[caption id="attachment_360068" align="alignleft" width="640" caption="Minuman ringan dan BBM premium eceran. Mana yang lebih mahal jika volumenya sama?"][/caption]
Baru berbilang bulan, pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) sudah memamerkan kebijakan akrobatis di bidang industri minyak dan gas (migas). Yang paling memantik kritik adalah, pengambangan harga bahan bakar minyak (BBM), yang naik-turun bak roller coaster. Mau di bawa ke mana industri migas Indonesia?
Jika banyak yang kaget dengan "langkah kuda" Jokowi, itu wajar. Minyak dan gas memang menyangkut hajat hidup banyak orang. Sudah puluhan tahun masyarakat menikmati harga BBM yang "ramah kantong". Kini di era pemerintahan baru, justru naik-turun (cenderung naik).
Baik si kaya apalagi miskin sama-sama berkesah. Si miskin bersuara lantaran, meski konsumsi BBM-nya kecil, tetapi terkena imbas kenaikan harga. Adapun di kaya kagok, mobilnya masih haus BBM (bersubsidi). Di luar itu, sejumlah kalangan menanggung beban: pekerja sektor transportasi, pengusaha, hingga ibu-ibu rumah tangga.
Lalu kemana ujung dari "gorong-gorong" gelap pengambangan harga BBM ini? Akankah rakyat miskin akan semakin dimiskinkan secara struktural? Atau justru akan tercapai equibirium baru, bahwa nantinya kita terbiasa dengan harga-harga itu. Lantas kita justru akan mempunyai nilai tukar yang lebih tinggi, dengan asumsi standar harga di luar negeri cenderung tetap?
Tak mudah menganalisa. Semua pihak, baik yang pro maupun kontra mempunyai argumen. Sebagian murni, sebagian lagi mungkin punya motif. Adakalanya, argumen yang dibangun hanya pengalihan karena kepentingannya terusik.
Obat atau Racun?
Kita masih harus menerka-nerka, langkah "liberalisasi" di bidang migas ala Jokowi itu obat arau racun. Lantaran pelik untuk ditimbang secara rejang, kita butuh banyak waktu untuk menimbangnya secara jernih.
Jika itu obat, maka meski terasa pahit akan menyehatkan di masa depan. Tetapi jika racun, maka alangkah ngenesnya. Sudah pahit, membunuh pula.
Pertanyaannya, sejauh mana daya elastisitas rakyat dan dunia industri terhadap perubahan ini. Ibaratnya, ketahanan sebatang kayu yang dipaksa lebih berat dari beban biasanya, tak semata tergantung pada kekuatannya. tetapi juga seberapa elastis kayu itu.
Jika terlalu kaku, justru akan mudah patah. Di sinilah pertaruhannya, seberapa daya tahan kita tahan terhadap getir, sebagai analogi bahwa langkah Jokowi di bidang migas itu, katakanlah, memang merupakan obat.
Kita tak bisa menutup mata, kebijakan subsidi BBM yang sudah berlangsung puluhan tahun itu cenderung lolipopis. Manis ketika dikecap, tetapi tak mengenyangkan apalagi menyehatkan. Cuma kanak-kanak atau remaja, yang yang masih suka. Kita, boleh saja merasa kecewa ketika permen manis itu direnggut paksa dari mulut. Tetapi sebagai orang dewasa, tentu tak bijak jika marah berkepanjangan.