Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) merupakan hasil dari upaya kodifikasi hukum pidana untuk menjamin tidak terjadi kekosongan hukum (rechtvacum). Dilaksanakan berdasarkan UUD 1945 naskah asli UUD 1945 hasil kerja BPUPKI disahkan pada 18 Agustus 1945, Pasal II Aturan Peralihan menentukan bahwa Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut undang-undang dasar ini.
Ditinjau dari segi sejarahnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan KUHP Nasional yang akan datang tidak terlepas dari peran pendudukan Belanda terhadap Indonesia. KUHP bersumber dari Wetbook van Strafrecht voor Indonesië KB. v. 15 Oktober 1915 No. 33 (S. 15-497, 649. iwg 1 Januari 1918). Sejak kembali dikuasi oleh Belanda pada tahun 1815 muncul keinginan untuk melakukan upaya kodifikasi hukum sesuai dengan hukum pidana yang sedang dalam proses kodifikasi hukum pidana Prancis (code penal) di Belanda, dengan demikian keinginan itu ditunda sampai kodifikasi di Belanda selesai. Setelah Prancis meninggalkan Belanda salah satu kebijakan raja Belanda melalui keputusan tertanggal 11 Desember 1813 Stb. No. 10 mengubah beberapa ketentuan dalam stelsel pemidanaan dalam Code Penal dengan tetap menetapkan Code Penal berlaku bagi Belanda untuk sementara sampai diadakan perubahan (ditentukan lain). Berdasarkan Pasal 100 Vereenigde Nederladen (Konstitusi Persatuan Negeri-Negeri Belanda) tertanggal 29 Maret 1814 menentukan bahwa, akan ditetapkan dan diberlakukan satu kitab hukum pidana umum (een algemeen wetboek van straftelijk regt). Pada 1815 ketentuan ini dimasukan dalam Pasal 160 Konstitusi Kerajaan (grondwet) kemudian diadakan peninjauan kembali tahun 1840 dimasukan dalam Pasal 161, kemudian peninjauan kembali atas Konstitusi Kerajaan dilakukan pada 1848 ketentuan untuk diberlakukan satu kitab hukum pidana yang umum dimasukan dalam Pasal 146 yang mewajibkan perlu diberlakukan satu kitab hukum pidana yang umum (er is algemeen wetboek van strafregt).
Landasan hukum pembentukan kondifikasi hukum pidana bagi wilayah Indonesia dicantukan dalam Pasal 8 KB tertanggal 16 Mei 1846 (LNHB 1847 Nr 23) memerintahkan kepada Gubernur-Jenderal untuk “een ontwerp van een strafwetboek voor Nederlandsche-Indie te doen vervaardigen en zodra mogelijk naar Nederland te zenden ter beoordeeling en ter bekrachtiging”.
Usaha kodifikasi di Indonesia dilanjutkan dan dimulai pada tahun 1830 dan diselesaikan pada tahun 1848 dibawa Scolten Van Oud Harlem dan Wichers, pada kodifikasi periode ini tidak meliputi hukum pidana tetapi dibuatkan Enigde Bepalingen Betreffende en bij Kenelijke Onvermogen, Mitsgaders bij Surseance van Betaling (LNHB 1847 Nr 23) oleh De Pinto dimasukan dalam Pasal 317 samapi dengan Pasal 325 Wetbook van Strafrecht bagi orang eropa 1866. Selanjutnya dibentuk peraturan hukum pidana yaitu Interimaire Strafbepalingen: Bepalingen tot Regeling van Eeinege Onderwerpen van Strafwetgefing, Welke Eene Dadelijke Voorziening Vereischen (LNH 1848 Nr 6) Pasal 1 dari peraturan ini menentukan pemberlakuan hukum pidana yang telah ada sebelumnya, kecuali terhadap hukum panitensier. Kodifikasi hukum pidana diinginkan dapat berlaku bagi seluruh golongan berdasarkan asas unifikasi pula disesuaikan dengan asas konkordansi kemudian keinginan itu di setujui oleh pemerintah Hindia-Belanda dengan mengacu pada hukum pidana Belanda tahun 1886. Pemerintah Hindia-Belanda menyadari kodifikasi hukum pidana harus dilakukan dengan berhati-hati oleh sebab itu disampaikan usulan untuk terlebih dahulu dibentuk kitab hukum pidana bagi golongan eropa baru kemudian diadakan unifikasi berlaku juga bagi golongan bukan eropa. Sebelum pembentukan hukum pidana 1886 terjadi perubahan panitia pelaksana pembuatan hukum pidana yang awalnya dipimpin oleh Wichers dibubarkan berdasarkan keputusan pemerintah Belanda pada 4 Desember 1855, kemudian dibentuk kembali pada 1856 yang yang anggotanya terdiri dari Gedofroi, Keuchenius, dan Keisjer. Keanggotaan panitia pembentuk hukum pidana kemudian dibentuk kembali pada 24 Desember 1860 yang bertanggung jawab atas pelaksaan yaitu Junius Van Hemert, Francois, Keisjer, De Pinto panitia ini kemudian membentuk Ontwerp van Een Wetboek van Strafreget voor Nederlandsch-Indie (Wetboek voor de Europeanen) KB. 10 Februari 1866 Nr. 24 (LNHB 1866 Nr. 55) berlaku suatu hukum pidana dikenal sebagai Wetboek van Strafreget voor Europeanen (WvSEur) mulai berlaku 1 Januari 1867 hukum pidana ini hanya berlaku bagi golongan eropa di Indonesia.
Setelah kodifikasi hukum Wetboek van Strafreget voor Europeanen sesuai dengan Pasal 75 (2) Regering Reglemen (R.R) 1854 memberikan kewenangan kepada Gubernur-Jenderal untuk menerapkan WvSEur berlaku bagi golongan bukan eropa. Ketentuan ini mendapat pertentangan dari Der Kinderen seorang Jaksa Agung Belanda pada saat itu berpendirian bahwa bagi golongan bukan eropa diadakan kodifikasi tersendiri. Kemudian kodifikasi hukum bagi golongan bukan eropa dilakukan oleh Last rancangan kodifikasi kemudian dilanjutkan oleh Der Kinderen selesai pada tahun 1866 Wetboek van Strafget voor Inlanders (Indonesiers) berdasarkan ordonansi tertanggal 6 Mei 1872 (LNHB 1872 Nr 85) berlaku mulai 1 Januari 1973. Pada periode ini terdapat dualisme hukum pidana yaitu hukum pidana yang berlaku di Indonesia yaitu bagi golongan eropa WvSEur dan hukum pidana bagi golongan bukan eropa WvSInl.
Selama penaklukan Prancis atas Belanda, wilayah kekuasaan kolonial Indonesia diduduki oleh kekuasaan kerajaan Ingris tahun 1811-1816 dibawah Sir Thomas Stamford Rafles ditunjuk oleh Lord Minto.[10] Dibawah penguasaanya tidak banyak melakukan intervensi terhadap hukum pidana yang telah ada, alih-alih terhadap hukum pidana ia lebih berminat terhadap hukum adat. Masih juga melakukan intevensi hukum terutama terhadap hukum acara dan susunan pengadilan, di pulau Jawa susunan pengadilan diadakan susunan baru dengan mengacu pada susunan pengadilan di India (Hindia-Inggris). Terhadap hukum pidana hanya sebatas hukum panitensier.
Perang dunia ke II berdampak pada peralihan kekuasaan dari Kekuasaan Belanda ke Kependuduakan Jepang tahun 1942-1945, suasana di Indonesia sudah berlaku hukum pidana Wetboek van Strafregt voor Indonesie 1915 yang mulai berlaku sejak 1918. Intervensi terhadap hukum pidana bisa dikatakan sedikit dilakukan, alih-alih melakukan intervensi terhadap hukum, kebijakan Kependudukan Jepang lebih terlihat pada penertiban politik seperti mengehentikan gerakan revolusi atas kekuasaan Belanda mengikuti penaklukan oleh Pendudukan Jepang, mengusasi perekonomian Indonesia, finansial dan ketenagakerjaan, mengahapus pengaruh-pengaruh barat, mobilisasi masyarakat terutama di wilayah Jawa dan Madura. Terhadap hukum yang berlaku, Kependudukan Jepang menggunakan kaidah hukum peralihan dalam undang-undang Osamu Serei Nomor 1 Tahun 1942 diberlakukan tertanggal 7 Maret 1942 peraturan peralihan daerah Jawa dan Madura, Pasal 3 aturan ini menentukan bahwa semua badan pemerintahan dan kekuasaannya, hukum undang-undang dari pemerintah yang dulu, tetap diakui sah buat sementara waktu asal saja tidak bertentangan dengan aturan pemerintah militer (Jepang). Setelahnya dilakukan penyesuain sesuai dengan susunan ketatanegaran tentara Jepang dengan menambahkan aturan pidana Gunsei Keizi Rei yang diberlakukan terutama daerah Jawa dan Madura.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berlaku saat ini dan yang akan datang adalah suatu modifikasi hukum dari KUHP yang berlaku di Belanda dari Wetbook van Strafrecht dikodifikasi dari Code Penal Prancis, disahkan oleh Kerajaan Belanda pada 1881 yang pemberlakuannya baru pada tahun 1886. Isi dari KUHP Belanda sebagian besar juga terdapat dalam KUHP yang berlaku di Indonesia terutama terhadap bab tentang ketentuan umum, perbedaannya hanya terhadap besaran ancaman pidana, serta adanya perubahan dan penambahan dalam KUHP Indonesia sebagai bentuk penyesuaian dengan kebutuhan dan kondisi Indonesia saat ini.
Pemberlakuan KUHP untuk seluruh wilayah Indonesia baru terealisasi pada periode 1958 Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 yang menentukan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia. Dalam periode inilah diadakan perubahan-perubahan disesuaikan dengan kebutuhan hukum masyarakat Indonesia.
Referensi:
E. Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana 1, (Bandung, Penerbitan Universitas, 1960);
Tristam Pascal Moelionon, Terjemahan Beberapa Bagian Risalah Pembahasan Wetboek van Strafrecht Dan Wetboek van Strafrecht Voor Nederladsch Indie KUHP Belanda Dan Indonesia, (Jakarta, Institute For Criminal Justice Reform (ICJR), 2021);
C.S.T., Kancil, dan S.T., Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Indonesia, (Jakarta, Rineka Cipta, 2011);
Topo Santoso, Hukum Pidana Suatu Pengantar, (Depok, Rajawali Pers, 2021);
M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, (Jakarta, Serambi Ilmu Semesta, 2008).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H