Sudah tidak asing lagi dengan makanan yang bernama tempe, salah satu makanan khas Indonesia yang terbuat dari kacang kedelai yang difermentasi menggunakan jamur Rhizopus sp. Produksi tempe di Indonesia pun stagnan di tingkat tinggi, mengingat tempe sering dijadikan makanan sehari- hari  oleh orang Indonesia, baik diolah menjadi lauk ataupun diolah sebagai gorengan menemani hidangan utama. Selain karena harganya yang murah, tempe dapat dijadikan alternatif pangan pengganti daging untuk pemenuhan gizi dan protein dalam tubuh. Pasalnya, tempe memiliki kandungan protein dan kalsium yang setara atau bahkan lebih tinggi dibandingkan dengan daging sapi.
Namun, sisi menyedihkan dari tempe yang selama ini kita konsumsi adalah darimana bahan baku tempe itu berasal, mungkin kebanyakan masyarakat Indonesia belum mengetahui  bahwa kedelai yang digunakan adalah hasil impor dari luar negeri, seperti negara amerika serikat dan brazil.
Amerika serikat merupakan pemasok utama impor kedelai, dilansir dari data Badan Pusat Statistic (BPS), impor kedelai dari AS mencapai 1,37 juta ton senilai US$955,3 juta sepanjang periode januari -- agustus 2022 lalu. Sehingga bisa dikatakan bahwa Indonesia masih bergantung impor kedelai dari amerika serikat.
Para produsen tempe mengaku meskipun kedelai impor memiliki harga yang sedikit lebih mahal, Ketika datang kedelai sudah dalam kondisi bersih dibandingkan dengan kedelai lokal yang harganya relatif lebih murah namun masih dalam kondisi ada batang dan daun pohonnya. Selain itu, Ketua Umum Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Gakoptindo) Aip Syarifuddin, menyampaikan bahwa kedelai impor sudah memiliki standar pasti mengenai warna, ukuran, bentuk, hingga kandungan proteinnya. Hal ini disebabkan karena kedelai impor merupakan campuran hasil produk bio teknologi transgenik atau rekayasa genetika.
Padahal, dari segi kualitas kedelai lokal dinilai lebih unggul daripada kedelai impor. Kedelai lokal diproses secara alami, mulai dari penanaman hingga tahap panen, sehingga kandungan gizi di dalamnya pun lebih tinggi dan lebih bagus.
Namun, keterbatasan produksi kedelai lokal juga menjadi salah satu faktor utama mengapa produsen tempe di Indonesia masih terus mengimpor kedelai untuk bahan baku pembuatan produk mereka. Sebagai negara konsumen tahu, tempe dan per-kedelaian lainnya, Indonesia belum mampu untuk memenuhi kebutuhan kedelai dalam negeri. jika terjadi kekurangan pasokan kedelai maka akan dipastikan harga tahu dan tempe akan ikut melunjak karena para produsen yang kesulitan mendapatkan kedelai lokal.
Keterbatasan produksi ini disebabkan oleh produktivitas petani kedelai lokal yang rendah serta kurangnya atensi pemerintah dalam membantu petani untuk memberdayakan kedelai lokal. Banyaknya kendala dalam menanam kedelai di Indonesia seperti cara menanam yang rumit dan harga yang tak menentu membuat para petani enggan dan akhirnya memilih komoditas lain untuk ditanam.
Sementara itu menurut Kepala Riset Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta, produktivitas kedelai lokal yang rendah juga dipengaruhi oleh iklim di Indonesia. Karena kedelai adalah tanaman  sub-tropis, maka dengan Indonesia yang hanya memiliki dua musim pertumbuhan kedelai menjadi tidak maksimal.
Memang sangat disayangkan mengingat tempe adalah makanan khas Indonesia namun malah terbuat dari bahan baku yang diimpor dari luar negeri, bukannya memaksimalkan penggunaan kedelai lokal.
Selain dari petani kedelai itu sendiri, pemerintah sebaiknya turut andil dalam upaya meningkatkan produktivitas dan kualitas kedelai lokal. Seperti, membina petani kedelai secara intensif tentang penggunaan benih, dan sarana lainnya, berinvestasi dalam bentuk modal dan fasilitas, hingga hubungan kerja sama yang baik dengan para petani kedelai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H