Keesokan harinya keluarga Ibrahim meneruskan perjalanannya menuju Arafah. Ibrahim tidak bercerita apapun kepada anak dan istrinya tentang mimpinya semalam. Karena ia sendiri masih tidak tahu dan ragu-ragu tentang takwil mimpi tersebut. Apakah itu sekedar kembang tidur, godaan setan, atau perintah Allah. Mereka sampai di padang Arafah sore hari menjelang malam. Disanalah Ibrahim membuka tenda untuk bermalam.
Mimpi kedua.Â
Pada malam 9 Dzulhijah di Arafah, kembali Ibrahim bermimpi. Mimpi keduanya itu sama persis dengan mimpi pertama saat di Mina yaitu menyembelih putranya, Ismail. Ia tergeragab kembali, terbangun dari tidurnya. Dan seperti malam sebelumnya, ia tidak bisa memejamkan matanya kembali sampai pagi. Mimpi itu membuat keraguannya akan perintah Allah mulai luntur.
Tak kuat rasanya ia memendam sendirian. Ingin diceritakannya kepada anak istrinya beban yang berat menghimpit itu. Tetapi ia menahan diri sampai siang datang. Dalam kegundahan itu, Ibrahim memutuskan untuk tidak menceritakan dulu kepada mereka, melainkan akan terlebih dahulu mohon petunjuk kepada Allah.
Ibrahimpun menghentikan segala aktivitasnya, melakukan WUKUF di dalam tenda sambil memohon petunjuk kepada-Nya. Ia berkontemplasi, berdzikir, dan berdoa sepanjang siang hari hingga sore, menjelang matahari tenggelam.
Ia dapatkan rasa tenteram, dan menjadi lebih tenang karenanya. Hatinya menjadi lebih jernih dalam menangkap tanda-tanda dari Allah. Dan iapun memohon kepada-Nya untuk memperjelas perintah itu agar ia mantab dan tidak ragu-ragu dalam menjalaninya.Â
Tanggal 9 Dzulhijah ini dalam ritual ibadah haji dikenal sebagai Hari Arafah (Hari Pencerahan), dimana Ibrahim memperoleh pencerahan atas makna ujian yang diberikan Allah kepadanya.
Mimpi yang sama kembali terjadi pada malam 10 Dzulhijah di Arafah. Seperti mimpi-mimpi malam sebelumnya, dengan sangat jelas nabi Ibrahim menyembelih Ismail, putranya. Ibrahim-pun menjadi yakin bahwa mimpi itu adalah perintah Allah kepadanya untuk mengorbankan putranya sebagai bukti ketaatan kepada-Nya.
Akhirnya ia memutuskan untuk melaksanakan perintah Allah itu keesokan harinya. Sehingga tanggal 10 Dzulhijah dikenal sebagai HARI NAHAR (hari berkorban).
Malam itu, Ibrahim dan keluarganya melanjutkan perjalanan meninggalkan Arafah menuju ke Mina. Tengah malam mereka berhenti di Muzdalifah. Saat itulah Ibrahim mulai diganggu dan dirayu oleh setan, agar membatalkan keputusannya mengorbankan Ismail. Tapi, Ibrahim sudah mantab hati, dan teguh pada keyakinannya untuk melaksanakan perintah Allah pada keesokan harinya. Ibrahim lantas mengambil sejumlah batu untuk mengusir setan yang menghalanginya.