Pengalaman pahit ini terjadi sekitar tahun 70an saat saya masih duduk dibangku SD kelas dua. Sampai saat ini peristiwa ini cuma kami berdua yang tahu saya dan pembantu saya waktu kecil sebut saja si inem, namun saya tidak tahu kalau saja si inem bercerita kepada orang lain sebelum dia meninggal pada tahun 1992 karena penyakit tetanus yang dideritanya, sampai inem meninggal dia belum sempat bertemu jodohnya.
Saya terlahir menjadi anak ke tiga dari tujuh saudara kandung, walau kedua orang tua sebagai PNS Golongan I, kehidupan keluarga kami sangat sederhana, rumah yang nyaris disebut gubuk dibangun diatas pekarangan pemberian nenek yang terletak di samping rumahnya. Saat itu dua kakak, saya dan adik saya (nomor 4) sudah bersekolah, untuk menambah penghasilan memenuhi kebutuhan keluarga termasuk biaya sekolah dan jajanan kami, ibu setiap malam membuat panganan kue yang kemudian dititip di beberapa warung dan sisanya di bawa keliling kampung saat kami pulang sekolah secara bergantian.
Di kota lain saya memiliki seorang tante, adik dari bapak saya, yang selama ini sangat suka dengan saya, setiap dia berkunjung ke rumah kami, hanya saya yang selalu dibawakan oleh-oleh dan membawa jalan-jalan keliling kota. Tanteku ini bersuamikan seorang pengusaha, usia perkawinan mereka sudah empat tahun tetapi belum dikarunia anak. Sampai suatu saat karena saya sudah terlanjur lengket sama tanteku itu, dia meminta kepada orang tua saya agar saya bisa di bawa ke kotanya, tinggal bersamanya, dan disekolahkan. Alasannya saya sebagai anak pancingan sehingga tanteku bisa memiliki anak kandung sendiri, saat itu kedua orang tua saya mengijinkan.
Di rumah tanteku kami hanya tinggal berempat bersama seorang pembantu, walau sudah empat tahun menikah tanteku bersama suaminya masih seperti pengantin baru, sering bercumbu (tanpa berhubungan intim) di ruang tengah dan ruang tamu dan tanpa sengaja saya atau si inem memergokinya, tapi tanteku cuek-cuek saja. Si inem sudah 2 tahun lebih menjadi pembantu di keluarga ini, menurut pengakuannya hal itu sudah menjadi pemandangan biasa bagi dirinya, malah dia pernah tanpa sengaja menyaksikan tanteku berhubungan intim di ruang tengah pada malam hari.
Di rumah ini tante saya menyediakan kamar buat saya, tapi seperti kebiasaan di rumah sendiri selalu tidur bareng bersama saudara, sehingga saya tidak berani tidur sendiri di kamar, sehingga tanteku menyuruh inem tidur di kamar saya. Beberapa bulan berlalu berjalan seperti biasa, sampai suatu saat inem sering meminta saya mengkerok badannya karena masuk angin, tanpa sungkan mungkin karena menganggap saya anaknya, pada saat itu inem berumur 32 tahun, saat dikerok punggung inem, dia melepas baju dan Bhnya hanya tinggal celana dalamnya. Kadang dia meminta memijit-mijit di sekitar daerah-daerah sensitifnya, baik diseputar wilayah tengah maupun di sekwilda. Saya pun manut saja memenuhi permintaan inem, kalau tidak tentu saya tidak bisa tidur sendiri tanpa inem menemani.
Sejak kelakuan inem itu, dia sering tidur mengeloni saya berbaju daster tanpa BH dan CD, dalam tidur nyenyak inem seperti tidak sadar memeluk saya dan seringkali menyentuh kelamin saya, karena tubuhnya yang sintal sangat mudah dua gunung nona yang dimilikinya selalu nempel di badan saya, padahal kemudian saya baru ketahui kalau inem hanya pura-pura tidur, ketika saya juga pura-pura sudah tidur nyenyak.
Walaupun beberapa kali inem ketahuan ulahnya, namun dia makin berani, saat ganti pakaian sebelum tidur inem sering bertelanjang di hadapan saya, melihat saya tidak bereaksi sedikitpun inem dalam kondisi tanpa busana malah bercanda memeluk-meluk dan mencium. Saya pun hanya mampu terdiam, kadang geli terkekeh-kekeh, inem malah terus bereaksi mengelus-ngelus jagoan yunior saya. Sepertinya birahi dan nafsu saat datang beruntungan, walaupun anak kecil, burung saya pun mulai menegang, saat itulah untuk pertama kalinya si inem melakukan panetrasi dengan posisi di atas yang membuat saya ingin kencing, kemudian inem menyuruh saya berada di atas kembali saya ingin kencing dan benar-benar mengencingi si inem, beberapa hari kemudian saya baru mengetahui kalau hal itu saya lagi orgasme. Peristiwa ini pun terjadi berulang-ulang berbulan-bulan sebelum kami tidur hampir setiap malam. Sampai saya naik kelas tiga, ibu kemudian menjemput saya kembali ke rumah karena dia merasa kesepian sejak ditinggal pergi oleh saya.
Sejak kepergian itu, saya tidak pernah berjumpa inem lagi, namun sialnya saya mulai ketagihan sex, terbawa-bawa sampai ke perguruan tinggi, saya sering melakukan onani, untungnya saya tidak berani melakukan jajanan sex. Pengalaman ini membuat saya menjadi lelaki minder, tidak pede, kurang percaya diri, saya tidak mampu bergaul dengan banyak orang, biasanya hanya saya mempunyai seorang sahabat di setiap jenjang pendidikan yang saya tempuh. Karena sikap perilaku ini, saya selalu terpikir untuk melupakannya dan tidak melakukan onani, akhirnya saya sering mabuk-mabukan sejak duduk dibangku SLTA, untungnya ibu saya sangat memperhatikan setiap perkembangan diri saya, sehingga dia sangat telaten membimbing saya samapi dapat menyelesaikan studi diperguruan tinggi.
Alhamdulillah sampai saat ini usia perkawinan saya sudah 12 tahun dan dikarunia 3 orang anak, saya pun tidak melakukan onani lagi, namun pengalam pahit ini selalu membayang-bayangi saya, terutama saat membaca artikel-artikel bertema sex, sampai saat ini saya masih ngeri membayangkan pengalaman pahit bersama si inem, bagaimana tidak keperjakaan saya terenggut saat saya masih ’child’ belum akil balig, dewasa dan paham sex sebelum waktunya, apalagi menengok anak-anak saya semuanya putra. Selain mengawasi anak-anak saya, kadang saya berdoa semoga hal ini tidak terjadi kepada anak-anak saya dan kepada anak-anak yang lainnya. Waallahualam.
Nb : kisah ini adalah kisah nyata seperti yang dituturkan teman saya di salah satu situs jejaring pertemanan dan tidak bermaksud untuk menghina profesi pembantu rumah tangga, atas ijinnya saya mengolahnya dan memposting buat kompasianer.
Bisa juga di baca di sini SALAM DIALOG