Mak Inah heran. Pangkalan elpiji di tepi jalan raya tak jauh dari rumahnya, selalu menulis plang bertulis "Maaf, Gas Habis". Sudah berpekan-pekan, plang dari karton itu, tertempel di gerbang.
Memang sih, sekarang si melon tengah langka. Jadi, wajar jika susah dicari. Mirip siluman. Tapi mosok, kok terus-terusan habis? Padahal, setahu dia jarang pembeli yang mampir ke situ.
Setelah berpusing-pusing ke beberapa pengecer dengan nihil, Mak Inah memutuskan mendatangi pangkalan gas, yang menyatu dengan rumah mewah pemiliknya itu. Sembari menjinjing tabung berwarna melon, dia mengintip dari gerbang.
Tampak olehnya, sederet tabung berjajar rapi jali. Jumlahnya, mungkin lebih dari seratus.
Mak Inah girang. Akhirnya, bisa membeli gas setelah sebelumnya keliling kampung dengan tangan hampa. Dengan pelan, dibukanya gerbang.
Seorang nyonya, istri dari pemilik agen langsung menyambutnya dan bertanya. "Ada perlu apa?". Seakan, si nyonya tak melihat Mak Inah membawa tabung.
Mak Inah menyampaikan hajatnya, membeli gas. Sang nyonya terdiam sejenak, kemudian berkata pelan. "Maaf, tidak melayani eceran," jawabnya menampik permintaan.
Mak Inah terlongong, belum paham. Si Nyonya mengulangi jawaban. "Maaf, kami hanya melayani pedagang. Itu saja tak semua kebagian," jawabnya sembari menunjukkan selembar kertas, yang katanya, berisi daftar pedagang langganannya.
"Lalu, saya beli di mana?" jawab Mak Inah.
"Beli aja di pengecer. banyak kok. Tuh, di pertigaan dekat tugu juga ada," kata si nyonya.
Mak Inah kemudian pergi meninggalkan pangkalan. Mencari penjual gas dengan dua kriteria: yang  bersedia menjual satuan (eceran) dan stok masih ada.