Jelang Pemilu Presiden 2014, sulit rasanya mendapatkan informasi yang objektif soal sepak terjang capres-cawapres, baik itu soal latar belakangan pasangan hingga soal dukungan. Sudah banyak yang mafhum, banyak media tak lagi netral. Banyak faktor yang menyebabkan ini, utamanya adalah faktor pemilik di belakang perusahaan media tersebut.
Namun saya tak ingin membicarakan soal itu, karena perdebatannya akan cukup panjang. Saya hanya ingin menyoroti sepak terjang dan manuver politik kedua pasangan capres-cawapres dari sudut pandang dan informasi sederhana yang saya dapat dari media. Karena sumbernya dari media, yang sulit dideteksi objektivitasnya, maka kalau analisis sederhana saya ini melenceng atau salah, ya mohon maaf.
Setelah menunggu cukup ”lama”, publik akhirnya mendapat kepastian siapa saja yang bakal bertarung dalam perebutan kursi RI-1 dan RI-2. Kenapa saya bilang cukup ”lama”, mengutip pernyataan salah satu tokoh politik berlambang pohon beringin, Golkar, waktu dua hari saja bisa dikatakan lama. Dalam tempo tersebut, segala hal bisa terjadi. Keputusan A bisa menjadi B, atau bahkan bisa menjadi Z sekali pun.
Seperti halnya manuver yang dilakukan partai yang identik dengan warna kuning tersebut. Meski menyandang status sebagai juara II dalam Pemilu Legislatif lalu, si Kuning ternyata tak cukup percaya diri untuk mengusung capres sendiri, padahal pendeklarasiannya sudah jauh hari dilakukan. Hingga akhirnya dalam rapimnas mereka menunjukkan sikap plin-plan. Si capres pun diberi kewenangan untuk menentukan posisinya sendiri, mau tetap sebagai capres atau ”dibolehkan” menjadi cawapres. Konstelasi politik memaksa si kuning bersikap bingung, meski akhirnya capres si kuning tidak jadi apa-apa.
Publik akhirnya mendapat konfirmasi bahwa Pilpres kali ini akan jadi pertarungan head to he
ad Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto. Sepasang kawan yang kini menjadi lawan. Latar belakang keduanya jauh berbeda, begitu sikap politik yang mereka ambil.
Begitu PDIP memenangi Pemilu Legislatif (pileg), Jokowi sudah mulai mengumpulkan kekuatan. Hasil pileg bagi PDIP memang agak meleset dari perkiraan, yang memaksa mereka harus menggandeng parpol lain untuk bisa maju di Pilpres. Dan ternyata, hal itu bukan pekerjaan sulit setelah Partai Nasdem dalam waktu singkat mau merapat ke PDIP.
Meski dengan tambahan Partai Nasdem sudah bisa maju sebagai capres, Jokowi dan PDIP tetap membuka diri untuk berkoalisi dengan parpol lain. Hebatnya, mereka mensyaratkan koalisi tanpa syarat. Artinya partai yang mau berkoalisi dengan mereka tak bisa menuntut apa-apa, seperti jatah menteri dan sebagainya. Singkatnya, take it or leave it.
Berdasarkan pengamatan terbatas, saya melihat Jokowi adalah penganut politik kebalikan. Di saat pejabat atau politikus lain akan langsung meng-counter setiap tudingan miring tentang mereka dengan kata-kata retorik dan ambigu, Jokowi melakukan sebaliknya. Ia cukup mengatakan ”ya biasa saja” atau ”ya biar saja”.
Begitu pula dengan manuver politik yang ia ambil dalam Pilpres. Ketika kebanyakan parpol mengumbar janji bagi-bagi kekuasaan demi membangun koalisi gemuk, tidak dengan Jokowi yang enggan membagi-bagi kekuasaan. Ia berkeras kabinet yang akan ia bangun harus sesuai kriterianya, bukan kriteria parpol peserta koalisi. Jika itu benar, saya pikir itu luar biasa!
Setidaknya itu dibuktikan dengan pemilihan cawapres pendampingnya yang bukan mandat dari parpol mana pun. Jusuf Kalla (JK) memang tokoh senior di Golkar, namun Jokowi sepertinya memilih sang pendamping bukan karena ia representasi Golkar. Namun lebih karena pengalaman dan sikap taktis yang dibuatnya saat menjadi wapres dulu. JK memang dikenal sebagai eksekutor andal. Contoh yang paling epik, menurut saya, adalah saat ia yang mengumumkan kenaikan harga BBM, bukan SBY yang kala itu jadi presiden. JK sama sekali tak mengkhawatirkan citranya rusak demi sebuah keputusan yang dianggapnya bakal membawa kebaikan yang lebih luas.
Apakah hal itu lantas Jokowi kesulitan mencari partai koalisi? Ternyata tidak juga. Meski tak sebanyak yang Prabowo miliki, Jokowi bisa menggaet parpol lain di luar Nasdem, yakni PKB dan Hanura. Partai koalisi yang dibangun dengan kesadaran mengutamakan kepentingan bangsa yang dibangun Jokowi, saya pikir jauh lebih kuat fondasinya.
Koalisi tanpa syarat ini pula yang membuat Golkar akhirnya menyeberang ke Prabowo yang diusung Partai Gerindra. Diakui Aburizal Bakrie (Ical), janji dijadikan menteri utama yang membuatnya memihak Prabowo.
Dengan cara yang sama, Prabowo sukses merebut hati PAN-yang mendapat jatah cawapres, PPP, PKS, PBB. Begitu pula dengan Mahfud Md, capres yang sempat diusung PKB namun belakangan memilih jadi tim sukses Prabowo karena janji kekuasaan. Meski Mahfud membantah kekuasaan menjadi motivasinya mendukung Prabowo, ia tak menampik tawaran itu ada.
Tak ada yang baru dari gaya berpolitik Prabowo. Ia masih menggunakan cara-cara pragmatis. Tapi itu juga sah-sah saja dilakukan. Dalam politik, etika itu bisa berada di urutan ke-20, meski teorinya tidak begitu.
Soal visi dan misi kedua pasangan capres, saya pikir, tak ada yang istimewa. Karena visi dan misi itu memang harus dibuat pada tataran ideal. Yang jadi persoalan adalah sejauh mana keinginan kuat para pasangan capres-cawapres untuk mewujudkannya. Sulit memang untuk mengetahuinya. Tapi paling tidak kita bisa melihat indikasinya.
Kalau capres-cawapres mengatakan mereka berpihak kepada rakyat, mungkin kita bisa mengukurnya kadar keberpihakan itu misalnya dari tunggangan mereka. Kendaraan apa yang biasa mereka pakai akan menentukan penilaian sejauh mana ia benar-benar peduli kepada rakyat.