatur dan sebagainya. Pendidikan bukan hanya sebatas guru memberi informasi, sedangkan murid harus menelannnya, mengingatnya dan menghafalnya. Guru bukan sebagai satu-satunya subjek dalam belajar, dan murid bukanlah objeknya. pendidikan pada dasarnya adalah wadah pembebasan.
Dalam dunia kerja, khusunya industri kreatif. Perusahaan terus memacu tenaga kerjanya berfikiran liar guna tetap dapat berinovasi dalam kerja dan karya yang tak hanya mengandung nilai estetik, tetapi juga bisa diterima oleh khalayak umum.
Namun bagaimana memasukan keliaran berfikir dalam sistem masyarakat ? Tentu ada banyak cara membangun sistem masyarakat yang unggul dengan kreatifitas. Akan tetapi dari pelbagai sektor yang ada, mungkin pendidikan adalah kunci untuk memulianya. Mulailah kita berfikir bahwa pendidikan adalah wadah, bukan sekedar ruang yang terlembagakan. Ia bisa dilakukan dimana dan kapanpun. Ingatlah bahwa hanya pendidikan yang sampai pada kesadaran dan terikat pada nilai-nilai luhur, yang dapat membentuk anak didiknya tidak hanya bisa melihat kuatnya karang di lautan, namun menjadi karang itu sendiri.
Secara terminologi, berfikir liar berbeda makna dengan bertindak liar. Sebab, tindakan liar berkonotasi buruk dan tidak dibenarkan secara nilai-nilai di masyarakat maupun hukum yang ada.
Namun sayangnya, manusia liar tidak memiliki tempat eksklusif untuk bersembunyi, karena liar bukanlah orang munafik yang bicara masa depan sedang kakinya enggan untuk memulai sesuatu yang baru.