[caption id="attachment_20833" align="alignleft" width="500" caption="Prasasti Kerajaan Melayu Deli di Istana Maimun Kota Meda"][/caption] Sejak duduk di bangku SLTP samapai sekarang saya selalu bertanya, siapakah yang dimaksud suku melayu dan bagaimana rupanya. Pertanyaan ini selalu menggelitik karena di sekolah diajarkan bahwa bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi bangsa dan negara berasal dari bahasa Melayu. Lho..kenapa bukan bahasa Jawa atau Sunda sebagai bahasa Indonesia padahal sejak jaman dulu mereka tergolong mayoritas dari segi jumlah penduduk, termasuk pada tahun 1928 sampai tahun kemerdekaan 1945 umumnya kaum terdidik berasal dari pulau Jawa. Menurut pakar sejarah mayoritas etnis Melayu di Indonesia berada di Sumatera Utara, hal ini ditandai sendiri kalau Gubernur Sumut Syamsul Arifin adalah orang Melayu yang memenangkan Pilkada pada tahun 2008 dan adanya peninggalan Istana Maimun di pusat Kota Medan sebagai artefak sejarah peninggalan kebesaran Etnis Melayu Deli yang berdiri sejak pada abad ke 18 Masehi. [caption id="attachment_20834" align="aligncenter" width="500" caption="Istana Maimun"][/caption] Saat ini, terutama di tingkat forum nasional orang melayu atau budaya melayu seperti batang yang terendam, terendam oleh hegomoni budaya-budaya dari suku lain yang ada di Indonesia. Namun ada tiga hal fenomenal yang membuat melayu tidak bisa dilupakan, yaitu bahasa Indonesia yang diadopsi dari bahasa melayu di mana 250 juta manusia Indonesia menggunakannya sebagai bahasa sehari-hari, munculnya Negara Malaysia sebagai negara maju dan modern di mana mayoritas penduduknya adalah etnis Melayu, dan ketiga Melayu identik dengan Islam. Etnis Melayu saat ini memang berada di tiga negara yaitu Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Tapi Malaysia sangat bangga akan budaya Melayu-nya bahkan memberikan hak-hak istimewa pada masyarakat etnis tersebut, etnis Melayu di Malaysia disebut Bumiputera. Menurut Wikipedia Indonesia, Pemerintah Malaysia mendefinisikan melayu sebagai penduduk pribumi yang bertutur dalam bahasa melayu beragama Islam dan yang menjalani tradisi dan adat-istiadat Melayu. Di negeri Siti Nurhaliza ini, penduduk pribumi dari keturunan Minang, Jawa, Aceh, Bugis, Mandailing (Batak), dan lain-lain, yang bertutur dalam bahasa Melayu, beragama Islam dan mengikuti adat istiadat Melayu, semuanya dianggap sebagai orang Melayu. Bahkan orang bukan pribumi yang menikah dengan orang Melayu dan memeluk agama Islam juga diterima sebagai orang Melayu. Mereka dikatakan telah "masuk Melayu". Yang menarik, bila ditelusuri etnis Melayu di Malaysia sebetulnya sekitar 70 persen berasal dari berbagai suku di Indonesia, yakni Minang, Aceh, Jawa, Padang, Riau, dan Bugis. Wakil Perdana Menteri Malaysia Datuk Seri Mohammad Najib, misalnya, keturunan Bugis. Ayahnya almarhum Tun Abdul Razak, Perdana Menteri Malaysia kedua adalah cucu Raja Gowa ke-15. Istri Najib pun, yakni Datin Sri Rosmah Mansoor, masih keturunan Minang. Malaysia adalah negara yang multi etnis. Secara garis besar penduduk Malaysia bisa dibagi ke dalam dua kelompok besar. Kelompok pertama adalah Bumi Putera yang terdiri atas etnis Melayu, kelompok kecil Melayu dan Orang Asli. Etnis Melayu merupakan mayoritas dan identik dengan Islam dan tinggal di Semenanjung Malaysia. Etnis Cina ada sebanyak 26 %, India 7,7 % dan sisanya 1 % terdiri dari Arab, Sinhalese, Eurasians serta Eropa. Etnis non - Bumi Putera ini tersebar di seluruh Malaysia dan yang paling menonjol adalah etnik Cina dan India. Sejak awal kemerdekaan Malaysia, secara ekonomi tampak ada ketimpangan yang cukup besar. Hingga tahun 1970, sebanyak 49 persen masyarakat Melayu masih hidup miskin. Roda perekonomian saat itu hanya 2,4 persen dipegang kelompok Bumi Putera (Melayu dan Dayak), masyarakat China dan India mengendalikan 33 persen, serta asing 60 persen. Jumlah penduduk Malaysia saat itu 10,81 juta jiwa. Melihat ketimpangan itu, Pemerintah Malaysia membuat kebijakan ekonomi baru (Dasar Ekonomi Baru/DBE) pada tahun 1970. Tujuannya, menaikkan taraf hidup masyarakat Bumi Putera agar setara dengan komunitas China dan India. Mula-mula didirikan berbagai perguruan tinggi. Warga Bumi Putera diberi peluang seluas-luasnya untuk kuliah. Para sarjana dari komunitas itu yang punya prestasi baik dikirim melanjutkan studi doktoral di Inggris, Australia, dan Negara lainnya. Setelah lulus, mereka kembali mengabdi di Malaysia. Selain itu, bank-bank pemerintah diwajibkan memberi kredit lunak dengan suku bunga rendah kepada masyarakat Bumi Putera untuk usaha bidang pertanian, kerajinan, dan lainnya. Masyarakat juga didorong melakukan kegiatan ekonomi produktif lain untuk peningkatan pendapatan dan taraf hidup. Jika terjadi kredit macet, para debitor (terutama Bumi Putera) tak dikenai sanksi, tetapi cenderung diputihkan. Malah, yang bersangkutan dikucuri lagi kredit guna menggiatkan usahanya. Petugas perbankan juga aktif mendatangi pedagang kecil dan petani menawarkan kredit lunak. "Pokoknya, demi kesejahteraan kalangan Bumi Putera, apa pun dilakukan Pemerintah Malaysia. Kesalahan mereka sebelumnya dengan mudah dimaafkan, langkah berani yang dilakukan Pemerintah Malaysia, boleh dibilang sukses. Terbukti, saat ini hampir semua posisi pemerintahan, dosen pada berbagai perguruan tinggi ternama, dan badan usaha milik negara (BUMN) di Malaysia dikendalikan kaum Bumi Putera. Jumlah warga miskin di kalangan Bumi Putera juga berkurang menjadi 17 persen dari target semula 16 persen. Kini, kalangan Bumi Putera mengendalikan 30 persen roda perekonomian. Sedangkan masyarakat India dan China sekitar 40 persen dan sisanya 30 persen dikuasai asing. Lain di Malaysia, lain pula di Indonesia. Suku Melayu di Indonesia paling banyak bermukim di pulau Sumatera dan sebagian pulau Kalimantan. Tapi perhatian terhadap masyarakat Melayu sebagai salah satu rumpun bangsa yang besar di Sumatera Utara masih relatif sedikit. Padahal pada abad ke- 19 suku bangsa Melayu pernah memegang kekuatan yang sangat strategis di kawasan perairan Malaka. Mereka mencapai puncak kejayaan pada masa tersebut karena menguasai perdagangan, pelayaran, dan pertanian. Namun, kejayaan itu seolah tanpa bekas karena sekarang sangat minim orang Melayu yang menonjol dalam kehidupan sehari-hari. Memang kemajuan etnis Melayu di Malaysia tidak terlepas dari kebijakan pemerintahnya yang pro pada mereka. Namun kebijakan yang memanjakan kaum Bumi Putera tidak menguntungkan untuk jangka panjang, terutama dalam membentuk etos kerja kaum Bumi Putera. Sebagai contoh, di luar lembaga dan perusahaan milik pemerintah Malaysia, kalangan Bumi Putera nyaris tak berkembang optimal. Untuk profesi dokter dan pengacara masih didominasi masyarakat India. Oleh karena itu untuk memajukan Melayu di Indonesia bukan berarti serta merta memindahkan apa-apa yang ada di Semenanjung Malaysia. Sebab bagi Melayu Indonesia yang terpenting adalah memanfaatkan potensi yang ada secara optimal. Inilah cara melayu Indonesia, bukan cara Malaka, Selangor ataupun Johor yang ada di negeri jiran. Ada yang bilang puak, rumpun, suku, bahkan orang ”Melayu”. Ucapan ini membuktikan betapa sohornya ”Melayu” di belahan bumi ini. Secara umum dari pendapat para tokoh-tokoh adat, Melayu bukanlah suku, melainkan ”puak Melayu”. Dengan ucapan puak, berarti cakupan Melayu semakin mengembrio. Pasalnya, baik dari suku manapun, sepanjang beragama Islam, bisa dikakatan sebagai ”puak Melayu”. Ini menambah aura melayu ”sahabat semua suku”. Biduk dikayuh kiambang berlalu. Jangan berpangku dagu, hadapi gelombang di depan sebagai bukti perjuangan menuju Melayu bersatu dengan kekuatan mengangkat batang terendam. ”Tak Melayu Lapuk Ditelan Zaman". Wallahualam. Kunjungi di SALAM DIALOG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H