Mohon tunggu...
Maria Kalista
Maria Kalista Mohon Tunggu... Administrasi - Seorang Amatir di Dunia Kepenulisan

Lahir dan tumbuh dewasa di Bekasi. Kini saya adalah seorang karyawan di perusahaan swasta dan menulis untuk menyalurkan kepenatan.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Ketika Budaya Meminta Maaf Tersingkirkan oleh Kata Baper

25 Oktober 2016   13:12 Diperbarui: 25 Oktober 2016   20:28 1176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ah males lah. Baperan banget lu," sahut seorang teman dalam obrolan di grup media sosial.

Jujur saja, sebagai anak muda 90-an, saya lebih suka membaca buku ketimbang menonton telivisi. Alhasil, ketika kata-kata gaul yang semakin hari semakin beragam mulai beredar, saya harus bertanya dulu kepada kawan saya yang usianya lebih muda mengenai makna dari kata gaul yang baru saja saya dengar.

"LDR artinya apa neng?" tanya seorang sales manager di tempat saya bekerja di suatu siang yang damai. Saya menatap lelaki yang pakaiannya rapi itu lalu tertawa, "Long Distance Relationship, pak. Masa kayak gitu aja nanya."
"Ya, jaman saya dulu itu enggak ada istilah LDR."

Ketika mengingat masa itu, saya hanya bisa tertawa miris. Karena apa yang saya lakukan ketika itu akhirnya saya alami beberapa waktu ini lantaran semakin banyak kata gaul yang ketika didengar membuat saya melongo dan untuk sekedar mencari artinya saja perlu memeras otak. Bayangkan saja, bagaimana saya tidak pusing ketika mendengar sebuah kata yang dibaca terbalik dari kata sebenarnya seperti kata sabeb untuk bebas dan kuy untuk yuk. Meski demikian, saya masih bersyukur bahwa anak-anak gaul jaman sekarang tidak menggunakan kata terbalik semacam itu di sepanjang kalimat. Entah berapa jam yang saya butuhkan untuk mengartikan satu kalimat.

"Dia itu dikit-dikit baper tau kak," ucap seorang gadis muda di akhir sesi curhatnya dengan saya. Dan untuk kesekian kalinya saya melongo mendengar sebuah kata asing terselip di sana.

Baper. Ok, mungkin itu bukan kali pertama saya mendengar kata baper lantaran adik saya suka sekali mengejek saya dengan kata itu dan saya terlalu malu untuk menanyakan artinya kepadanya.

"Masa kakak ga tau baper sih? Baper itu bawa perasaan kak."

Saya melongo membentuk huruf "O" dengan mulut saya yang cukup besar ini. "Jadi, baper itu bawa perasaan toh," pikir saya.

Baper alias bawa perasaan. Dilihat dari dua kata yang membentuk singkatan itu kita dapat melihat bahwa kata baper itu digunakan dalam situasi yang menunjukan posisi di mana si objek menggunakan perasaannya dalam berinteraksi. Adakah yang salah dengan kata ini?

Ketika pertama kali kata baper ini digunakan, awal mulanya adalah untuk menggambarkan seseorang yang sering kali galau, bimbang, kebanyakan mikir atau terlalu sulit mengambil keputusan lantaran yang berpikir bukan hanya otaknya tapi juga perasaannya. Namun seiring berjalannya waktu, kata baper ini juga digunakan untuk menggambarkan orang yang mudah tersinggung akibat "terlalu mengambil ke hati" setiap candaan verbal maupun keisengan lain yang menimpa dirinya. Lama kelamaan, levelnya semakin meningkat menjadi sebuah indikator mengenai yang asyik dan tidak.

Kini ketika kita merasa tersinggung akan suatu candaan yang mungkin sudah keterlaluan, alih-alih meminta maaf, kata baper yang justru akan muncul ke telinga kita. Ketika kita merasa akan adanya suatu kesalahan yang melebihi batas toleransi, bukan lagi kata sorry yang terucap melainkan cap "baperan" yang akan melekat kepada kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun