Ini pengalaman pribadi saya, berobat ke RSJ sekira setahun silam. Murah, cuma habis Rp 750 ribu. Tapi sampai sekarang belum sembuh, malah tambah parah.
Nyeri pada gigi-lah yang membuatku mendatangi RS yang sebenarnya tidak dikhususkan bagi orang gila itu (mungkin sebenarnya saya gila, tapi waktu itu berobat bukan karena tidak waras).
Yap, sebenarnya bukan hanya orang gila yang berhak berobat ke ke RSJ. Yang (merasa) waras pun, boleh kok. Prinsipnya, penyakit tak kenal status.
Jika orang waras bisa sakit gigi, orang gila juga bukan? Sebaliknya, jika orang gila bisa kena mag,orang waras idem. Maka, RSJ biasanya memiliki klinik yang menangani penyakit fisik. RSJ juga tidak membeda-bedakan status, pasiennya orang gila atau waras.
Oke nggak panjang lebar, iniah pengalaman pribadiku berobat ke RSJ. Dengan berkendara sepeda motor, saya masuk lokasi. Kena parkir Rp 2 ribu. Lebih mahal dari parkir di mal, tak jauh dari situ.
Di klinik gigi, aku satu-satunya pasien. Pokoknya sepi. Dua dokter di situ terkesan berebut pasien. Dokter cewek agresif merayu, dokter cowok terkesan kalem tapi tetap berusaha mengarahkan agar berobat padanya. Okelah, mungkin mereke bete nggak ada pasien sehingga harus berebut job. Nganggur memang bikin bete, bukan?
Akhirnya aku milih dokter cewek. Setelah memeriksa mulutku, doi malah nyarani aku bikin gigi palsu, sebagai pengganti gigiku yang sudah ompong. Bukannya fokus memeriksa gigiku yang belum ompong tapi terasa cenut-cenut.
Akhirnya, kena "bujuk rayu". Deal. bikin gigi palsu dua biji. Kalau nggak salah, biayanya Rp 750 ribu bisa dilunasi setelah gigi palsu jadi.
Tiga hari kemudian, gigi palsu jadi. Mbayarnya bukan ke loket atau kasir, tapi langsung ke dokter itu. Lucunya, , si dokter tak mau memberi kuitansi. "Kami tidak menyediakan kuitansi," katanya.
Aku ngotot minta. Alasannya, agar diganti uang kantor.
Ye elah, si dokter ngasih kuitansi tulisan tangan. Pakai blangko kuitansi biasa yang banyak dijual di toko. Bukan kuitansi rumah sakit dengan cap resmi.