Menurut Walter Lippmann dalam bukunya Public Opinion, demokrasi sejak lahirnya sudah cacat. Pasalnya, persepsi publik akan suatu pilihan, telah teracuni oleh realitas semu hasil konstruksi media (pers). Makanya jangan heran jika rakyat terkecoh oleh "pencitraan".
Andai pers bersikap netral pun, mereka memiliki kelemahan. Yakni karena adanya bias tak sengaja, stereotipe, maupun kelemahan dalam sistem kerja pers itu sendiri. Itu jika pers-nya netral. Bagaimana jika pers sengaja "memiliki niat buruk", menunggangi jurnalisme untuk kepentingan ekonomi-politik? Apa tidak tambah bubrah?
Apalagi pula, jika pers partisan itu digandeng KPU dalam menyiarkan tahapan pemilu. Apa tidak semakin memprihatinkan?
Sikap partisan pers sudah kita lihat pada Pemilu Presiden (Pilpres) 2014. Banyak pemberitaan tidak proporsional. Beberapa terang-terangan menjadi corong dari salah satu kubu (Prabowo maupun Jokowi).
Menurut elemen dasar jurnalisme ala Bill Kovach, pers tak boleh selingkuh. Kesetiaannya hanya kepada kepentingan publik. Kudu independen dari kepentingan politik, penguasa, bahkan pemasang iklan.
Sekarang, kita akan menghadapi pilkada serentak. Pertanyaannya, apakah pers partisan berhak menjadi mitra KPU dalam menyiarkan tahapan pemilu? Atau harus dimasukkan ke dalam kotak, jangan dijadikan "official partner" dalam siaran debat calon?
Perkara ini penting. Mengingat calon dilarang beriklan mandiri. Biaya iklan di media massa (cetak maupun elektronik) ditanggung negara melalui KPU.
Negara juga mendanai kampanye penyebaran bahan (poster, selebaran), alat peraga (baliho, spanduk), serta debat kandidat melalui televisi. Ketentuan tersebut termaktub dalam Undang-undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-undang.
Dengan begitu, KPU menjadi penentu utama dalam memilih media. Adapun calon bupati/gubernur justru dilarang beriklan mandiri.
Pura-pura Netral
Memang sih, tidak mudah menengarai suatu media partisan atau tidak. Kerapkali, ketidaknetralan itu "tersembunyi" di balik framing dan agenda setting.
Pada agenda setting, media partisan memaksakan berita (untuk dimuat atau malah diblokir). pers pura-pura tidak tahu, mana berita yang "bermakna" dan mana yang remah-remah.