Mohon tunggu...
Kalista Setiawan
Kalista Setiawan Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswi / Penulis Amatir

Hasil dari gadget dan pikiran yang saling berkompromi

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kinerja Kartu Prakerja Nyatanya Privilege bagi Menengah Keatas

16 Juni 2020   14:10 Diperbarui: 16 Juni 2020   14:31 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam itu di kosan setelah saya melakukan revisi skripsi, ayah saya tiba-tiba chat "Coba kak, kamu daftarkan diri ikut tes kartu prakerja. Tiga hari lagi mau tutup gelombang kedua-nya!" 

Dengan semangat dan gelisah, ayah saya langsung mengirimkan link panduan tata cara daftar kartu prakerja hingga laman pendaftarannya. Awalnya, saya mengabaikan lantaran malas daftar, takut ribet. Namun, berkali-kali chat ayah masih saja sama. Merasa tidak enak, saya pun hanya mengiyakan tak melakukan hehe.

Esoknya, niat saya ingin mengajak teman untuk ikut mendaftar kartu prakerja juga. Lumayan, bisa tes bareng apalagi dapat insentif. Pokoknya sudah terbayang di benak saya, uangnya akan dialihkan apa saja. Dia posisinya sudah lulus 5 bulan yang lalu, sedangkan saya masih menggarap skripsi. Kini, ia bekerja sebagai reporter media online lapangan daerah. Namun, ia juga punya niatan untuk pindah kerja lantaran tak sesuai dengan jurusan yang diambilnya.

"Nggak ah, jahat mba kalau kita ikutan juga. Itu kan buat yang terdampak PHK dan yang membutuhkan," ujarnya. Rasa bersalah dan malu begitu terasa. Awalnya, saya turut bertanya, memang mahasiswa seperti kita juga nggak bisa bersaing dengan yang lain. Toh, kita juga kesusahan mendapatkan lapangan pekerjaan yang baru. Namun, setelah saya mengatakan itu saya mulai sadar bahwa saya egois dan tak merasa bersyukur.

Menurut saya sebagai kaum muda yang berkuliah di perguruan tinggi negeri, saya sudah memiliki previlege yang cukup untuk masa depan saya kelak. Lulus kuliah sarjana komputer, ikut organisasi jurnalistik yang banyak jaringannya pula, sumber pendidikan mudah diakses, uang saku tersedia, kemampuan saya pun bisa saya gunakan untuk menjadi freelancer. Modal belajar youtube dan tekad kuat buat sukses, sepertinya juga bisa. Akhirnya, saya mulai merundungkan niat untuk mengisi persyaratan pendaftaran.

Ketika sudah H-1 penutupan, ayah saya masih kembali memastikan. Merasa tak enak hati, saya pun turut membaca dan mendaftarkan akun diri di laman https://www.prakerja.go.id Tak beberapa lama, saya pun berhasil registrasi akun. Saya tunjukkan pada ayah saya buktinya. Agar hati ayah agak tenang. Kemudian, saya perlahan mulai menjelaskan alasan untuk tidak mengikuti pendaftaran di masa pandemi seperti ini. Untunglah, ayah saya mengerti.

Kembali, ke topik judul artikel ini. Kata "previlege" menurut saya cocok untuk menggambarkan kinerja kartu ini. Bagaimana tidak, dilansir katadata.co.id pada artikel "Survei TNP2K Sebut 12,17% Peserta Kartu Prakerja Bukan Pengangguran", ada sejumlah kendala yang dihadapi peserta kartu prakerja. Survei menyebutkan sebanyak 17,37% mengalami kesulitan mengakses kartu prakerja. Sedangkan sebanyak 12,86% menyatakan mengalami kesulitan dalam menyelesaikan tahapan pendaftaran kartu prakerja.

Bermodal gadget dan pulsa, masyarakat yang mudah mengaksesnya sudah pasti dari kalangan yang paham teknologi. Lalu, bagaimana dengan masyarakat yang terkena PHK dengan rentang usia 40 tahun keatas? Sudah pasti pula, ini menguntungkan masyarakat perkotaan daripada pelosok negeri.

Niat pemerintah memang terkesan bagus dengan menganggarkan Rp 5,6 Triliun itu demi meningkatkan skill masyarakat agar memenuhi standar kompetensi yang dibutuhkan perusahaan. Sehingga, Jokowi dkk mungkin agak lega pasal janjinya pada kampanye pemilu tahun lalu yang akhirnya bisa terlaksana. Yah walaupun, nggak sengaja dan kebetulan ada kasus pandemi. Jadi, disegerakan saja dan praktekkan. Tutup kuping kiri dan kanan terhadap kritikan agar tak perlu revisi lagi.

Sekarang coba perhatikan, apakah banyak perusahaan yang merekrut para pelamar kerja setelah lulus kursus online dari kartu prakerja? Dan apakah peserta yang mendapatkan insentif ini, mau mendengarkan secara seksama omongan para tutor secara online? Bagus kalau kuotanya 5G, kalau buffering? Alah, jangan jauh-jauh contoh saja kami yang masih muda. Walau gadget makanan sehari-hari, sistem kuliah daring ini pun membuat materi kuliah kurang nyangkut di otak.

Menurut survei katadata.co.id, sebanyak 4.106 responden menyatakan menggunakan insentif tunai sebesar Rp 600 ribu untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Selebihnya, 1.229 orang mengatakan insentif digunakan untuk modal usaha, 1.101 orang menyatakan insentif untuk membiayai kebutuhan mencari kerja, dan 905 orang menyatakan untuk ditabung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun