Mohon tunggu...
kalam jauhari
kalam jauhari Mohon Tunggu... -

pelajar sejarah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sejarah dan Identitas: Soal ‘Nilai-nilai Asia’

5 Oktober 2010   06:33 Diperbarui: 6 Juni 2024   17:15 967
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PADA dua dekade yang lalu, beberapa tahun setelah Perang Dingin usai, Huntington meramal bahwa perang-perang berikutnya, kalau terjadi, adalah perang antar peradaban. Baginya, konflik yang terjadi di dunia ini mengalami evolusi. Tahap pertama, konflik yang terjadi adalah konflik antara raja-raja yang berusaha memperluas birokrasi, militer, kekuatan ekonomi perdagangan, dan, terutama, teritori. Kedua, Tahap kedua, setelah Revolusi Perancis, berubah menjadi konflik antarnegara-bangsa. Ketiga, setelah Revolusi Rusia, konflik berubah lagi menjadi konflik ideologi, dan baru berakhir setelah Perang Dingin tuntas. Nah, menurut Huntington, “konflik antar peradaban akan menjadi tahap terakhir dalam evolusi konflik”.[1]

Jadi, bagi Huntington, sumber konflik, pasca-Perang Dingin bukanlah ekonomi, ideologi, dan kepentingan Negara-bangsa. Identitas peradaban, kata Huntington, akan menjadi semakin penting di masa depan dan dunia akan dibentuk sebagian besar oleh hubungan timbal-balik antara tujuh atau delapan peradaban besar. Yaitu, Barat, Konghucu, Jepang, Islam, Hindu, Ortodoks-Slavik, Amerika Latin, dan Afrika. Akan tetapi, Islam memiliki perbatasan-perbatasan yang paling Berdarah.[2]

Pendapat Huntington tersebut kemudian menimbulkan perdebatan yang panjang. Ada banyak kritik untuk Huntington. Akan tetapi tulisan ini hanya akan menyoroti dua hal. Yang pertama adalah soal sumber konflik. Huntington mengatakan bahwa konflik-konflik yang terjadi di dunia, setelah Revolusi Rusia sampai akhir Perang Dingin, bersumber pada ideologi, jadi bukan kepentingan negara-bangsa. Kalau memang betul demikian, lalu perang-perang kemerdekaan, yaitu perang-perang antar penjajah dan terjajah, yang terjadi di berbagai belahan bumi itu, apa mau disebut perang antar ideologi juga? Tidakkah perang itu bersumber pada kepentingan negara-bangsa?

Kalau memang perang kemerdekaan dianggap masih merupakan perang ideologi karena adanya isme-isme yang terlibat, yaitu nasionalisme dan imperialisme—meskipun yang disebut nasionalisme ini sebenarnya merupakan kepentingan masing-masing wilayah untuk memerdekakan diri, jadi bukan bersama-sama berjuang mengusir imperialisme, begitupun sebaliknya, imperialisme untuk masing-masing penjajah—bagaimana dengan yang berikut. Peperangan antara Vietnam, Kamboja, serta Tiongkok, yang ketiganya adalah marxis. Vietnam menginvasi dan menduduki Kamboja pada bulan Desember 1978 dan Januari 1979, sedangkan Tiongkok menyerbu Vietnam pada bulan Februari. Apakah Huntington masih akan perang yang jelas-jelas antar marxis itu sebagai perang antar ideologi. Hal itu masih ditambah lagi dengan keterlibatan Barat (demokrasi liberal) dengan mendukung Pol Pot (marxis) yang beberapa waktu sebelumnya dikecam mati-matian oleh Barat.[3]

Demikian pula yang terjadi pasca perang dingin. Huntington tampaknya terlalu meremehkan kepentingan negara-bangsa dan soal ekonomi. Indonesia (yang katanya komunitas muslim terbesar) mengabaikan seruan kelompok radikal agama di Teheran di saat ia mencoba mengejar Malaysia dan Singapura. Huntington, menyusul Saddam Hussein, beranggapan bahwa Perang Teluk adalah perang peradaban. Padahal apa yang terjadi dalam Perang Teluk sepenuhnya berbeda. Yang terjadi adalah, kata Fouad Ajami, seorang despot lokal yang hampir kehilangan kekayaan Teluk Persia, dan Negara Besar datang dari jauh untuk menyelamatkannya (dan tentu saja juga kepentingannya sendiri). Kekuatan yang dikumpulkan Amerika meliputi Mesir, Turki, Saudi, Suriah, Prancis, Inggris, dan lainnya.[4] Sudah sering muncul di koran, usaha Turki (yang “Islam”) untuk menjadi masuk ke Eropa (yang “Kristen” ditambah “Barat”); enggan untuk menjadi bagian dari dunia Arab. Dan, kemana komunitas Muslim lain ketika beberapa saat yang lalu Israel berperang melawan Libanon dan Palestina, ketika Amerika menduduki Irak dan menyerang Afganistan?

Kedua, adalah soal identitas. Apa yang disebut Huntington sebagai “Barat”, “Islam”, “Konghucu” pada dasarnya adalah sebuah identifikasi. Identifikasi itu sendiri sebenarnya merupakan upaya kita untuk menguasai keragaman dengan meletakkannya di dalam satu kurungan, sehingga memudahkan kita untuk menyebut, misalnya, “Barat”, tanpa perlu menjelaskan “Barat” yang “A”, yang berbeda dengan yang “B”, “C”, dan seterusnya. Jadi, “Barat”, “Islam”, dan yang lainnya itu bukanlah suatu yang tunggal, bulat, utuh, melainkan suatu keragaman yang barangkali nyaris tanpa batas. Dalam Islam, misalnya, kita barangkali kesulitan untuk menyebutkan keanekaragamannya satu persatu, seperti Ahmadiyah, NU, Muhammadiyah, dan seterusnya; pengikut mazhab ini, itu, dan lain-lain.

Dengan demikian, ketika Huntington menyebut “Afrika” dan lain-lain sebenarnya ia sedang menyebut kumpulan-kumpulan identitas. Akan tetapi, bahkan ketika Huntington menyebut “Barat”—yang tentunya ia “kenal” dan menjadi sudut pandangnya—ia seolah membayangkannya sebagai sesuatu yang ajek: Huntington menggusur semua perbedaan. Hal inilah yang membuat Fouad Ajami berpendapat bahwa “Barat sendiri tidak dikaji dalam esai Huntington. Tak ada retak yang menyusurinya. Tak ada multikulturalis yang didengarkan. Barat tertib di dalam bentengnya”. “Huntington”, masih kata Ajami, “melihat bahwa peradaban-peradabannya bulat dan lengkap, kedap air di bawah langit abadi”.[5]

Di samping itu identitas adalah konsep yang bersifat relasional yang berkaitan dengan identifikasi diri dan asal-usul sosial. Identitas merupakan hasil konstruksi (proses) sosial yang menandai sekelompok masyarakat tertentu dengan sembarang. Apa yang kita pikirkan sebagai identitas kita tergantung kepada apa yang kita pikirkan sebagai bukan kita. Dengan begitu, identitas bisa dipahami sebagai proses penciptaan batas-batas formasi dan ditegakkan dalam kondisi sosio-historis yang spesifik. Proses ini bisa berlangsung berabad-abad lamanya. Identitas bukan cuma diturunkan secara vertikal dari para moyang (warisan vertikal), melainkan juga dibentuk oleh pengaruh yang datang dari samping (warisan horizontal). Dengan demikian anasir yang mempengaruhi dan membentuk identitas itu beragam: bisa agama, bahasa, ras, istiadat, jenis kelamin, hingga afiliasi parpol, dan sebagainya. Jika pada 1980-an, misalnya, kita menanyai seorang warga Republik Federal Bosnia, ia mungkin akan menjawab: Saya seorang Yugoslavia. Tapi jika orang yang sama ditanyai pada 1990-an yang berdarah oleh konflik antara Bosnia dan Serbia, ia pasti akan menjawab: Saya seorang muslim Bosnia. Ini tamsil tentang berubahnya penghayatan atas identitas. Bagi orang kulit hitam di Amerika, warna kulit bisa menjadi persoalan mendasar. Tapi bagi yang lahir di Kongo, warna kulit tidak relevan karena yang penting adalah saya orang Hutu atau Tutsi. Di Ambon, menjadi Muslim atau Kristen mungkin masih menjadi persoalan penting. Tapi antara Turki dan suku Kurdi, identitas sebagai sesama Muslim tak membikin konflik keduanya menjadi kurang berdarah.[6] Kalau mau, daftar konflik atas nama identitas itu bisa diperpanjang sampai entah berapa panjang.

Dengan begitu, maka konflik, bahkan berdarah, yang mungkin terjadi karena perbedaan identitas bukanlah hanya konflik identitas peradaban. Di dalam peradaban-peradaban yang sudah dianggap bulat oleh Huntington itu, konflik bisa, dan sudah sering terjadi, karena perbedaan identitas lainnya. Maka membesar-besarkan perang atas nama identitas sebenarnya berarti memaklumkan perang besar Hobbesian; bellum omnium contra omnes, perang semua orang melawan semua orang. Membesar-besarkan perang atas nama identitas juga berarti enggan mengakui bahwa keragaman identitas yang dimiliki manusia—selama ia tidak hanya memeluk erat dan menonjolkan satu identitas saja—juga bisa menjadi penangkal konflik. Bagi seorang Muslim keturunan Arab di Amerika, tentunya ia, sebagai bagian dari Barat, menolak untuk berkonflik dengan Islam, karna dia seorang Muslim. Ia, sebagai muslim, juga akan enggan berkonflik dengan Barat, karena ia Barat jua. Sebagai bagian dari Barat, ia akan menolak untuk berkonflik dengan Timur, karena ia adalah keturunan Timur, dan sebaliknya. Itu kalau seseorang memiliki tiga identitas saja. Padahal, apalagi di era globalisasi ini, orang banyak yang memiliki lebih dari tiga identitas saja.

Kekeliruan yang sama dalam memahami identitas itu juga terjadi dalam perdebatan seputar “nilai-nilai Asia”, yang sekaligus merupakan sebuah konstruksi Barat dan Asia sendiri. Orang-orang Barat biasanya berpendapat bahwa Asia adalah serupa. Karena, mengutip T.N. Harper, “Baik Konfusian maupun Islam mengunggulkan kekeluargaan dan komunitas dibanding hak-hak individual; mengunggulkan konsensus di atas perbedaan pendapat; mementingkan disiplin dibanding kebebasan”.[7] Bagi orang Barat, Asia sebagai sebuah kawasan, Asia tidak akan pernah demokratis secara politis atau ekonomi sepenuhnya liberal.[8]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun