Apa yang tergambar di benak orang Indonesia ketika mendengar kata “komik”? Hiburan, anak-anak, akan menjadi frase yang umumnya keluar dari pertanyaan di atas. Pada hakikat dan kenyataannya komik dapat berimplikasi luas. Komik tidak hanya terkungkung dengan definisi hiburan dan anak-anak. Komik dapat juga menjadi medium transmisi nilai. Sebagai medium transmisi nilai, maka komik dapat menjadi alat edukasi yang ampuh dan tepat guna. Dahulu masyarakat Indonesia akrab dengan produk budaya bernama wayang. Wayang selain sebagai hiburan, kebudayaan, juga menjadi medium pendidikan. Hal tersebut tercermin misalnya dari Soekarno yang gemar terhadap wayang dan mengidentifikasikan dirinya sebagai sosok Bima. Bima, tokoh wayang yang dikagumi Soekarno, berperan sebagai pejuang sejati membela Pandawa. Bima dilukiskan pejuang suci, pemberani, tidak kenal kompromi dengan lawan-lawannya, tetapi selalu siap bermufakat dengan mereka yang segolongan dengannya. Dalam diri Bima tercermin watak pejuang militan (crusader) dan tokoh sinkristis. Dalam diri tokoh Pandawa ini Soekarno mengidentifikasi ketokohan dirinya (Ahmad Suhelmi, Soekarno Versus Natsir: hlm.10). Nilai-nilai wayang untuk kemudian hidup dan menjadi sosialisasi politik awal bagi Soekarno yang turut mewarnai nuansa besar dari sang putra fajar yakni esensi ksatria, perlawanan terhadap kesewenang-wenangan. Bagaimana dengan kini? Harus diakui wayang yang telah ditetapkan UNESCO sebagai warisan budaya kepunyaan Indonesia telah menjadi sesuatu yang tidak terlampau akrab dengan kehidupan anak negeri ini. Tentu ada banyak alasan yang dapat dilantangkan mengenai fakta tersebut. Ada medium televisi, internet, komik, yang menjadi bagian dari sosialisasi awal dari masyarakat Indonesia di era sekarang ini. Bagaimana dengan sosialisasi politik awal yang Anda alami? Sarana apa yang paling mempengaruhi corak cetak dasar dari diri Anda? Saya sendiri memiliki pengalaman masa kecil dengan komik sebagai sarana edukasi. Ketika dulu, bapak saya selalu memberikan majalah Aku Anak Saleh. Dikarenakan peruntukannya untuk anak-anak, maka majalah tersebut bersifat edutainment. Ada warna dimana-mana, ada keceriaan dari setiap lembar halaman majalah tersebut. Tentu saja ada muatan nilai dan sisi-sisi ideologis yang ditransmisi oleh majalah Aku Anak Saleh. Ada icon Koko dan Cici yang secara tampilan menarik dan berkisah tentang nilai moral yang berbasiskan ajaran Islam. Ada juga rubrik mewarnai huruf hijaiyah yang membuat saya mengenal lebih dekat dengan huruf yang menjadi teks dalam Al Qur’an. Majalah Aku Anak Saleh dengan substansi komiknya telah membawa misi pendidikan yang membentuk batu dasar fundamental bagi pengembangan karakter ke depannya. Lalu ketika duduk di bangku kuliah, saya mendapati kakak saya membeli komik Che Guevara. Che Guevara bagi beberapa kalangan merupakan tokoh inspiratif yang mewarnai jagat pemikiran dan konsep, terutama di lingkup kampus. Komik Che Guevara tersebut berkisah tentang perjalanan perjuangan Che Guevara secara singkat. Bagi orang yang awam terhadap sosok Che Guevara maka komik tersebut memberikan informasi lumayan untuk menjelalahi alur hidup si tokoh kiri ini. Gambar memang tak dapat dilepaskan dari politik dan ideologi pula. Gambar dapat menjadi corong edukasi dan komunikasi dari ide demi ide. Kita memiliki referensi ketika era Demokrasi Terpimpin dimana politik propaganda dari pemerintah ialah dengan menghidupkan gambar petani, buruh dimana-mana. Begitu pula dengan para penguasa yang memerintah dengan tangan besi maka gambar dari dirinya akan eksis dimana-mana. Penguasa seakan omni present dalam segala kesempatan dan senantiasa mengawasi mereka yang berani menjadi anomali.