Bicara soal yayasan sby mungkin selama ini tidak ada yang menyoroti sampai akhirnya GJA menerbitkan buku gurita cikeas yang menyoroti masalah ini. GJA mungkin hanya berdasarkan pada metodologi yang sama saat menerbitkan buku tentang gurita cendana yang menyoroti yayasan-yayasan soeharto yang berfungsi sebagai public relationship di dalam penggalanangan dana, seperti apa yang diceritakannya di buku gurita cikeas. Tahu yayasan soeharto versi GJA bisa klik di sini Sebagai seorang sosiologi, GJA tentu paham bahwa bangunan kekuatan kekuasaan tidak berdiri pada kekuatan lembaga-lembaga formal negara, namun didasarkan pada kekuatan kelompok-kelompok semi informal yang dilegatimasikan dalam bentuk yayasan dan di dalam komunal yayasan inilah konspirasi kekuatan itu dibangun. baik yayasan soeharto maupun yayasan sby mempunyai ciri yang sama, menjadi binaan mereka yang kemudian melibatkan banyak pejabat, pengusaha besar, dan pejabat BUMN. Kondisi inilah menjadi public relationship agar semua pihak yang tergabung bisa menjadi pengumpul dana besar dan menjadi donasi yayasan itu sendiri. Dengan gambaran itu GJA menyebutkan sejumlah bukti bagaimana dana besar yayasan yang terkumpul kemudian dialihkan menjadi donasi di suksesi politik, seperti soeharto menjadi pembina golkar plus yayasan, demikian pula yang terjadi terhadap sby, pembina partai demokrat plus yayasan, sehingga sangat sulit dipisahkan bagaiman peran ganda seorang presiden dalam hal ini, termasuk di dalam penggunaan fasilitas negara. Atas berbagai kesamaan ini, lalu muncullah plesetan nama sby menjadi Suka Buat Yayasan seperti soeharto. Selama berkuasa 32 tahun, soeharto ternyata membuat begitu banyak yayasan, sedangkan sby selama 5 tahun memerintah sudah memproduk 6 yayasan. Ciri-cirinya sama-sama didominasi klan keluarga. Soeharto membangun kekuatan yayasan di kediaman pribadi cendana, demikian pula sby dikediaman pribadi cikeas, dibanding dengan presiden lain hanya kedua presiden inilah yang sukses dan suka bermarkas di rumah pribadi bukan di rumah dinas istana, artinya tidak ada lagi batasan penggunaan dana anggaran belanja presiden antara dinas/istana dengan kediaman pribadi. Tentu dari sisi ini juga sudah menimbulkan fitnah. Dikisahkan dalam hadits, seorang khalifah sahabat rasulullah saw setelah berdialog masalah negara dengan seorang tamunya, lalu mematikan lampu teploknya, si tamu bertanya, "ya, khalifah sahabat rasululullah saw, kenapa lampunya dimatikan?", jawab khalifah lampu itu menyala atas biaya negara, sekarang kita sudah bicara masalah pribadi, jadi kita tidak patut menggunakan itu lagi. Contoh di atas mungkin tidak perlu dipahami secara lahiriah, tetapi dapat diambil manfaat makna dan substansi atas perilaku tersebut bagi para pemimpin negeri ini yang kebetulan semuanya uda pada haji. Pada jaman soeharto ada BLBI 600 trilliun, maklum karena 32 tahun berkuasa, sby cuma perlu bailout bank century 6, 7 triliun, maklum baru 5 tahun berkuasa, namun hasilnya sama-sama bermuara skandal. Dari sejumlah yayasan soeharto ada yang khusus bergerak di bidang keagamaan yaitu yayasan muslim pancasila yang bergerak di seluruh pelosok tanah air, demikian pula sby memiliki yayasan majelis dzikir nurussalam yang memiliki cabang di 33 propinsi, tentu dananya dari mana untuk mengelola organisasi besar itu seperti yang dipertanyakan GJA. Dengan beberapa kesamaan itu dalam soal yayasan, apakah mungkin slogan sby lanjutkan, juga mengandung makna melanjutkan gaya-gaya pak harto ? mungkin pendapat anda ada yang lebih bijak menilainya. wallahualam. salam dialog
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H