[caption id="attachment_360279" align="aligncenter" width="560" caption="Anak-anak bermain golf"][/caption]
Golf bukan monopoli orang berduit. Anak-anak miskin di Dusun Jangli Gabeng, Kelurahan Jangli Kota Semarang juga kerap memainkannya. Sepuluh tahun lalu, mereka bahkan bisa bermain golf di lapangan golf asli berstandar internasional: Graha Candi Golf (GCG). Gratis tentunya, karena bea member di sana mestinya mahal.
Itu dulu, sekira 10 tahun silam. Saat itu, GCG (mungkin sengaja) belum tuntas membangun pagar pembatas. Ada salah satu titik, tepatnya sebelah timur-selatan yang belum terpagar.
Area tak berpagar ini, kerap dimanfaatkan warga Dusun Jangli Gabeng dan Jangli Mbanteng sebagai jalan pintas menuju kota. Dua dusun itu memang terkepung berbagai proyek: jalan tol serta lapangan golf.
Untuk keluar dusun, misalnya mereka harus mengitari padang golf yang luas, sehingga "jatuhnya" jauh. Daripada memutar, sebagian memilih menerobos melalui padang golf dengan memanfaatkan area yang belum berpagar tadi. Waktu itu, satpam (mungkin diinstruksikan) untuk mahfum dan tidak melarang warga yang melintas.
Selain sekadar melintas, sebagian anak-anak memanfaatkan lebih jauh. Saat kondisi sepi, para bocah bermain golf di salah satu lapangan. Stik maupun bolanya asli. Saya yakin, satpam dan pemilik golf mengetahui aktivitas "liar" itu. Tapi mungkin, kala itu, mereka memilih bersikap ramah.
[caption id="attachment_360280" align="aligncenter" width="300" caption="Penonton antusias"]

Bermain di Bukit
Sekarang, "jalan tikus" di lapangan golf itu sudah ditutup. Tetapi hobi golf jalan terus. Cuma pindah tempat saja. Tidak lagi di lapangan kelas internasional, cukup di tanah yang lapang dan terbuka.
Salah satu bukit di kawasan itu menjadi alternatif venue. Stik dan bolanya asli, tapi terlihat bekas (sudah lama). Tidak menggunakan tee, jadi bola langsung diletakkan di tanah. Saya sempat nongkrong melihat mereka bermain, tanpa paham bagaimana aturan permainan dan skoringnya.
Saya sempat bertanya, di mana mereka membeli stik dan bola. Mereka menjawab beli di toko, tanpa penjelasan lebih detil. Mungkin stiknya membeli bekas (maaf, sudah under estimate). Mungkin pemberian warga yang menjadi caddy di situ.