oleh Yayan Puji Riyanto
Someday you will listen,
Listen, and not understand…
Sejarah cenderung dilupakan, tapi dia selalu–entah kenapa–berulang secara tidak klise, bukan dalam titik-titik peringatan tanggal tertentu, tapi secara misterius merasuk dalam peristiwa de javuis yang ketika mengalaminya, kita seolah dibuat terlupa akan momen yang demikian, yang identik dalam ke-lalu-an.
Identik, karena memang tak pernah kejadian persis sepenuhnya terulang. Waktu bukanlah sekotak labirin, dimana kita dapat menemukan sesuatu berulang sama ketika melangkah sebuah ujung. Ia tidak tridimensionis. Ia lebih berupa aliran sungai, tempat batu-batu dan arus peristiwa (yang walaupun sekilas tak ada beda “komponen” pembentuknya–kita, manusia), membawa tak kurang dari nuansa baru akan kekinian. Keseretan yang tak dapat dibalik, dan eksklusif; sebuah jalan satu arah yang einmalig–tak memungkinkan terulang.
Enam puluh enam tahun yang lalu di hari yang mungkin tak sebenarnya terjadi, di bulan suci yang sama, sekumpulan pemuda mengumumkan kepada dunia akan kelahiran sebuah bangsa baru merdeka. Tanpa sepeser modal material kecuali idealisme, optimisme, dan tekad, sebuah bangsa yang sebagian besar rakyatnya buta aksara, papa, terjangkiti wabah minderwaardigheid complex, dan terlampau lama terlelap dalam kenyamanan kolonialisme dan feodalisme, tiba-tiba menghentakkan dunia dengan pengakuan kedirian yang memesona: Proklamasi. Dengan keyakinan diri yang menyumsum, visi akan pintu gerbang menuju bangsa yang berdaulat, adil, makmur, dan setara dengan bangsa-bangsa lain dalam menentukan haluan dunia, dikibarkan dengan penuh bangga. Seakan dengan spirit yang sedemikian, rengkuhan akan keadaan merdeka itu telah akan segera terjadi.
Kini, kita mencoba mengingat semangat itu. Kebanggan akan sebuah bangsa besar. Ketika kebhinnekaan kita lebur dalam persatuan dan tujuan yang sama: kemerdekaan. Dalam Proklamasi, impian kegemilangan masa depan itu begitu “muluknya” sehingga mereka pada waktu itu mengorbankan apa saja demi tercapainya harapan itu. Yang membuat mereka terus berjuang, mencintai, dan membanggakan Indonesia, sebuah ideal tentang kemakmuran bersama, lepas dari penjajah, mandiri.
Akan tetapi, sebuah ironi ketika itu juga muncul, saat melihat kita sendiri sekarang. Betapa telah luntur keindonesiaan kita. Betapa jauh kita dari bayangan kemakmuran yang diimpikan dulu. Betapa bingungnya kita hidup di alam merdeka, tidak lagi menemukan satu titik tusuk untuk bergerak, seperti dulu ketika masih jelas dimana penjajah tempat menumpahkan darah. Betapa semakin tenggelam kita dalam berbagai kemunduran justru ketika kemudi bangsa ini kita pegang. Betapa kita telah kehilangan dan lupa akan hikmah kita bersatu dulu, ber-merdeka.
Sebab bukan kita yang menentukan saat itu, “hikmah” darinya dengan mudah lepas dari pencerapan. Suatu saat kita akan mendengar, mendengar, dan tidak mengerti. Terlalu banyak di luar kita yang menentukan apa dan bagaimana segalanya, termasuk nilai dan sejarah. Kita berada di luar interior, oleh sekat waktu dan perubahan. Kita bukan pembuat sejarah; kita terlalu jauh untuk menggapai itu semua. Kita hanya mendengar tentangnya, dan seringkali tidak mengerti.
Upacara, peringatan, mencoba melesakkan khidmat itu kepada kita–generasi yang jauh. Namun, semakin merentang jarak dengan peristiwa itu semakin terpencil kita dari makna seremoni. Kesakralan momen kehilangan khusuknya: menjadi sebuah paksaan, represi rutinitas yang hambar.
Seperti ketika dengan merdunya lagu kebangsaan kita terdengar di pagi yang hangat lamat-lamat, dan bendera ditinggikan, sedangkan kita dengan keusilan kanak-kanak yang lugu, tak sabar menunggu berakhirnya ketegangan otot kaki kita yang berdiri tegang dan keringat yang merajalela meleler, dan amanat pembina upacara, aduhai, terasa nyanyian pengantar pingsan yang melenakkan–sekaligus juga menjengkelkan (dan bahkan mungkin, siapa tahu, pembina upacara sendiri mengalami hal serupa ketika membaca teks kaku yang ia sendiri tidak sepenuhnya mengerti dan setuju).
Kita cenderung menerima keadaan secara taken for granted, seolah sewajarnya memang harus terjadi. Kita malas untuk berpikir bahwa yang sedang kita nikmati adalah hasil jerih orang-orang terdahulu. Kita lalai bersyukur dan menghargai usaha mereka.
Memang keadaan selalu berubah, tiap zaman membawa tantangannya sendriri, membentuk watak dan jenis manusianya. Jika kita hidup seabad yang lalu, mungkin kita akan tak kalah rasa nasionalisme dan patriotismenya; juga sebaliknya, para founding fathers kita juga akan panik dan memikirkan diri mereka sendiri jika hidup di era sekarang. Dulu, semua berjuang, bersatu untuk merebut satu tujuan jelas. Kini, betapa relatifnya tujuan bersama yang mendasari terbentuknya kesatuan bertajuk bangsa itu. Tiap orang saling memangsa untuk meraup kemakmuran perut mereka; bellum omni contra omnes. Tidak ada lagi kebersamaan, kebangsaan, yang ada adalah individu dan kelompok. Kita jadi semakin lebih barat dari barat.
Yang menajdi pertanyaan kita adalah terutama: ada apa dengan kita, apa tanggung jawab kita sebagai pembawa pena sejarah kehidupan bangsa ini. Apakah tetap kita akan diam dan masa bodoh. Apakah kita akan hanya mendengar dan tetap tidak mengerti? Namun, sebelum dijawab, tunggu dulu, jawabannya kiranya telah jelas: banyak dari kita sekarang telah mulai membaca, mendengar, dan mencoba mengerti cerita epik kebangsaan ini, dan itulah kiranya sebuah pelatuk yang memercikkan sebuah perubahan. Semoga kali ini tidak hanya sebuah janji dan harap.
[Yayan Puji Riyanto]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H