Mohon tunggu...
Kalia Azzahra Munawar
Kalia Azzahra Munawar Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Padjadjaran

Saya mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Prodi Ilmu Politik, Universitas Padjajaran. Hobi Saya menulis, beryanyi, dan menulis puisi. Kepribadian atau MBTI saya ENFJ-T. Konten Favorite saya seputar politik, bahasa, budaya, kuliner, musik, dan dokumenter.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Demokrasi Intra-Partai sebagai Katalisator Reformasi Manajemen Partai Politik di Indonesia

15 Oktober 2024   23:02 Diperbarui: 15 Oktober 2024   23:11 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Indonesia telah melewati reformasi selama 26 tahun. Saat reformasi 1998 sangat terasa semangat reformasi dari segi kelembagaan negara tetapi untuk reformasi partai politik sendiri sepertinya Indonesia masih tertinggal. Partai politik di Indonesia pada awal pertumbuhannya memiliki karakteristik masing-masing yang berbeda yang kemudian akhirnya memberikan efek yang berbeda juga untuk partai itu sendiri. Ada partai yang memang dibesarkan oleh ideologi maka para ideolog dalam partai itu tempatnya sangat terhormat, kemudian ada partai yang tumbuh dengan faktor kesejarahan (historical approach) di mana terdapat sosok atau tokoh yang menjadi pendiri atau penyelamat partai politik tersebut dan posisinya tidak dapat tergantikan karena tanpa kehadiran tokoh tersebut maka partai tersebut tidak akan dapat mempertahankan eksistensinya. Selain itu, ada juga faktor terkait dengan masalah finansial dalam suatu partai di mana ada partai yang memang sangat bergantung pada sosok tertentu yang memiliki basis legitimasi dalam aspek finansial, yang kemudian dalam perkembangannya juga dapat dipengaruhi oleh faktor soliditas. Partai yang pernah mengalami guncangan soliditas akan menganggap soliditas sangat penting sehingga pada akhirnya akan menempatkan sosok yang bisa memberikan rasa aman terhadap keberlangsungan partai sehingga soliditas disini bisa menjadi faktor yang sangat powerful. 

Terlepas dari itu, ada faktor-faktor lain termasuk faktor lingkungan yang secara objektif belum cukup mendorong (encouraging) partai-partai menjadi lebih profesional dan modern sehingga ketika ada peristiwa yang merendahkan hakikat partai misalnya money politics, hal itu tidak menjadi satu catatan penting sebagai suatu reaksi atau respon kritis untuk tidak lagi memilih partai tersebut melainkan dianggap sebuah kewajaran dalam budaya politik kita yang sangat permisif dan itu tidak cukup bisa menghukum partai yang melakukan pelanggaran. Dalam reformasi partai politik harus ada pembenahan-pembenahan yang sifatnya multidimensi karena kita tidak dapat memaksakan hanya dengan satu perbaikan saja dan secara teori pelembagaan yang dijelaskan oleh (Katz, R. S., & Mair, P., 1995) dalam bukunya "Changing Models of Party Organization and Party Democracy". Di dalam manajemen partai politik, ada empat kuadran perbaikan yang bersifat substansial internal terkait bagaimana partai politik mampu membangun satu budaya yang tidak pragmatis. Pragmatisme dalam partai politik sedikit banyaknya seperti virus yang dapat menggerogoti partai sehingga akhirnya akan menyebabkan suatu partai sangat permisif untuk melakukan suatu tindakan yang terlihat bisa dijalankan secara praktis, namun bisa menghancurkan hakikat demokrasi itu. 

Pelembagaan yang baik harus menunjukkan bagaimana suatu partai politik mampu memperkuat nilai-nilai visi misi baik untuk keutuhan partai maupun demi kepentingan bangsa dan masyarakat banyak. Artinya di sini partai harus memiliki standing position yang jelas dalam arah perjuangan yang menjadi identitas partai itu sendiri.  Jika partai tidak memiliki, membudayakan, dan mensosialisasikan hal tersebut di internal maupun eksternal partai kepada para konstituennya maka partai tersebut hanya menjadi bagian dari kekuasaan yang tidak memiliki hubungan dengan masyarakat banyak dan memiliki attachment dan ideologi yang rendah.

Dalam kuadran kedua terkait prosedur internal. Di sinilah hakikat yang kebanyakan orang tahu mengenai pelembagaan. Pelembagaan adalah satu aturan yang sangat dihormati sebagai penjuru bersama untuk dipatuhi. Sebuah partai yang ingin melakukan perbaikan harus taat dan konsisten terhadap asas dan aturan main yang berlaku. Hal ini juga penting karena menjadi tempat untuk melatih diri bagi kader-kader partai untuk nantinya mengurus negara dalam konteks negara demokrasi dan negara hukum. Jika kader partai tidak mengalami pendidikan internal di partainya untuk menghormati hukum sudah pasti akhirnya dia akan melecehkan hukum ketika menjadi aktor politik di level negara. Ini menjadi refleksi terhadap situasi kondisi Parpol di Indonesia saat ini. Reformasi parpol di Indonesia memang tidak mudah karena ada tendensi selama 26 tahun  reformasi ada posisi elit-elit atau figur-figur penting di dalam partai yang terkadang lebih berkuasa (above) daripada aturan sehingga banyak terjadi faksionalisasi. Faksionalisasi di sini bisa menjadi penafsiran yang sewenang-wenang dari pimpinan partai di awal reformasi (Marsh, D., & Webb, P., 1999). Salah satu faktor paling utama yang menyebabkan terjadinya faksionalisasi. Misalnya, faksionalisasi tiga kali di PKB itu salah satu yang sangat populer karena berawal dari penafsiran figur yang sangat dihormati terhadap aturan yang terkadang tidak sesuai dengan aturan itu  sendiri dan hal itu masih terjadi sampai sekarang. Faksionalisasi konflik internal partai disebabkan manuver elit yang melampaui atau melangkahi quran kemudian aturan tersebut didesain untuk menopang manuver politik sehingga konsepnya mulai terbalik dari Rule of Law menjadi Rule by Law. Hukum tidak dijadikan pedoman (guidance), tetapi menjadi backup politik.

Selanjutnya, dalam kuadran ketiga yaitu substansi eksternal di mana parpol berinteraksi dengan lingkungan disekitar ya yang juga berarti berbicara tentang sumber daya manusia, budaya, dan tradisi. Jika sumber daya manusia di dalam suatu parpol secara utuh sadar tentang demokrasi dan norma-norma di dalamnya maka partai pada akhirnya akan terdorong untuk menghormati demokrasi. Sayangnya, environmental politics di Indonesia masih permisif, kita bisa melihat dari tingginya praktik dinasti politik yang tidak disertai dengan praktik merit sehingga partai tidak merasa tertantang untuk menjadi lebih baik. Di Indonesia, sejauh partai itu solid dan bisa berpartisipasi dalam kekuasaan meskipun tidak mengakomodir kepentingan rakyat bahkan bersifat anti demokratik dandan korup itu tidak benar-benar menjadi masalah atau ancaman serius bagi pembangun kualitas demokrasi intra partai maka yang akan terjadi adalah penguatan sosok-sosok di dalam partai sementara kompetisi yang seharusnya menjadi faktor penting dalam intra-party democracy malah tereduksi.

Kuadran keempat juga terkait substansi eksternal tetapi dilihat dari sisi prosedur di sini lah tugas pemerintah dan DPR bermain untuk menciptakan aturan-aturan yang membuat partai menjadi lebih modern. Misalnya undang-undang yang kemudian menyebabkan partai harus berkoalisi terlebih dahulu untuk mendukung seorang kandidat presiden, koalisi yang terlalu kuat dan mendominasi tidak terlalu sehat karena di situ akan menjadi salah satu sumber beternaknya oligarki dan juga menumbuhkan budaya kartel politik dan menjadi post-democracy party di mana elit akhirnya yang lebih menentukan ketimbang keseluruhan partai sehingga aturan-aturan yang dibuat akhirnya malah menyebabkan elitisme di Indonesia semakin kuat. Kita harus menghapus hal-hal itu karena pada akhirnya aturan-aturan itu memiliki impact ke dalam kualitas partai politik itu sendiri. Diperlukan aturan-aturan yang memaksa partai untuk menjadi lebih modern misalnya keharusan kaderisasi, minimal  30% kuota keterwakilan perempuan. Kaderisasi yang sistematis dan berkala menentukan karir seorang kader. Untuk mendirikan partai saja biaya politik yang digunakan sangat besar harus ada 100% provinsi dan 75% kabupaten kota. Pencalonan kepala daerah harus melalui persetujuan ketua umum partai yang bersifat sentralistik. 

Prof. Firman Noor Peneliti BRIN dan Perludem pada tahun 2022 meneliti mengapa perlu untuk mengukur indeks intra-party democracy partai politik? 

 (Mandarnesia.com)
 (Mandarnesia.com)
Ada lima indikator yang diukur di dalam partai politik, yaitu: Partisipasi, Kompetisi, Representasi, Transparansi, dan Responsivitas Parpol. (Katz, 2008). Yang pertama adalah partisipasi, selain soal Free and fair elections ada juga mekanisme representasi partai politik di dalamnya yang spesifik mengukur performa partai sebagai institusi demokrasi yang seharusnya menerapkan nilai-nilai demokrasi. Sementara itu, dalam partisipasi lebih mengarah pada keterlibatan langsung atau tidak langsung keanggotaan dalam pengambilan keputusan baik dalam segi kebijakan ataupun utamanya dalam menentukan pimpinan partai, seperti ketua umum partai, ketua di tingkat provinsi, atau pun kabupaten/kota yang termasuk ke dalam mekanisme internal partai politik dan sejauh mana keterlibatan anggota partai dalam konteks rekrutmen. Misalnya, ini dalam mekanisme musyawarah nasional (Munas) yang dilakukan partai politik dalam menentukan pemimpin partai haruslah melibatkan seluruh anggota partai, pengurus partai di level pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Namun, saat melakukan Munas biasanya yang memiliki hak suara untuk menentukan pemimpin partai hanya di tingkat provinsi atau ditentukan oleh segelintir elit saja. Begitu pula di tingkat daerah, pengurus provinsi kabupaten/kota juga sama termasuk mekanisme pencalonannya, sama halnya seperti di luar negeri ada yang disebut dengan primary elections atau convention dalam pemilu termasuk pemilihan kepala daerah karena ada ketentuan surat rekomendasi dari ketua umum dan juga Sekjen maka nilai konteks partisipasinya akan jelek karena di dalam level undang-undang Pemilu ditentukan bahwa meskipun kabupaten/kota dan provinsi mengusulkan seorang calon tetapi hasil akhirnya diputuskan oleh level pusat sehingga beberapa lapisan parpol tidak memiliki otonomi sendiri untuk menentukan siapa yang akan dicalonkannya. Contohnya kasus pencalonan Solo pada Pilkada 2020 di mana wali kota sebelumnya mengusulkan Teguh Prakosa sebagai calon wali kota Solo 2020, tetapi pengurus pusat memiliki keputusan yang berbeda atau contoh lain misalnya dalam Pilkada 2024 ini Anies Baswedan memang sempat dikabarkan akan diusung oleh PDIP untuk maju dalam Pemilihan Gubernur Jawa Barat 2024.
Anies Baswedan (kiri) bersama Ketua DPD PDIP Ady Widjaja (kanan) berfoto bersama usai menggelar pertemuan tertutup di kantor DPD PDIP. (ANTARA FOTO)
Anies Baswedan (kiri) bersama Ketua DPD PDIP Ady Widjaja (kanan) berfoto bersama usai menggelar pertemuan tertutup di kantor DPD PDIP. (ANTARA FOTO)
Menurut Ono Surono, Ketua DPD PDIP Jawa Barat, Anies pada awalnya bersedia diusung oleh PDIP. Namun, proses ini akhirnya tidak berlanjut karena adanya campur tangan dari pihak-pihak tertentu, yang disebut oleh Ono Surono selaku Ketua DPD PDIP Jawa Barat sebagai ulah "Mulyono dan geng," yang menghalangi pencalonan Anies. Pada akhirnya, PDIP tidak mencalonkan Anies dan memilih pasangan Jeje Wiradinata dan Ronald Surapradja untuk maju di Pilgub Jawa Barat 2024. Ini lah akibat dari kuadran keempat tadi bahwa pemerintah yang seharusnya menyiapkan regulasi untuk mendukung demokratisasi dalam perlembagaan partai tidak berjalan dengan baik dan adanya campur tangan dalam konteks regulasi yang mereduksi demokratisasi di internal partai. Yang kedua adalah representasi lebih mengarah ke aspek keterwakilan seperti keterwakilan perempuan, anak muda, kelompok-kelompok minoritas, dan masyarakat adat. Yang ketiga adanua kompetisi dalam jabatan politik di internal partai sebagai kendaraan dari institusi demokrasi yang mengantarkan orang untuk terpilih dalam Pemilu. Yang keempat adanya transparansi untuk mengetahui sejauh mana keterbukaan partai terhadap agenda-agenda partai, termasuk dalam konteks pelaporan keuangan partai di dalamnya. Terakhir, responsivitas berkaitan dengan sejauh mana kepuasan publik terhadap partai politik, apakah partai tersebut cukup responsif dalam menjalankan fungsi interest articulationnya atau tidak.

Heroik Pratama selaku peneliti Perludem menyebutkan angka skor dari sembilan parpol di parlemen dalam memenuhi indeks intra-party democracy di Indonesia yang paling tinggi adalah 54,9. Ketika parpol dengan indeks partisipasi yang tinggi artinya dalam penentuan ketua umumnya melibatkan lapisan pengurus kabupaten/kota, jika dalam konteks kompetisinya baik maka dalam kongres atau Munas ada beberapa calon calon yang maju menjadi calon ketua umum partai artinya ada ruang kompetisi dan hak anggota untuk menjadi ketua umum partai baik di level pusat atau pun provinsi sehingga kompetisi dan representasi dalam calon perempuan yang bukan hanya mencalonkan diri sebagai anggota legislatif tetapi juga menjadi ketua umum partai dan yang terakhir soal transparansi dan publikasi agenda partai soal, keputusan partai, dana kampanye partai, keuangan partai termasuk hasil audit partai politik.

Tidak mudah mendorong partai politik untuk melakukan reformasi karena bisa saja mengganggu kenyamanan elit di dalamnya. Sudah saatnya Indonesia memiliki standar tinggi dalam pembangunan pelembagaan agar kita juga punya arah yang terbaik dalam memilih partai politik untuk memperjuangkan kepentingan kita atau pun kader parpol yang akan menjadi pemimpin kita di masa depan. Jika kita menurunkan standar dalam pembangunan kelembagaan khususnya parpol maka bangsa ini akan terbiasa menjadi permisif untuk memiliki partai yang berkualitas, padahal kualitas partai pada akhirnya akan menentukan kualitas hasil pemilu dan kebijakan-kebijakan yang dibutuhkan rakyat. Kita harus terus berharap tinggi terhadap partai politik sebagaimana juga kita berharap tinggi terhadap pimpinan-pimpinan dalam level kehidupan berbangsa dan bernegara.

Memang butuh waktu lama untuk mencapai semua itu karena ini melibatkan masyarakat sipil dan eksistensi political society. Sebuah partai juga harus memiliki kesadaran yang kuat di level leadership di tengah budaya politik Indonesia yang masih berbau patron-klien atau patronase. Sebenarnya leadership bisa membantu parpol lebih efektif untuk menciptakan perbaikan-perbaikan. Namun, sayangnya justru leadership dalam parpol saat ini seperti dilema antara mau menciptakan leadership yang solid atau leadership yang partisipatoris. Di Indonesia kompetisi antar calon atau kader parpol dalam pemilu tidak berada di dalam konteks satu logika demokrasi yang prosedural sehingga terkadang melanggar prosedur atau tidak bersifat demokratis. Persoalan menang atau kalah tidak menyisakan satu peluang agar yang kalah tetap eksis dengan layak di dalam partai biasanya langsung di dihilangkan dihabisi bagaikan suatu hukuman, padahal di negara-negara yang demokrasi maju justru soliditas muncul karena ada satu kompetisi yang sehat. Oleh karena itu, partai-partai di negara demokrasi maju bisa ratusan tahun umurnya, bukan karena mekanisme otoritarian di dalam partai, tetapi justru karena sistemnya demokratis, partisipasi, kompetisi, dan transparansinya tinggi yang justru menciptakan sense of belonging.

Berbeda halnya dengan di Indonesia yang hubungannya cenderung berlandaskan hukum besi oligarki

https://www.kompasiana.com/puja0006/624eae8692cb5a4e6f3d7152/hukum-besi-oligarki-penyebab-maraknya-korupsi-dan-rendahnya-hubungan-partai-politik-denga
https://www.kompasiana.com/puja0006/624eae8692cb5a4e6f3d7152/hukum-besi-oligarki-penyebab-maraknya-korupsi-dan-rendahnya-hubungan-partai-politik-denga
yang membuat kader di level bawah merasa memiliki atau tidak memiliki partai secara utuh. Akibatnya, loyalitas mereka menjadi relatif, bergantung pada kedekatan dengan pimpinan. Hal ini mendorong pragmatisme, di mana loyalitas lebih diarahkan kepada pimpinan partai daripada kepada visi dan misi partai itu sendiri (Michels, 1911).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun