Mohon tunggu...
De Kalimana
De Kalimana Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Napak Tilas Perjalanan Spiritual Nabi Ibrahim

30 Agustus 2017   18:02 Diperbarui: 30 Agustus 2017   18:10 3487
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

"Al-Hajju Arafah" artinya "(puncak) ibadah haji itu adalah wukuf di Arafah". Itulah jawaban Rasulullah ketika ditanya oleh sekelompok orang yang datang dari Nejed saat beliau sedang "wukuf" di padang Arafah. ibadah haji merupakan napak tilas perjalanan spiritual nabi Ibrahim, mengenang kisah ketaatannya atas perintah Allah SWT untuk menyembelih (mengorbankan) anak yang sangat dicintainya, Ismail. Ritual itu bermula dari Arafah, Muzdalifah, Mina, dan berakhir di bukit Marwah, di Mekah pada tanggal 8, 9 dan 10 Dzulhijah. 

Perintah Allah kepada nabi Ibrahim untuk menyembelih Ismail diperolehnya melalui mimpi-mimpinya, saat perjalanan beliau dan keluarganya dari Mekah menuju Arafah. Mimpi itu datang berturut-turut selama tiga malam, yaitu saat di Mina, dan dua malam di Arafah. Mimpi yang pertama (di Mina tanggal 8 Dzulhijah) masih membuat keraguan di hati nabi Ibrahim. 

Namun mimpi yang kedua (di Arafah tanggal 9 Dzulhijah) membuat hatinya bimbang sehingga beliau merasa perlu untuk melakukan perenungan atas mimpinya itu Saat di padang Arafah itulah nabi Ibrahim melakukan perenungan (wukuf) di dalam tenda sambil memohon petunjuk kepada-Nya. Beliau berkontemplasi, berdzikir, dan berdoa sepanjang siang hari hingga menjelang matahari tenggelam. Itu terjadi pada tanggal 9 Dzulhijah. Memasuki malam 10 Dzulhijah nabi Ibrahim kembali bermimpi seperti mimpi-mimpi malam sebelumnya. 

Ia diperintahkan untuk mengorbankan anaknya. Mimpi yang ketiga itu membuat Ibrahim menjadi yakin bahwa itu adalah perintah dan ujian dari Sang Maha Penguasa. Dan akhirnya pada tanggal 10 Dzulhijah, sebagai bukti ketaatannya kepada Allah nabi Ibrahim memutuskan untuk melaksanakan perintah yang sangat berat itu. Sehingga tanggal 10 Dzulhijah dikenal sebagai Hari Nahar alias Hari Berkorban. Nabi Ibrahim dan keluarganya melanjutkan perjalanan meninggalkan Arafah menuju ke Mina. 

Tengah malam ia berhenti di Muzdalifah. Saat itulah Ibrahim mulai diganggu dan dirayu oleh setan, agar membatalkan keputusannya mengorbankan Ismail. Ibrahim lantas mengambil sejumlah batu untuk mengusir setan yang menghalanginya. Kemudian Ibrahim dan keluarganya menuju ke sebuah bukit yang kemudian dikenal sebagai Jabal Qurban, dimana Ibrahim akan melaksanakan perintah Allah mengurbankan Ismail. 

Dalam perjalanan ke atas bukit di Mina itulah Ibrahim dan Ismail dihadang oleh setan, lagi-lagi merayu agar membatalkan niat kurban itu. Tetapi, Ibrahim sekali lagi melemparinya dengan bebatuan sampai setan itu pergi. Dan begitulah lagi sampai kali yang ketiga. Kelak, pelemparan batu terhadap setan itu dikenang sebagai lempar Jumrah. Sesampai di atas bukit, barulah Ibrahim menceritakan kepada Ismail tentang mimpinya yang datang berturut-turut dalam tidurnya selama tiga hari. Betapa beratnya pergulatan batin yang terjadi dalam menyikapi perintah yang sangat berat itu. 

Terjadi dialog yang sangat menyentuh hati, antara seorang Ibrahim yang saleh dan taat dengan anaknya (Ismail) yang santun, penyabar dan ikhlas. Akhirnya mereka berdua memutuskan untuk membenarkan mimpi tersebut sebagai ujian yang datang dari Allah. Kisah itu dibadikan dalam Al-Qur'an surat Ash Shafaat (37) ayat 100 sampai dengan ayat 110. Karena nabi Ibrahim (dan juga Ismail) telah menunjukkan ketaatan akan perintah-Nya, maka Allah memerintahkan Ibrahim untuk mengganti anaknya dengan seekor domba sebagai simbol ketaatan pengorbanannya. Bagi kita yang sedang tidak melaksanakan ibadah haji, maka sangat dianjurkan untuk berkurban seekor hewan berupa domba, sapi atau onta. 

Ibadah kurban itu sebagai symbol ketaatan kepada Allah, meneladani ketaatan nabi Ibrahim yang rela mengorbankan putra kesayangannya meski akhirnya diganti dengan seekor domba. Berkorban dengan seekor domba atau sapi bukanlah sesuatu yang berat dibandingkan dengan sesuatu yang lain yang kita cintai, berupa harta, kekayaan, dan sebagainya. Apalah artinya bila dibandingkan dengan harus mengorbankan anak yang sangat dicintainya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun