[caption id="attachment_361977" align="aligncenter" width="490" caption="Anak-anak main tarkam"][/caption]
Waktu televisi cuma masih TVRI, belum banyak alternatif siaran langsung pertandingan sepakbola. Tahun 1985-an, banyak produk yang bersedia mendanai sepakbola tarkam.
Rokok Djarum Super, Bentoel, dan Teh Kotak kerap menjadi donatur. Karcis bisa ditukar produk. Karena harga karcis setara harga produk, maka serasa beli produk berhadiah nonton.
Hadiah teh kotak, bagi saya, sungguh bikin ngiler. Kala itu, belum banyak minuman kemasan. Maka sekotak teh sunguh sangat membuat hati terpikat. Apalagi melihat teh kotak berkotak-kotak diangkut becak. Heran sekaligus takjub.
Bapak dan kakak saya merupakan pemain tarkam. Kerap berlaga melawan tim dari desa atau kecamatan tetangga. Biasanya nyarter truk atau bak terbuka sebagai sarana transportasi.
Saban berlaga ke luar kota, saya selalu diajak oleh bapak. Disuruh nonton, sekaligus menyemangati kakak agar bermain sportif. Malu, mosok ditonton adiknya kok mainnya curang. Kalau kalah-menang sih tak jadi persoalan.
Dulu juga kerap ada tawuran. Biasanya kalau pertandingan kompetisi. Yang bikin rusuh dari dua golongan: pendukung fanatik atau pemain-bandar judi.
Setelah teve mulai menyiarkan pertandingan, tarkam otomatis sepi sponsor. Tinimbang beriklan secara ketengan dari tarkam ke tarkam, mending sekalian beriklan di teve. Lebih massif, menjangkau target audiens lebih luas, serta anggaran (mungkin) lebih irit.
Zaman persoalan sekarang sepakbla lebih kompleks. Bukan cuma penonton fanatik dan bandar judi. Politik ikut masuk sehingga intriknya lebih menarik. Pertandingan di luar arena tak kalah menarik di dalam lapangan.
Di dalam lapangan, pelatih harus memutar otak meracik strategi. Sementara di luar lapangan, para bandar putar benak lebih berat untuk menjegal lawan. Pertarungan malah Lebih brutal, karena tanpa wasit, tanpa tendangan bebas, tanpa kartu kuning merah, dan tanpa kartu kuning. Ada juga yang jago diving.
Banyak juga kong-kalingkong di internal klub. Menyuap pelatih agar mendapat lebih banyak kesempatan bermain, marak di SSB. Para ortu yang banyak duit, tak segan memanjakan pelatih. Agar anaknya mendapat "perhatian". Ya begitulah. Kata WR Supratman, "Itulah Indonesia...."