Ayah saya tentara.
Iya, tentara beneran. Bukan tentara karir apalagi politik. Tentara beneran yang mengutamakan kepentingan negara diatas kepentingan individu atau keluarga. Yang tidak pernah memanfaatkan jabatannya untuk meraih keuntungan pribadi. Tidak peduli dengan hiruk pikuk politik ABRI di Jakarta.
Ah, itu hanya kalimat yang dibuat supaya kedengeran keren. Sebenarnya yang ingin saya sampaikan adalah ayah saya tentara kere. Menurut standar normal saja termasuk kere, apalagi kalau dibandingkan dengan jabatan dan posisi yang dulu pernah beliau pegang. Kere sangat.
Sekarang setelah 25 tahun pensiun, kegagahannya sudah memudar. Tak pernah terbayangkan oleh kami anak-anaknya bahwa beliau bisa selemah sekarang. Sebagai tentara, beliau selalu menjaga kondisi fisiknya dengan olahraga teratur, tidak merokok, makan yang sehat dan natural. Baru ketika beliau terkena serangan jantung kami tersadar bahwa beliau sudah tidak lagi muda. Sudah lemah dan sakit-sakitan. Saya beruntung karena memiliki usaha yang memungkinkan saya membagi waktu untuk beliau.
Sebagai tentara beliau hanya mengenal 1 rumah sakit, RSPAD Gatot Subroto. Selain karena jarang (atau malah tidak pernah) sakit, RSPAD kan memang rumah sakit tentara. Jadi memang sudah habitatnya.
Ketika tiba di IGD, ayah saya menolak untuk dibawakan kursi roda, "Tidak usah report-repot" katanya (red: "Lu gila ya? gw dulu tentara tauk!"). Mengantri dengan tertib dan menahan sakit untuk kemudian berhadapan dengan suster di belakang kaca.
"Ada apa pak?", tanya si suster.
"Oh saya mau berobat mbak, dada saya sakit", ayah saya menjawab.
"Loh bapak ini gimana, sudah jam berapa ini?!".
Pada saat itu jam menunjukkan pukul 13.25 WIB.
"Oh kenapa mbak?"
"Bapak ini gimana sih, harusnya datang dari pagi. Kalau datangnya siang gini dokternya sudah gak ada!".
Suster di RSPAD sudah sangat terkenal level kegalakkannya. Ibarat kripik Mak Icih, udah level yang paling pedes gitu. Tapi menurut saya ini keterlaluan.
"Loh sus, ini IGD kan?", tanya saya. "Ayah saya anfal mana bisa direncanakan! Makanya kita ke IGD!"
"Tapi pak dokternya udah gak ada".
"Lah kok bisa?! Ini rumah sakit apa tambal ban?! Masak gak ada dokter jaga", emosi saya memuncak. Tapi ketika saya lihat di ujung mata, nampak ayah saya meringis kesakitan.Segera beliau saya dudukkan ke kursi agar lebih tenang. Kasihan, sepertinya ketegangan suasana memicu adrenalin beliau yang mengakibatkan tekanan ke organ jantungnya.
"Lah kok bisa?! Ini rumah sakit apa tambal ban?! Masak gak ada dokter jaga", emosi saya memuncak.
Setelah beliau santai, saya mintakan semua kartu identitas miliknya. Kembali ke suster yang tadi saya berikan semua identitas ayah saya, termasuk ASKES. Ada sedikit perubahan sikap pada si suster, entah karena saya bentak, melihat pangkat ayah saya di kartu ASKES, atau ya insyaf aja.
Ayah saya diukur tensinya dan ditidurkan di tempat tidur. Sementara saya diminta untuk mengurus perubahan kartu ASKES ke BPJS. Ternyata kartu ASKES ayah saya sudah sangat kuno. Menurut petugas BPJS yg ada di RSPAD, itu kartu ASKES yg lama. Sempat ganti 2 kali sebelum akhirnya diubah ke BPJS. Masuk kategori vintage lah pokoknya, mint condition karena tidak pernah digunakan.
Kembali ke IGD, ayah saya sudah mulai dirawat. Bahkan sepertinya mendapat perlakuan istimewa karena saya melihat ada teh hangat dan lemper di samping tempat tidurnya.
"Loh, papa dapat teh dari mana?"
"Tadi dikasih sama mas yang itu", katanya sambil menunjuk ke seseorang yang nampak seperti boss-nya suster-suster yang sedang berlarian kesana kemari di bangsal IGD.
"Wah, ternyata ok juga ya pelayanannya".
"Bukan begitu", kata ayah saya sambil tersenyum, "Mungkin dia baru tau kalo papa tentara. Ternyata yang kesini tidak semuanya tentara loh", nada bicaranya terdengar bangga.
Saya pun tertawa lebar dengannya, lebih untuk menutupi pedih yang tiba-tiba saya rasakan.
Pedih karena kebanggaan beliau sebagai tentara tidak lapuk ditempa usia dan kondisi finansial-nya sekarang. Sebagai tentara beliau gagal mendapatkan kenyamanan hidup di hari tua, namun tidak pernah gagal menghayati makna pengabdiannya.
Di ujung mata saya bisa melihat televisi yang diletakkan di sudut bangsal. Lagi-lagi berita mengenai korupsi pejabat.
.............
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H