Mohon tunggu...
Arman Kalean
Arman Kalean Mohon Tunggu... Dosen - Akademisi

Nahdliyin Marhaenis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Profesionalisme Guru bukan Tunjangan Profesi

25 November 2013   21:12 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:41 303
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Menyoal profesionalisme guru tanpa melakukan pengamatan yang baik itu sama halnya anda mencoba berjibaku dengan kebodohan sendiri, apalagi anda bukan seorang pakar atau praktisi pendidikan. Sejumlah penelitian kualitatif terkait profesionalisme guru pun sudah dilakukan, berikut ini saya coba mengomentari profesionalisme guru mengacu kepada beberapa hasil penelitian tersebut. Tetapi sebelumnya saya ingin menyampaikan beberapa hal miris terkait dengan semangat mengajar guru di daerah-daerah terpencil, salah satunya di Papua, Wamena tepatnya. Meskipun belum pernah diangkat di media, tetapi banyak penduduk di sekitar yang bisa menceritakan pada anda bahwa di sana ada beberapa anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang justeru dengan sukarela menggantikan posisi guru yang tidak ingin mengabdi di daerah tersebut, padahal sudah tersedia rumah dinas guru. Bergeser sedikit ke Maluku, ada lagi fenomena menarik yakni makin meningkatnya animo lulusan SMA untuk menjadi guru. Bukan tanpa alasan yang jelas peningkatan animo ini terjadi, mungkin saja keinginan lekas menjadi PNS? Entahlah. Jika dilakukan survei mengenai hal ini, anda akan dapati kantung-kantung FKIP atau STIKIP di sejumlah perguruan tinggi negeri maupun swasta penuh dari tahun ke tahun. Sebelumnya di Maluku pada akhir tahun 80-an sampai akhir 90-an, seorang mahasiswa Keguruan & Ilmu Pendidikan akan malu jika ditanya ia kuliah di fakultas apa. Sekarang coba anda bandingkan sendiri, jangankan alumnus fakultas KIP, alumnus fakultas lain pun seolah tak punya malu ingin merebut kursi guru. Dengan segala bentuk trik, tetapi lebih umumnya pelamar CPNS ini berkilah kalau permintaan guru bidang studi ini belum terisi oleh sebab itu mereka boleh mengajukan lamaran di situ.

Dua kisah di atas bisa saja ditepis oleh argumen bantahan lain, karena belum mampu mewakili ruang sampel untuk mengambil sebuah kesimpulan kuantitatif. Hanya saja mari kita jujur untuk mengakui segala keterbatasan kita, saya yakin kejadian serupa dengan itu bukan saja terjadi di kawasan Timur Indonesia, mungkin juga di daerah-daerah lain di Indonesia dengan masalah yang lebih rumit dan kompleks. Dari penggalan kisah tersebut, lantas apa sebenarnya maksud dari Profesionalisme Guru itu sendiri? Apakah tinjauannya seputar makna filosofis, seperti menganggap bahwa setiap orang adalah guru dan alam raya adalah sekolah? Apalagi sekedar membenarkan sifat kesatria dari anggota TNI dan “Aji mumpung” dari alumnus fakultas non KIP?

Perlu diketahui oleh kita, awal lahirnya PGRI didahului oleh PGHB (Persatuan Guru Hindia Belanda), semula guru-guru yang tergabung dalm PGHB menuntut kesamaan hak dengan pengajar Belanda, dan berhasil menjadi kepala sekolah pada sejumlah HIS (Hollandsch-Inlandsche School), sekolah belanda pada masa penjajahan. Setelah itu dari PGHB berubah menjadi PGI, perubahan ini tentu membuat Belanda tidak senang dikarenakan kata Indonesia menggantikan kata Hindia Belanda, akhirnya dalam era pendudukan Jepang, PGI pun dilarang. Seiring berjalan waktu, pasca pembacaan teks proklamasi tepatnya tanggal 25 November 1945 PGI resmi berganti nama menjadi PGRI dan turut Memepertahankan dan menyempurnakan Republik Indonesia (Selengkapnya, lihat teks resmi yang dikeluarkan oleh Pengurus Besar PGRI, untuk dibaca pada upacara memperingati HUT PGRI dan Hari Guru Nasional, 25 November 2008). Maka tidak salah juga anggota TNI atau alumnus non FKIP pun bisa menjadi seorang guru, namun perlu ditekankan di era keblinger seperti sekarang ini, untuk menjadi pengajar di Sekolah baik itu TK s/d SMA tidak semudah yang dibayangkan. Apalagi guru yang disebut profesional, tentu harus memenuhi sejumlah pentahapan kriteria.

Redefinisi Profesionalisme

Untuk menjadi seorang guru yang profesional di daerah-daerah terpencil yang memang membutuhkan tenaga pengajar, maka kemungkinan yang bukan FKIP pun bisa menjadi guru profesional. Sekalipun pada tahun 2009 sudah ada aturan terkait dengan hal tersebut, yaitu Permendiknas 2009. Kasman Hi Ahmad (http://poskomalut.com, Edisi 12/09/2013) selaku rektor Universitas Muhammadiyah Maluku Utara, menyampaikan tentang Program Profesi Guru Pra Jabatan selanjutnya disebut program Pendidikan Profesi Guru (PPG) sebagai pengganti akta mengajar. Program tersebut dikelola Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) yang memenuhi syarat. Akta 4 tidak lagi dan digantikan dengan PPG, mereka yang nantinya sudah lulus tes formasi keguruan pun akan diuji keprofesionalan mengajarnya yang disebut program induksi guru pemula sesuai Permen Nomor 20 Tahun 2009.

Profesionalisme guru dalam UU No 14 Tahun 2005 Bab IV, tentang Guru bagian Kesatu (Kualifikasi, Kompetensi, dan Sertifikasi) pasal 8 berbunyi Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Selanjutnya diperjelas pada pasal 10 ayat 1 yaituKompetensi guru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 meliputi kompetensi pedagogik,kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melaluipendidikan profesi. Hal ini berarti, setiap guru yang profesional harus diberi tanda dengan sertifikat oleh lembaga berwenang.

Selanjutnya untuk masing-masing kompetensi itu pun memiliki penilaian tersendiri, hasil penelitian dari Fe. Abdul Gazi (2007: 57) menyatakan bahwa guru di Madrasah Aliyah “Darul Kamilin” Jati Bakan Janapria belum semua memiliki prinsip profesionalisme seperti yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005. Hal ini sesuai dengan prosentase guru yang menunjukkan 50% guru memiliki kompetensi keguruan, 25 % Tidak memiliki kompetensi keguruan dan 25 % belum memiliki keguruan. Memang hasil penelitian ini jika dalam aturan rujukan referansi, sudah masuk kategori out of date. Namun maksud saya merujuk pada hasil penelitian ini karena waktu penelitian yang hanya selisih 2 tahun semenjak UU No 14 Tahun 2005 resmi diberlakukan, selain penelitian ini di salah satu sekolah swasta di kawasan Indonesia bagian tengah. Jika tahun 2007 sekolah tersebut sudah mampu memiliki kompetensi keguruan 50%, apakah sekarang lebih meningkat atau fluktuatif ataukah malah sebaliknya?

Apa yang dilaporkan dari Fe. Abdul Gazi adalah benar-benar terkait dengan profesionalisme guru menurut UU No 14 Tahun 2005, sekarang apa boleh kita sebut Guru-guru (yang masuk 50 %) di sekolah itu sudah Profesional meskipun mereka pada waktu itu belum mendapatkan tunjangan Profesi? Lain hal dengan Guru-guru dalam penelitian Abdul, ada juga pengajar-pengajar tangguh yang tergabung dalam gerakan Indonesia Mengajar. Tak tanggung-tanggung pengajar dari gerakan besutan Anies Baswedan (meskipun telah menyatakan pengunduran diri Oktober lalu) mampu menelorkan sejumlah pengajar yang rela ditempatkan di daerah-daerah terpencil bahkan sampai di kabupaten yang berbatasan dengan luar negeri, diantaranya Maluku Tenggara Barat. Para pengajar ini begitu menjiwai tugas yang diemban pada mereka, berbagai kisah mereka dapat dilihat pada buku yang mengisahkan perjalanan mereka dan dapat juga disimak pada tayangan salah satu TV swasta. Selain itu, ada juga kisah Butet Manurung seorang antropolog menjadi guru bagi anak-anak di pedalaman Jambi. Apakah Butet dan Kawan-kawan di Indodesia Mengajar bisa disebut memiliki Profesionalisme seorang Guru, walapun mereka bukan berlatar belakang KIP?

Antara Guru-guru (50 %) yang menjadi subyek penelitian Fe. Abdul Gazi pada tahun 2007 dan Butet serta Kawan-kawan Indonesia mengajar, bisa disebut tenaga profesional dalam mengajar. Jika memperhatikan 4 kompetensi pada pasal 10 ayat 1 (kompetensi pedagogik,kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional), maka mereka semua sudah memenuhi 3 kompetensi (kecuali kompetensi Profesional) dengan klasifikasi yang berbeda-beda. Untuk Guru-guru (50%) penelitian Fe. Abdul Gazi masuk kategori profesional di tingkat SMA, sementara Butet dan Kawan-kawan Indonesia Mengajar masuk kategori profesional di tingkat SD. Mengapa mereka tidak masuk kompetensi Profesional? Sebab sesuai UU, mereka belum mendapat sertifikat dari lembaga profesi, lalu bagaimana dengan Guru-guru (50 %) yang menjadi subyek penelitian Fe. Abdul Gazi? Lantas selama ini mereka kuliah di FKIP itu untuk apa, selanjutnya jika sekarang ada diantara para guru tersebut yang belum juga lulus sertifikasi apa mereka otomatis belum pantas disebut memiliki profesionalisme? Lambat tapi pasti, tolok ukur profesionalisme guru hanya bisa melekat pada seorang guru yang sudah lulus sertifikasi. Apalagi istilah tunjangan profesi ini dalam keseharian disebut dengan tunjangan sertifikasi, sehingga guru yang bersertifikasi pasti memiliki profesionalisme (?).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun