[caption caption="Lucyanna Pandjaitan (kanan) dan Prof Dr Rhenald Kasali menjadi narasumber tentang edukasi online d Net TV dengan host Sarah Sechan (sumber:IndonesiaX)"][/caption]Meroketnya pamor kursus online gratis menggunakan platform massive open online course (MOOC) menjadi momok tersendiri bagi institusi pendidikan tradisional. Mereka kuatir gulung tikar karena kalah bersaing.
Bagaimana tidak, selama ini lembaga pendidikan konvensional cenderung mematok biaya mahal. Tingginya biaya akhirnya menjadi tembok penghalang bagi masyarakat kurang mampu untuk mengakses pendidikan.
Sebaliknya, kursus online gratis bukan hanya murah, bahkan nirbiaya. Semua gratis: dari pendaftaran, proses pembelajaran, sampai evaluasi. Satu-satunya ongkos yang harus dibayar hanyalah akses internet.
Edukasi online dengan MOOC membuka akses bagi masyarakat untuk mengakses pendidikan. Bahkan masyarakat di pucuk gunung sekalipun, karena internet kini telah merambah ke pelosok desa.
Dengan berbagai keunggulan yang ditawarkan, akankah MOOC menjadi momok bagi pendidikan konvensional?
Jutaan Siswa
Meroketnya pamor kursus online berbasis MOOC bisa terlihat tingginya populasi siswa. Padahal, MOOC baru diaplikasikan sekitar lima tahunan.
Coursera merupakan lembaga dengan jumlah siswa terbesar di dunia, mencapai 10,5 juta. Disusul edXÂ (3 juta), Udacity (1,5 juta), MiriadaX (1 juta), dan FutureLearn (800 ribu) (sumber: edSurge).
Mengapa lembaga kursus online berbasis MOOC mampu melayani jutaan siswa secara massif? Tak lain karena menggunakan kecanggihan teknologi. Yakni menggunakan platform (semacam perangkat lunak komputer). Dengan perangkat lunak tersebut, pembelajaran bisa dilakukan secara massif tanpa mengurangi kualitas.
Bayangkan jika menggunakan guru berupa manusia. Berapa banyak instruktur yang harus disiapkan Coursera untuk melayani 10,5 juta siswanya? Jika rasio ideal guru:siswa katakanlah dibuat sangat minimalis, 1:500, maka dibutuhkan lebih dari 21 ribu guru. Andai satu instruktur katakanlah digaji Rp 1 juta per bulan, maka Coursera harus mengeluarkan gaji Rp 21 miliar per bulan. Besar sekali bukan?
Menurut Alex Zhu, seorang pakar inovasi teknologi, MOOC memang sempat dikhawatirkan akan menjadi "kuburan" bagi lembaga pendidikan tradisional (Forbes). Menurut dia, edukasi online dengan MOOC bisa mengancam lembaga pendidikan konvensional. Sama halnya ketika teknologi digital menghancurkan industri musik rekaman.
Tetapi, kemudian Zhu berharap relasi antara kursus online dengan pendidikan konvensional tidak saling menegasi. Melainkan sebaliknya, saling mendukung.