Mohon tunggu...
Dialognol Ichwan Kalimasada
Dialognol Ichwan Kalimasada Mohon Tunggu... -

Ichwan Kalimasada. Semua yg nampak itu cermin & pertanda berulang-ulang dlm perubahan tp abadi karena realitas sejati hanya SATU. The One only love, the love only one. Salam Dialognol http://ichwankalimasada.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Pidato SBY Bukan Sebagai Presiden, Hanya Sebagai Pengamat

23 November 2009   19:29 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:13 1330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_28912" align="alignleft" width="300" caption="(Foto sbytv.com)"][/caption] Saya sepertinya tidak percaya kalau sikap SBY dalam pidatonya hanya terdengar sebagai pandangan seorang pengamat politik dan hukum dan bukan pandangan untuk seorang presiden, padahal sikap ini sangat dinanti-nantikan hampir semua orang. Saya kebetulan mendengar pidato ini melalui radio yang disiarkan secara langsung karena sedang dalam perjalanan, seolah tidak percaya apa yang disampaikan, sampai ditujuan saya segera membuka internet mencari teks pidato ini di situs-situs online, dan memang demikian kesimpulan saya sebagai orang awam menilai pidato SBY ini. Untuk ini dibawah ini saya kutip beberapa isi pidato tersebut terkait kasus Bibit-Candra : Dalam kaitan ini, sesungguhnya jika kita ingin mengakhiri silang pendapat mengenai apakah Sdr. Chandra M. Hamzah dan Sdr. Bibit Samad Riyanto salah atau tidak salah, maka forum atau majelis yang tepat adalah pengadilan. Semula saya memiliki pendirian seperti ini. Dengan catatan, proses penyidikan dan penuntutan mendapatkan kepercayaan publik yang kuat. Dan tentu saja proses penyidikan dan penuntutan itu 'fair, objektif dan disertai bukti-bukti yang kuat. Dalam perkembangannya, justru yang muncul adalah ketidakpercayaan yang besar kepada pihak Polri dan Kejaksaan Agung, sehingga telah masuk ke ranah sosial dan bahkan ranah kehidupan masyarakat yang lebih besar. Oleh karena itu, faktor yang saya pertimbangkan bukan hanya proses penegakan hukum itu sendiri, tapi juga faktor-faktor lain seperti pendapat umum, keutuhan masyarakat kita, azas manfaat, serta kemungkinan berbedanya secara hakiki antara hukum dengan keadilan. Sebelum memilih opsi atau konstruksi penyelesaian kasus ini di luar pertimbangan faktor-faktor non-hukum tadi, saya juga menilai ada sejumlah permasalahan di ketiga Lembaga Penegak Hukum itu, yaitu di Polri, Kejaksaan Agung dan KPK. Permasalahan seperti ini tentu tidak boleh kita biarkan dan harus kita koreksi, kita tertibkan dan kita perbaiki. Oleh karena itu, solusi dan opsi lain yang lebih baik yang dapat ditempuh adalah pihak kepolisian dan kejaksaan tidak membawa kasus ini ke pengadilan dengan tetap mempertimbangkan azas keadilan, namun perlu segera dilakukan tindakan-tindakan korektif dan perbaikan terhadap ketiga lembaga penting itu, yaitu Polri, Kejaksaan Agung dan KPK. Solusi seperti ini saya nilai lebih banyak manfaatnya dibanding mudharatnya. Tentu saja cara yang ditempuh tetaplah mengacu kepada ketentuan perundang-undangan dan tatanan hukum yang berlaku. Saya tidak boleh dan tidak akan memasuki wilayah ini, karena penghentian penyidikan berada di wilayah Lembaga Penyidik (Polri), penghentian tuntutan merupakan kewenangan Lembaga Penuntut (Kejaksaan), serta pengenyampingan perkara melalui pelaksanaan asas oportunitas merupakan kewenangan Jaksa Agung. Tetapi sesuai dengan kewenangan saya, saya menginstruksikan kepada Kapolri dan Jaksa Agung untuk melakukan penertiban, pembenahan dan perbaikan di institusinya masing-masing berkaitan dengan kasus ini. Demikian pula saya sungguh berharap KPK juga melakukan hal yang sama di institusinya. Jika kita mencoba menyimak dengan teliti kutipan pidato diatas, maka memang sebaiknya kasus ini dilanjutkan ke pengadilan saja agar dapat dibuktikan sebenarnya siapa yang salah, apakah KPK (bibt-candra) atau Kapolri dan kejagung, apalagi sebelumnya pihak kejagung juga sudah mengatakan bahwa berkas penyidikan sudah lengkap, demikian pula Kapolri berpendapat didepan Publik dan dalam Raker dengan DPR bahwa mereka cukup bukti untuk itu. kenapa saya berpendapat demikian, karena SBY menilai di ketiga lembaga tersebut terdapat permasalahan yang serius, baik di Kapolri, kejagung dan kapolri. Beliau malah berpendapat bahwa sebaiknya masalah ini diselesaikan melalui pengadilan, namun disisi lain dia meminta untuk dihentikan/tidak dibawa kepengadilan karena dalam perkembangannya beliau menilai masyarakat sudah tidak percaya kepada kepolisian dan kejagung. Jika begini pendapat SBY, lalu apa tindakan selanjutnya agar kepercayaan masyarakat dapat terbangun kembali terhadap Polri dan Kejagung, seharusnya ke dua pejabat ini dicopot dan diganti, beliau hanya menyarangkan agar dilakukan tindakan-tindakan korektif dan kuratif, logika sederhananya; "apakah bisa pakaian kotor jadi bersih kembali jika dicuci dengan air comberan....?" Tudingan SBY bahwa di KPK juga ada sejumlah permasalahan, namun SBY tidak menjelaskan kenapa beliau berpendapat demikian, tanya kenapa ? dengan demikian dapat diibaratkan bahwa Polri, kejagung dan KPK seperti anak kecil yang berkelahi, kemudian bapak anak-anak ini SBY lalu berkata, "kalian semua salah, kerjanya berkelahi saja, lebih baik kalian berdamai dan jangan saling menyalahkan." Intinya jika pidato ini dianggap solusi maka SBY melakukan langkah penyelesaian secara 'adat', kerennya dianggap wing-wing solution, namun borok yang sesungguhnya tidak diungkap, malah ditenggelamkan, kasarnya dikaburkan agar semakin tidak jelas siapa yang benar dan siapa yang salah. Dari isi pidato yang disampaikan selama kurang lebih durasi 20 menit, inti kesimpulan pidato SBY ini adalah sebagai berikut : Solusi seperti ini saya nilai lebih banyak manfaatnya dibanding mudharatnya. Tentu saja cara yang ditempuh tetaplah mengacu kepada ketentuan perundang-undangan dan tatanan hukum yang berlaku. Saya tidak boleh dan tidak akan memasuki wilayah ini, karena penghentian penyidikan berada di wilayah Lembaga Penyidik (Polri), penghentian tuntutan merupakan kewenangan Lembaga Penuntut (Kejaksaan), serta pengenyampingan perkara melalui pelaksanaan asas oportunitas merupakan kewenangan Jaksa Agung. Tetapi sesuai dengan kewenangan saya, saya menginstruksikan kepada Kapolri dan Jaksa Agung untuk melakukan penertiban, pembenahan dan perbaikan di institusinya masing-masing berkaitan dengan kasus ini. Demikian pula saya sungguh berharap KPK juga melakukan hal yang sama di institusinya. Dengan demikian walaupun di awal pidato sby berpendapat kasus ini tidak dibawa pengadilan, namun kesimpulan akhirnya, ya semua terserah kembali kepada polri dan kejagung. Dalam pidato ini SBY menginstruksikan kepada Kapolri dan Jaksa Agung untuk melakukan penertiban, pembenahan dan perbaikan di institusinya masing-masing berkaitan dengan kasus ini. kata menginstruksikan hanya terdapat sekali, hanya perintah penertiban, pembenahan dan perbaikan, sedangkan pendapat sby agar kasus ini tidak dibawa ke pengadilan hanya berbahasa 'saran' atau opsi, bukan perintah atau instruksi. Hasilnya, pidato sby ini hanya pendapat pribadi beliau sebagai pengamat terhadap kasus ini dan bukan sebagai seorang presiden. Jika SBY menganggap ini solusi, maka pidato ini hanya sebagai jalan tengah ciri 'savety personality' sby alias slumen-slumen slamet, karena adanya tarik-menarik benturan kepentingan dibalik kasus ini. wallahualam. SALAM DIALOG

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun