Mohon tunggu...
Abu Faqih
Abu Faqih Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Mencari Cinta Sejati (Kisah Nyata)#7

30 Mei 2015   21:41 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:26 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14329968071097270788

Telur Amanah

Satu minggu setelah Idul Fitri, semua calon mahasiswa yang di tunggu-tunggu sudah datang, termasuk Hasan adikku, jumlah kami sudah genap dua puluh orang, pendaftaran pun sudah di tutup. Panitia penerimaan calon mahasiswa baru mengumumkan bahwa besok akan di adakan out bound, istilah itu juga baru aku dengar, walau pada hakekatnya sudah sering aku ikuti, cuma istilahnya saja yang berbeda.

Usai shalat zuhur, kami semua di kumpulkan di masjid dan di berikan pengarahan langsung oleh ustadz Abdurrahman sebagai pimpinan pusat yang di dampingi oleh beberapa dewan guru. Tapi di antara dewan guru itu ada dua orang yang tidak kukenal dan baru kali ini melihat wajahnya. Rasa penasaranku kemudian terjawab setelah ustadz Abdurrahman memperkenalkannya. Kedua orang itu ternyata sahabat ustadz Abdurrahman yang tinggal di luar daerah Duren Sawit sehingga jarang kelihatan. Yang satu berbadan gemuk, besar dan kelihatan sangat berwibawa, sementara yang satunya lagi berpostur tinggi, putih dan murah senyum, kedua-duanya ternyata satu kampus waktu masih kuliah di YAI Univesitas Persada Indonesia yang terletak di Salemba juruan psikologi, walau yang agak tinggi putih itu masih junior.

Ustadz Abdurrahman mengatakan kalau kedua sahabatnya itu sudah lama bergabung dan sering mengadakan kegiatan bersama, khususnya di bidang pelatihan dan pencerahan di beberapa daerah di Indonesia, jadi keduanya sudah tidak di ragukan lagi keahliannya dalam memberikan bimbingan, khususnya pada acara out bound yang akan di langsungkan besok hari yang rencananya akan di adakan di bumi perkemahan Cibubur Bogor Jawa Barat.

Siang itu aku merasa senang, out bound di bumi perkemahan Cibubur yang sudah terkenal dan sudah sering aku dengar sejak masih di Sulawesi itu dalam bayanganku adalah suatu hal yang menyenangkan, membahagiakan dan sekaligus bisa refreshing, perasaan yang di alami sabat-sahabat baruku pun tidak jauh beda denganku, kami semua hampir berdatangan dari kampung.

Sekembali dari masjid yang terletak tidak jauh dari asrama tempat kami tinggal, perkumpulan di lanjutkan di ruang tengah tempat kami biasa belajar bareng, kedua sahabat ustadz Abdurrahman itu di amanahi untuk menghandle acara sepenuhnya. Di antara kami masih banyak yang belum saling mengenal, khusunya karakter dan kepribadian karena baru beberapa hari bertemu. Sebelum proses perkenalan di mulai, kami di minta untuk berhadap-hadapan dengan orang yang belum di kenal banyak sebelumnya, khususnya mahasiswa yang baru datang dengan mahasiswa yang sudah satu bulan di tempat ini. Kedua mentor itu pun kemudian mempekenalkan dirinya masing-masing terlebih dahulu. Yang berbadan besar dan gemuk itu ternyata bernama Kusuma dan yang murah senyum itu bernama Rizki, karena umurnya jauh di atas kami, maka kami pun memanggilnya dengan panggilan bapak.

Kedua mentor itu mempersilahkan kami untuk berkenalan sedetail mungkin, sampai seakrab mungkin, kami di beri waktu lima belas menit.

“barisan yang berada di sebelah kanan saya adalah kelompok A dan barisan yang ada di sebelah kiri saya adalah kelompok B. sekarang yang mulai berbicara kelompok A dan tugas kelompok  B mendengarkan dengan baik, jadilah penyimak yang setia dan jangan bekomentar atau bertanya sebelum waktunya berakhir. Silahkan di mulai… !” jelas pak Rizki dengan tegas.

Lima belas menit kemudian, suara sempritan di bunyikan pertanda waktu kelompok A memperkenalkan diri telah berakhir.

“sebelum kelompok B memperkenalkan diri, saya mau bertanya dulu apa kalian sudah betul-betul sudah mengenal temannya atau belum?”

“sudah pak” jawab kami serempak dan mantap penuh semangat.

“ok, kalau begitu saya mau menguji kalian. Kamu yang pakai peci hitam berapa nomor sepatu temanmu” Tanya pak Rizki sambil menunjuk ke arahku. ini sungguh pertanyaan yang tidak pernah kuduga sebelumnya, si Aris yang dari Garut teman aku berkenalan tadi  juga tidak menjelaskan berapa nomor sepatunya, ia cuma memperkenalkan nama, asal, tempat tanggal lahir, nama orang tua kemudian banyak bercerita tentang masa lalunya di pesantren. Aku cuma menjawab tidak tahu. Suara pak Rizki dan pak Kusuma mulai meninggi, kami di omelin dan di katakana sok kenal. Wajah pak Rizki yang kelihatannya murah senyum pun tiba-tiba jadi seperti pemarah, tidak ada lagi senyuman yang terlihat di wajahnya. sungguh tidak bersahabat.

“katanya sudah saling mengenal? Buktinya mana? Baru ditanya nomor sepatu temannya saja tidak tahu. Itu belum kenal namanya” lanjut pak Rizki. Kami semua cuma tertunduk diam menelan mentah-mentah omelan itu.

“sekarang gilirannya kelompok B yang memperkenalkan diri dan kelompok A yang menjadi pendengar setia, tidak ada yang boleh bertanya sebelum waktu lima belas menit selesai. Silahkan perkenalkan dirinya sedetail mungkin, jangan sampai teman di depannya tidak di kenal baik” jelas pak Rizki kembali mempersilahkan kami.

Usai proses perkenalan, kami kembali di beri arahan tentang apa-apa saja yang akan di laksanakan saat tiba di lokasi dan apa saja perlu di persiapkan. Masalah pertama yang di bahas adalah, perlengkapan yang akan di bawa. Pak Rizki kemudian menuliskan apa saja yang akan di bawa, di antaranya; tas ransel yang isinya pakaian shalat, pakaian olah raga, dan pakaian tidur serta peralatan mandi. Itu yang untuk individu, sementara keperluan team; terpal, senter, galon, dan beras. Dari kami ada yang bertanya,

“boleh bawa selimut nggak pak?” belum sempat di jawab, ada lagi yang angkat suara,

“tikar bagaimana pak? Di Bogorkan dingin” tanpa pikir panjang, pak Rizki kemudian angkat suara,

“selain yang tertulis di papan tulis, tidak usah di bawa, untuk perlengkapan kalian yang lainnya kami dari panitia sudah menyiapkan untuk kalian. Bisa di fahami?” Teriak pak Rizki lantang, kami pun menjawabnya dengan suara lantang yang menggema ke langit-langit ruangan itu. Pak Rizki kemudian melanjutkan arahannya.

“yang kedua adalah pembagian kelompok, silahkan cari teman sebanyak lima orang dalam satu kelompok tapi dari daerah yang berbeda, setelah itu silahkan pilih satu orang untuk menjadi ketua kelompok, kemudian setiap kelompok mencarikan nama untuk kelompoknya lengkap dengan yel-yelnya” perintah pak Rizki. Kami pun langsung mengikuti intruksi beliau. Setelah semuanya beres, ketua di suruh maju ke depan dengan memperkenalkan nama kelompoknya, nama anggotanya serta meneriakkan yel-yel secara bersamaan. Dari dua puluh orang calon mahasiswa itu di bagi menjadi empat kelompok, setiap kelompok berjumlah lima orang, nama-nama kelompoknya adalah; Abu Bakar, Umar Bin Khattab, Khalid Bin Walid dan yang terakhir Syamil Basayev, aku sendiri berada di kelompok khalid bin walid yang di ketuai oleh akh Firman.

Kami kemudian di suruh kembali ke tempat masing-masing karena akan di adakan pemilihan ketua umum untuk semua peserta. Kami saling tunjuk menunjuk, banyak teman yang menunjukku, karena aku yang sudah cukup lama, tapi aku berusaha menolak dengan berbagai alasan, di antaranya karena masih banyak yang lebih tua dariku, lebih berpengalaman, lebih besar dan lebih senior, apalagi bang Herman dan akhy Bathol sebagai guru dan seniorku di Darul Ulum tidak mungkin aku langkahi. Akhirnya pilihan ketua jatuh pada saudara Firman, ketua kelompokku, dialah yang paling besar di antara kami, dia pula yang sudah cukup lama. Kami semua pun setuju dengan keputusan itu.

“masalah yang ketiga adalah mekanisme pemberangkatan kalian, jadi besok itu kami akan melepas kalian ke lokasi out bound, silahkan cari sendiri tempat dan lokasinya, kalian sudah besar, nanti kami berikan ongkosnya sesuai tarif, tidak lebih dan tidak kurang” papar pak Rizki yang di simak baik-baik oleh kami peserta out bound.

Masalah ini  aku rasa tidak terlalu berat bagiku, bukankah perjalananku dari rumah ke kota Makassar kemudian ke Surabaya dan akhirnya sampai di Jakarta kujalani dengan modal nekat saja dan alhamdulillah selamat, begitu pun yang di alami adikku. Ini soal keberanian saja, pikirku. Apalagi jiwaku memang jiwa petualang, mengembara mencari daerah baru yang belum kukenal memang adalah hobiku dari dulu. Waktu masih mondok di Darul Ulum, hampir setiap liburan aku menjelajah dari kota sampai ke pelosok desa mencari rumah teman-temanku, terkadang liburan yang cuma tiga hari aku mampu menemukan lima buah rumah teman-temanku yang berada di lokasi yang berbeda-beda, sementara waktu itu belum ada HP. semua itu lagi-lagi kujalani dengan modal nekat. Jakarta-Bogor, bukanlah jarak yang jauh. Insya Allah aku pun mampu menaklukkannya dengan izin Allah.

“adapun masalah yang ke empat yaitu hukuman, setiap pelanggaran yang kalian lakukan itu harus ada hukumaannya, silahkan di musyawarahkan hukuman apa yang kalian sepakati. Di antara kami ada yang berteriak,

“hukamannya menghafal sepuluh kosa kata bahasa arab, ini juga untuk menambah perbendaharaan kosa kata kami yang masih minim” pak rizki langsung menanggapi usulan itu,

“usulannya memang bagus tapi kurang tepat dengan situasi dan moment yang sedang kita laksanakan, out bound ini lebih banyak di lapangan dan berada di ruang terbuka” aku kemudian mengsulkan usulan yang menurutku tepat,

“hukuman untuk setiap satu  pelanggaran adalah push up ” pak Rizki dan teman-temanku pun setuju dengan usulan itu, tinggal jumlah push up nya masih perlu di musyawarahkan. Ada yang mengusulkan, dua puluh kali dan ada juga yang mengusulkan lima kali, akhirnya kita ambil yang tengah-tengahnya yaitu sepuluh kali, semua sudah sepakat.

Usai shalat ashar kami di ajak ke Carrefour untuk belanja perlengkapan, setiap orang mendapatkan sepatu olah raga, celana training, dan tiga lembar baju kaos, satu kaos bola, satu kaos lengan pendek dan satu kaos lengan panjang, warna baju dan trainingnya semua seragam, sementara selayer ada empat warna sesuai dengan jumlah kelompok, jadi setiap kelompok mendapatkan warna yang berbeda untuk lebih mudah mengenali. Sekembalinya dari carrefour kita langsung di suruh untuk menggunakan pakaian olah raga kemudian lari sore keliling komplek dan olah raga pemanasan sampai menjelang magrib. Malam harinya, usai membereskan barang-barang untuk persiapan besok hari, kami semua hanyut dalam mimpi-mimpi menyongsong hari esok yang belum pasti apa yang akan terjadi.

***

Pagi-pagi sekali kami di minta untuk berbaris rapi di lapangan basket depan asrama lengkap dengan atribut dan barang yang akan di bawa ke lokasi out bound. Mentor sudah menunggu di lapangan dengan menghitung bilangan sampai sepuluh, siapa yang terlambat akan mendatapatkan hukuman. Dengan tergesa-gesa kami semua menuruni anak tangga dari lantai tiga yang kedengarannya bagai suara longsoran batu bergelinding dari bukit.

Firman sebagai ketua kemudian di suruh menyiapkan barisan, hampir satu jam kami hanya latihan baris berbaris, hadap kanan, hadap kiri dan balik kanan saja masih banyak yang belum bisa, sampai  panas matahari mulai menyengat tubuh kami yang sudah bermandikan keringat itu, barulah  akan di adakan upacara pembukaan, ustadz Abdurrahman sudah berdiri di hadapan kami, di samping kiri kanannya sudah berdiri beberapa mentor, ada pak Kusuma, pak Heru, mas Taufiq, ustadz Hadi, ustadz Kamal, tapi dari beberap mentor itu aku tidak menangkap satu sosok yang kemarin banyak bersama kami saat perkenalan, yaitu pak Rezki yang pada saat pertama kali bertemu dengannya sangat murah senyum, entah di mana dia kini  berada, atau jangan-jangan sudah berada di lokasi out bound menanti kedatangan kami.

“assalamu 'alaikum warahmatullahi wa barakatuh” ustadz Kamal sebagai pembawa acara pada upacara pembukaan pagi itu memulai dengan mengucapkan salam yang di jawab dengan serentak oleh semua yang mendengarnya di tempat itu. Anehnya dari sekian banyak yang hadir tidak ada yang bermuka bersahabat, termasuk ustadz kamal dan mas Taufiq yang selama ini banyak bercanda bersama kami, semua wajah yang ada di hadapan kami seperti hendak memangsa, padahal   kami tidak melakukan kesalahan apa-apa, semua calon mahasiswa pagi itu di hantui sejuta tanda tanya. Ada apa gerangan? Apa sebenarnya yang terjadi?

Setelah memberikan kata pengantar, ustadz kamal kemudian mempersilahkan ustadz Abdurrahman menyampaikan pengarahan sekaligus membuka acara out bound ini. Setelah memuji Allah dan bershalawat kepada rasulullah saw, ustadz Abdurrahman kemudian melanjutkan pembicaraannya ke inti pembahasan.

“anak-anakku sekalian calon mahasiswa Hamalatul Qur'an, sebelum saya melanjutkan pembicaraan saya, saya ingin bertanya beberapa pertanyaan kepada kalian, tolong di jawab dengan jujur, yang pertama,'untuk apakah kalian datang ke tempat ini?” dengan serempak kami semua menjawab

“untuk menuntut ilmu”

“pertanyaan saya yang kedua, 'kalian datang ke tempat ini atas kemauan siapa'?”dengan serempak kami kemudian menjawab,

“atas kemauan diri sendiri”

“pertanyaan saya yang ketiga atau yang terakhir, 'siapkah kalian mentaati dan  menerima semua aturan yang akan di terapkan di sekolah ini'?” pertanyaan yang ketiga ini sepertinya cukup mengganjal di hati  sahabat-sahabatku, sehingga beberapa saat terjadi keheningan tanpa jawaban, kemudian beberapa orang kemudian termasuk diriku mengangkat suara   dengan lantang,

“siap” aturan dan disiplin yang ketat sudah menjadi bagian dari hidupku di Darul Ulum, sehingga tidak membutuhkan waktu yang lama bagiku untuk menjawabnya. Tapi dari teman-temanku masih banyak yang ragu dari pertanyaan pimpinan pusat tadi. mendengar jawaban yang kurang mantap dari kami, ustadz Abdurrahman kemudian mengulangi pertanyaannya dengan suara yang sedikit lebih tegas dari sebelumnya.

“siapkah kalian mentaati dan  menerima semua aturan yang akan di terapkan di sekolah ini'?” mendengar suara ustadz Abdurrahman yang agak tegas dan lebih keras itu, kami kemudian menjawab dengan suara yang lebih lantang dari kedua jawaban kami sebelumnya, tapi entah jawaban itu murni dari hati yang terdalam atau hanya karena terpaksa dan malu. Melihat reaksi dan raut wajah kami yang berubah, ustadz Abdurrahman kemudian meminta kami untuk tunduk dan memberikan waktu lima menit untuk berpikir, kemudian menyuruh keluar dari barisan apabila di antara kami ada yang tidak siap untuk menjalani aturan dan disiplin yang akan di terapkan ke depan disekolah ini. Ustadz Abdurrahman tidak ingin kami masuk ke sekolah Hamalatul Qur'an ini dengan hati setengah-setengah dan niat yang tidak ikhlas alias terpaksa. Setelah lima menit, tidak satu orang pun yang keluar dari barisan, itu artinya semua siap menerima konsekwensi yang akan berlaku selama out bond dan selama belajar di Hamalatul Qur'an ini. Karena semua sudah berjanji untuk siap menerima apapun yang terjadi, maka ustadz Abdurrahman meminta Firman selaku ketua untuk maju ke depan dan berlutut di hadapan ustadz Abdurrahman, semua mata menuju ke arahnya, tanda tanya kembali menghantui setiap calon mahasiswa, semua jantung berdebar-debar, berdegup kencang tak beraturan. Apa gerangan yang akan terjadi pagi ini? Kalimat itulah yang hadir di setiap benak calon mahasiswa pagi itu. Ustadz Abdurrahman kemudian meminta mas Taufiq untuk mendekat, semua mata tanpa komando memandang ke arah mas Taufiq yang sedang membawa slayer dan bakul yang entah apa isinya itu. Ustadz Abdurrahman kemudian mengambil satu slayer lalu di sematkan di atas kepala Firman, rupanya itu pemasangan slayer secara simbolis sebagai salah satu atribut peserta, usai pemasangan slayer, ustadz Abdurrahman lalu mengambil lagi satu name tage kemudian di kalungkan di leher si Firman, berikutnya pak Kusuma membagikan slayer dan name tage itu kepada kami satu per satu. Anehnya ustadz Abdurrahman belum meminta Firman untuk berdiri walau penyematan slayer dan name tage itu sudah di laksanakan, beliau malah  memanggil mas Taufiq untuk mendekat dengan membawa bakul. Tangan beliau kemudian mengambil satu buah butir telur dari dalam bakul itu, di kulit telur itu tertulis besar-besar 'TELUR AMANAH', melihat telur itu kami semakin heran di buatnya. Pagi ini sebenarnya acara apaan? Kenapa mesti ada telur yang di tulisi, bukankah telur itu untuk di rebus dan di goreng kemudian di jadikan lauk pauk? Dan kulit telur yang bertuliskan amanah itu setahuku selama ini tidak ada gunanya melainkan hanya sampah, ataukah mungkin ini bagian dari ritual orang kota? entahlah. Kepalaku makin di penuhi banyak tanda tanya, tapi beberapa saat kemudian, pertanyaan-pertanyaan itu terjawab dengan sendirinya setelah ustadz Abdurrahman menjelaskannya dengan gamblang.

“telur ini memang hanya benda yang kecil, harganya juga cuma seribu rupiah. Tapi ingat dari sebutir telur ini terlahir ciptaan Allah yang bernyawa, jadi kalian jangan menganggap remeh, telur ini akan kami bagikan kepada kalian satu persatu, tapi bukan untuk di makan, namun untuk di bawa kemana-mana. Kemana dan di mana pun kalian berada telur ini harus berada di tangan kalian dalam keadaan utuh tidak pecah, karena itu kalian harus bersungguh-sungguh menjaganya dan jangan sampai pecah. Telur ini adalah amanah buat kalian, ke depan kalian akan memikul banyak amanah, kalau untuk menjaga amanah kecil bernama telur ini saja kalian tidak bisa, bagaimana kami akan mempercayakan kepada kalian amanah yang lebih besar? Ingat bencana terbesar adalah ketika manusia tidak lagi menjaga sebuah amanah, perkara amanah adalah perkara yang besar. Karena itu pelanggaran terbesar kalian adalah ketika telur ini pecah, saya ulangi dan tekankan sekali lagi, pelanggaran terbesar kalian adalah ketika telur amanah ini pecah, oleh sebab itu, kalian harus bisa menjaganya sebaik-baiknya dan sehati-hati mungkin. Jagalah telur itu seperti kalian menjaga barang paling berharga yang terdapat dalam diri kalian. Nabi adam a.s di takdirkan keluar dari surga itu karena akibat lupa dan tidak mempunyai tekad yang kuat, karena itu saya ingatkan kepada untuk tidak lalai, tidak teledor, dan tidak lupa, saya ulang-ulangi ini berkali-kali supaya kalian tidak mengulangi kesalahan fatal seperti yang terjadi pada nenek moyang kita yang akan menyebabkan kalian mendapatkan hukuman yang sangat besar” panjang lebar ustadz Abdurrahman menjelaskan tentang sebutir telur yang bikin bingung penjagaannya ini.

Menjelang penutupan upacara, pagi itu pak kusuma memberikan informasi baru bahwa bumi perkemahan di cibubur di pakai untuk kemah nasional jadi kami tidak bisa menggunakannya. Tapi bukan berarti acara out bound ini di batalkan, setelah berkunjung ke Cibubur untuk melihat lokasi dan ternyata akan di pakai maka pak kusuma bersama ustadz Abdurrahman menuju megamendung puncak jawa barat, rencanya di sanalah akan di langsungkan acara out bound ini, kendaraannya pun sudah di siapkan, yaitu mobil tronton, mobil yang biasa di pakai para tentara yang sudah menggunakan atribut ketentaraannya dan siap berjuang di lokasi tempatnya di tugaskan.

Usai acara penutupan upacara, sambil menunggu kendaraan yang akan kami tumpangi, ustadz Abdurrahman kemudian menyuruh kami untuk mengumpulkan daun-daun yang berbeda bentuknya di sekitar pekarangan asrama, kami di beri waktu satu menit untuk mengumpulkan daun sebanyak-banyaknya. Setelah satu menit kami di suruh mengumpulkan daun-daun itu di lantai, dan subhanallah ternyata jumlahnya ada lebih tiga puluh, sautu angka yang tidak pernah kami duga sebelumnya, siapa yang menyangka kalau daun-daun yang tiap hari kami lihat itu akan sebanyak itu, setelah itu kami kembali di minta untuk memperhatikan bentuk daun-daun yang sangat rapi itu, kami di ajak untuk mentafakkuri alam ini, betapa banyak rahasia-rahasia ilahi yang terselubung dibalik ciptaan-Nya, betapa banyak keajaiban-keajaiban di balik sebuah peristiwa dan betapa Allah itu Maha kuasa atas segala sesuatu. Sebelum mengakhiri pembicaraannya pagi itu, ustadz Abdurrahman kemudian mengungkapkan sebuah penelitian yang membuat kami tercengang, yaitu bahwa setiap meter dari jengkal tanah itu ada milyaran makhluk hidup terdapat didalamnya.

Matahari semakin meninggi dan teriknya seperti  memanggang tubuh-tubuh  kami yang sesudah kelelahan itu. Dari jauh terdengar suara mobil besar, itu dia mobil trontonnya, kami pun segera mengemasi barang-barang dan bergegas menuju tronton, bagai pasukan jihad yang sudah siap ke medan tempur, ada rasa bangga tersendiri. Dalam mobil satu persatu dari kami terlelap karena kelelahan.

Saat terbangun kami sudah memasuki kawasan megamendung puncak, rasa dingin sudah mulai terasa, pohon-pohon rindang sudah mulai nampak berjejeran, rumah-rumah penduduk sudah mulai langka, jalan pun terlihat sudah semakin sempit. Beberapa saat kemudian aku melihat banyak pohon-pohon bambu, melihat keadaan itu aku teringat sesuatu, sepertinya aku pernah ke daerah ini, tapi kapan ya? Aku berusaha mengingat. Oh iya, aku pernah kesini waktu masih bulan ramadhan bersama ustadz Abdurrahman dan keluarga, waktu itu aku masih bertujuh sebagai calon mahasiswa. Berarti ini yang di maksud pak kusuma dengan megamendung, lokasinya lebih pantas kalau di sebut sebagai hutan.

Ketika tronton berhenti tepat di depan pusat pendidikan kriminal (PUSDIK) kami semua di suruh turun dengan membawa barang bawaan masing-masing, kami di suruh jalan kaki menuju lokasi, aku yang sudah pernah datang ketempat ini dijadikan sebagai guide oleh teman-teman, kami pun berjalan dalam keraguan karena jalan yang kami tempuh masih sangat asing buat kami. Setelah menempuh lebih dari 2 KM masjid dua lantai terlihat depan mata, aku langsung mengenali masjid itu. Kukatakan pada teman-teman kalau itulah lokasi yang dimaksud.

Kami pun berlomba menuju halaman masjid dan sebelah selatannya ada villa biru, pemandangan yang sangat indah terhampar di bawah sana, gunung Gede dan gunung Salak terlihat jelas sebagai pasak bumi, wisata Taman Matahari, kebun teh di Puncak dan Taman Safari yang terlihat jauh di sana melengkapi kebahagiaan kami, karena telah tiba di lokasi yang indah ini, kami pun rebahan di lapangan yang berumput hijau itu, namun hanya dalam beberapa saat, kebahagiaan itu pudar berubah menjadi sedih, sebel, jengkel, berbagai perasaan tidak nyaman bercampur jadi satu, karena pak Kusuma telah tiba dan langsung meniup sempritan sembari menghitung sebagai aba-aba untuk segera berbaris rapi lengkap dengan semua perlengkapan, tidak ketinggalan tentunya yang paling penting adalah telur amanah yang membuat kepala pening terhadap penjagaannya.

Pak Kusuma kemudian mengagkat suara, “siapa yang suruh kalian rebahan?, kita telah sepakat kalau tidak ada aktivitas apapun tanpa intruksi, dan satu orang yang melanggar dari kalian berarti sanksi untuk semua sebagai bentuk kekompakan team work kalian. Karena itu sekarang semuanya push up sepuluh kali sesuai kesepakatan awal. Dengan setengah hati sambil bersungut-sungut kami pun semua push up yang dihitung oleh langsung oleh pak Kusuma. Setelah cukup sepuleh kali kami kemudian disuruh berdiri dan merapikan barisan tanpa suara apalagi mengeluh. Siang terik itu kami seperti kerbau yang dicucuk hidungnya, tidak ada yang berani angkat suara, termasuk bang Herman si jago silat itu. Pak Kusuma kemudian mengumumkan siapa yang bawa dompet, uang dan HP? Kami pun disuruh untuk mengumpulkan, sambil beliau mengomel, “kalian ini sudah diberitahukan untuk tidak membawa kecuali yang telah ditulis dipapan tulis oleh pak Rizki, kalian memang keras kepala” kami hanya bisa menikmati omelan itu tanpa sedikit pun berani berkomentar. Rasa lelah setelah menempuh perjalanan jauh dan berjalan kaki 3 KM tidak menyisakan rasa iba sedikit pun pada pak Kusuma. Suara azan zuhur yang  berkumandang dari masjid, mengakhiri acara omelan siang itu.

Setelah shalat zuhur, seperti tanpa jeda, suara sempritan kembali berbunyi di iringi hitungan dari pak Kusuma yang sudah stand by dilapangan. Kami seakan tidak bernafas dibuatnya. Kami menyangka omelan menjelang zuhur tadi adalah yang terakhir dan ba’da zuhur ini adalah acara makan serta istirahat, kami semua sudah membayangkan di kepala masing-masing nikmatnya istirahat setelah menempuh perjalanan jauh yang melelahkan, setelah menerima hukuman push up yang membuat tubuh kami pegal-pegal, ternyata realitanya jauh berbeda. Setelah barisan kami rapi lengkap dengan semua atribut termasuk tentunya ‘telur amanah’ yang setiap saat selalu ditanyakan keutuhannya, kami kemudian disuruh duduk melingkar di bawah terik matahari di lapangan yang beraspal panas itu, untung saja udaranya sejuk disertai angina sepoi-sepoi yang membelai-belai kami yang sedang dililit rasa lapar. Beberapa saat kemudian, mas Taufiq masuk ke tengah-tengah lingkaran kami sambil membawa daun pisang yang sudah dipotong-potong rapi, tentu kami semua kembali bertanya-tanya, ini untuk apalagi? Daun pisang yang berukuran kecil itu, di edarkan kepada kami satu persatu, setelah itu pak Kusuma angkat suara, “daun pisang ini adalah tempat makan kalian selama tiga hari, jadi kalian harus merawat dan menjaganya sebaik mungkin, karena kami tidak akan mengganti jika sobek, hilang atau tercecer, dan yang tidak kalah pentingnya juga, kalian harus menghargai nasi yang kami berikan, tidak boleh ada satu biji nasi pun yang berjatuhan. Ingat satu biji nasi yang kami temukan tersisa apalagi jatuh, maka bayarannya adalah sepuluh kali push up . Bisa di fahami?” kami hanya bisa mengiyakan walau dengan suara setengah terpaksa, tidak ada pilihan lain, sebab banyak bertanya apalagi protes maka itu akan menjadi boomerang bagi kami.

Mendengar penuturan pak Kusuma, kami saling memandang dan melongo, namun tak seorang pun yang berani angkat suara, apalagi protes. Bagaimana mungkin daun pisang yang sangat rapuh itu dapat bertahan tiga hari, apalagi dalam sehari kami memakainya tiga kali ditambah lagi nasi tidak boleh ada yang jatuh dan tersisa, walau satu biji. “Sungguh penyiksaan yang luar biasa”. Batin kami. Setelah berdo’a, kami di perintahkan menikmati nasi yang tidak berlauk itu. Hanya nasi to’. Sambil makan, kami juga menikmati siraman perasaan dari pak Kusuma yang tentunya tidak lain adalah kata-kata yang menjengkelkan. Disela-sela santap siang itu beliau nyeletuk “kalian benar-benar tidak punya perasaan, makan tidak ngajak-ngajak panitia” kami pun lagi-lagi dengan suara terpaksa mengajak  para panitia ikut makan, walau tentunya itu hanya basa-basi, mana mau mereka makan bersama kami yang hanya menggunakan daun pisang di bawah  terik matahari apalagi dengan nasi tanpa lauk-pauk. Selang beberapa saat, pak Kusuma angkat suara lagi, “nanti kalau mendengar suara sempritan berhenti makannya, dan nasi kalian yang beralaskan daun pisang itu diputar kesebelah kanannya”. Setelah nasi kami berkurang seperempat, suara sempritan berbunyi sebagai tanda menggeser ‘piring’, kami pun menggesernya sambil tertawa geli. “ini permainan apaan” batin kami. Sempritan kembali berbunyi sebagai aba-aba untuk kami melanjutkan makan dengan piring yang berbeda, karena piring tadi sudah digeser ke teman sebelah. Ketika nasi kami telah berkurang sepertiga barulah keluar sambal dan mentimun dari mas Taufiq, kami tersenyum bahagia, walau itu hanya sambal dan mentimun, sudah cukup nikmat, apalagi rasa lapar yang teramat sangat, menjadikan kami tambah lahap. Seperti dalam syair Arab yang selama ini telah kami hafal dan jadikan istilah di Darul Ulum “khairul idami juu’, sebaik-baik lauk-pauk adalah rasa lapar”. Tidak lama kemudian, sempritan pak Kusuma kembali berbunyi, kami pun serentak berhenti makan dan menggeser ‘piring istimewa’ itu kesebelah kanan kami, yang tentu sudah beragam, ada yang masih lumayan banyak nasinya, ada yang sudah hampir habis, ada juga yang masih setengah. Teman-teman yang tidak terbiasa makan seperti ini mungkin itulah yang nasinya masih tersisa banyak, sementara aku, Sony, Bathol dan adikku Hasan yang sudah terbiasa makan sangat sederhana di pesantren dulu, nasinya tiggal sedikit, kami makan lahap dan nikmat-nikmat saja. Setelah memberikan sambal dan mentimun, pak Kusuma bertanya kepada kami, “bagaimana sambalnya? Enak?” kami menjawab dengan serempak “enak bangeet pak” pak Kusuma kemudian mengintruksikan mas Taufiq untuk membagikan lauk tempe goreng yang sudah di iris-iris. Dalam hati, kami berkata, “kenapa nggak dari tadi, ini nasinya tinggal dua suap lagi” makan kami siang ini benar-benar seruu, seumur-umur baru dapat gaya makan seperti ini.

Usai makan, kami pun dipersilahkan untuk minum secara bergantian, sebab gelas hanya ada dua buah. Sementara kami berjumlah dua puluh orang. Saat minum, ada satu teman yang memakai cuci tangan sisa air minumnya, pak Kusuma kembali berteriak dengan memaki kami habis-habisan “kalian memang tidak bersyukur, sudah diberi minum, malah dibuat untuk cuci tangan, saya sudah capek-capek membawanya dari Jakarta, kalian tidak menghargai usaha panitia” karna gara-gara inilah, akhirnya kami kembali di hukum dengan push up . Sepertinya kami akan dibentuk jadi algojo, dengan push up ini.

Siang ini benar-benar tidak ada waktu istirahat, kegiatan demi kegiatan kami lalui sampai malam. Sore harinya, ketika matahari sudah mulai tertutup awan, mendung tebal menyelimuti pepohonan, rasa dingin mulai menyerang ke pori-pori. Kami kembali berbaris rapi, sore ini akan di adakan pemasangan kemah tempat untuk kami bermalam. Awalnya aku tidak percaya kalau kami benar-benar akan bermalam di kemah itu, karena suasana yang sangat dingin, sepi, sementara disekitar kami ada villa dan masjid yang lebih nyaman untuk ditempati tidur.

Tadi siang usai makan, pak Kusuma sudah menjelaskan, kalau malam ini kami akan tidur ditenda, kami belum membayangkan tenda seperti apa yang dimaksud. Sore inilah kami baru faham, setelah dibagikan kepada kami satu persatu mantel jas hujan. Setiap kami disuruh mendirikan kemah masing-masing dengan senyaman mungkin, serapih mungkin, karna itu akan menjadi tempat tidur kami sebagai malam pertama di Megamendung Puncak yang dingin dan rawan hujan ini . Kami pun berpencar setelah arahan selesai untuk mencari kayu, bambu, tali untuk digunakan mendirikan kemah. Tempat pendirian kemah juga sudah dibagi oleh pak Kusuma, sehingga kami tidak berebut tempat. Saat lagi semangat-semangatnya kami membangun ‘istana’ masing-masing, hujan mengguyur, namun kami tidak  patah arang, kami terus saja bekerja, kami tidak peduli, kami sudah pasrah, asal ‘istana’ ini berdiri sebelum magrib. Menjelang magrib, alhamdulillah kemah yang kami buat sudah berdiri dengan berbagai bentuk. Ada yang kemahnya berdiri tinggi, ada yang rendah sekali, hanya bisa baring didalamnya, ada yang sedang-sedang saja, kami pun saling menertawakan.

Setelah shalat magrib yang dijama’ qashar, taqdim dengan shalat isya, kami berdiri berjejer menghadap jendela menikmati indahnya kelap-kelip lampu di bawah sana. Mulai dari Cianjur sampai perkampungan Bogor kami dapat melihatnya dari masjid tempat kami berdiri. Lampu-lampu itu bagai bintang gemintang yang bertaburan diatas bumi, suara-suara jangkrik dan binatang malam yang mendendangkan  ‘lagu iramanya’ melengkapi indahnya suasana malam ini. Namun belum puas kami menikmati semua ini, ustadz Kamal sudah mengajak kami duduk rapih dengan pakaian shalat, lengkap dengan jaket tentunya. Malam ini akan diadakan pembinaan rohani, setelah tadi siang sudah dipuaskan jasmaninya.

Kami kemudian duduk setengah melingkar, di hadapan kami sudah ada layar yang di sorot projector, dilayar  itu terlihat tulisan ‘karakteristik Ibadurrahman’. Setelah majelis ini di buka, kami lalu di suruh menghafal ayat yang menjelaskan tentang karakteristik Ibadurrahman ini, terdapa dalam surah Al-Furqan: 63-77. Kami hanya diberi waktu selama dua puluh menit untuk menghafalnya terlebih dahulu sebelum ditadabburi. Kami kemudian berpencar, mencari tempat yang kira-kira bisa berkonsentrasi menghafal, ada yang lari ke pojok masjid, ada yang di belakang, ada yang dekat jendela, tidak ada yang berdekatan, khawatir nanti malah mengobrol sementara waktu sangat terbatas. Setelah berlangsung sekitar seperempat jam, kami saling memperdengarkan hafalan yang baru saja kami hafal kepada teman-teman sebelum menyetorkan kepada ustadz Kamal yang sudah menunggu di samping layar. Ketika waktu telah habis, kami disuruh kumpul sambil membentuk antrian memanjang ke belakang, lucunya tidak ada yang mau duduk di depan, mungkin karena hafalannya masih terbata-bata, sehingga lebih memilih duduk di belakang supaya masih bisa memperlancar hafalan ketika teman-teman yang lain menyotor. Kami pun saling dorong-mendorong mempersilahkan untuk menyotor terlebih dahulu, tapi karena aku, Bathol dan beberapa teman yang dari pesantren Darul Ulum, sudah pernah menghafal ayat ini sebelumnya, jadi kami tidak membutuhkan waktu terlalu lama. Kami pun mengalah dan duduk didepan, sambil memberikan waktu bagi teman-teman yang baru mulai menghafal.

Setelah semuanya selesai menyotor, kami lalu diperintahkan lagi untuk mencari berapa karakteristik Ibadurrahman dalam ayat ini, sambil membaca terjemahan, kami berdiskusi antar kelompok masing-masing. Setelah itu, masing-masing kelompok mempresentasikan hasil diskusinya di depan yang dipandu oleh ustadz Kamal, beliau yang di amanahkan oleh ustadz Abdurrahman untuk membimbing kami, berhubung beliau ada acara di Jakarta. Setelah semua kelompok menyampaikan presentasinya, kami di persilahkan untuk istirahat di kemah yang telah kami dirikan tadi sore.

Pak Kusuma ternyata lagi-lagi tidak ketinggalan, dia sudah menunggu di Antara kemah-kemah kami dengan membawa sirine, beliau kemudian menghitung sampai sepuluh untuk kami berkumpul dengan rapi dihadapan beliau, tentu dalam keadaan sudah ganti baju dan membawa telur amanah, karena telur ini kami harus membawanya kemana pun kami pergi dan tidak boleh pecah. Sungguh memusingkan dan membutuhkan penjagaan ekstra. Setelah hitungan telah sampai sepuluh, ada saja teman yang terlambat, sehingga kami harus push up lagi sebagai pengantar tidur. Setelah diperiksa ternyata ada juga teman yang masih pakai sarung, karena khwatir terlambat, ia hanya memakai baju kaos, ia menyangka dalam suasana yang remang-remang tidak mungkin diperhatikan, tapi pak Kusuma menyenter kami satu persatu, dan ditemukanlah teman tadi yang pakai sarung, kami semua harus push up lagi. Karena konsekwensi dan komitmen dari awal adalah, satu yang melanggar, semua akan dihukum. Ini bentuk kekompakan dan team work yang hendak ditanamkan, begitu pula sikap saling mengingatkan diantara kita saat ada yang lalai,  tidak boleh cuek begitu saja. Kelak apa yang kami alami di out bound ini sangat bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari, baik di lembaga maupun di masyarakat.

Sebelum kembali ke kemah masing-masing, kami diberi arahan, agar semua langsung tidur dan tidak ada suara, kemudian telur amanah harus diletakkan dekat kepala dan ketika nanti mendengar suara sirine harus cepat bangun dan langsung kumpul dilapangan dalam keadaan beratribut lengkap. Ketika arahan itu belum berakhir, ada diantara kami yang nyeletuk “pak, kami tidurnya nanti bagaimana, kan tidak boleh bawa karpet apalagi selimut dan Kasur, ini habis hujan, kemah kami masih basah….” Belum sempurna kata-kata yang keluar dari mulut teman tadi, pak Kusuma sudah memotong dan berkata “kalian bersabar, saya belum menutup pembicaraan saya, kami dari panitia sudah memikirkan semua kebutuhan kalian, jadi tidak usah banyak komentar, kami juga tahu kalian dingin dan kemah kalian basah.

Beberapa saat kemudian datanglah mas Taufiq membawa kantongan yang entah apa isinya. Pak Kusuma kemudian mengambil satu dan membukanya, ternyata trash back, tempat sampah yang mirip kresek. Mas Taufiq kemudian membagikan kepada kami satu persatu, kami kembali bertanya-tanya, untuk apa trash back sebanyak ini. Bukankah satu juga sudah cukup untuk menampung sampah-sampah kami?. Setelah semuanya memperoleh, pak Kusuma kemudian menyobek trash back tersebut sehingga menjadi lebar, kami disuruh untuk mengikuti beliau membelah trash back sehingga mejadi lebih lebar. Beliau kemudian mejelaskan apa fungsinya. “trash back ini adalah Kasur kalian, silahkan dinikmati, ini tidak tembus air sehingga kalian bisa nyaman tidurnya” mendengar penjelasan yang bernada menghina itu, kami tersenyum pahit, bagaimana mungkin tempat sampah itu buat tidur di tempat yang sangat dingin seperti ini? Tapi tidak ada pilihan lain, kecuali harus membawa pulang trash back itu dan menghamparkannya dalam kemah kami, tas ransel yang berisikan pakaian, kami jadikan bantal. Karena kelelahan dan rasa kantuk  yang  sudah menyerang kami, tidak lama kemudian kami tertidur pulas, beratapkan mantel, beralaskan trash back, berbantalkan ransel dengan suhu yang sangat dingin.

Ketika jam menunjukkan pukul 03.00 dini hari, suara sirine kembali menderu membangunkan paksa, mengusik tidur kami yang larut dalam lautan mimpi. Belum sempat mata kami terbuka sempurna, suara hitungan sudah terdengar di luar kemah, kami tergopoh-gopoh dalam keadaan masih setengah sadar menuju sumber suara. Ketika hitungan telah berakhir, banyak teman-teman yang belum hadir, mungkin sebagian menyangka hitungan itu adalah mimpi. Itulah kesalahan pertama yang kami perbuat pada dini hari ini, sehingga kami pun harus push up sekaligus menghilangkan rasa kantuk yang masih menggantung di pelupuk mata. Saat berdiri dari push up , pertanyaan yang kami tidak sangka, kembali terlontar dari lisan pak Kusuma, mana telur amanah kalian? Kami hanya bisa tertunduk mengakui kesalahan itu, dan inilah kesalahan kedua yang kami lakukan, sehingga kami pun harus push up untuk yang kedua kalinya di keheningan malam itu. Setelah push up , kami segera berhamburan ke kemah untuk mengambil telur amanah yang memusingkan ini. Setelah berbaris rapi, pak Kusuma kembali bertanya.

“apakah kalian dingin?”

“dingin pak” jawab kami serentak

“Kalau begitu, biar hangat, kalian olah raga dengan push up ” perintah pak Kusuma.Dari kami tidak ada yang bergeming. Tidak ada yang bergerak. Kami merasa sangat tidak bisa menerima perintah ini. Bagaimana mungkin kami harus push up lagi hanya gara-gara mengaku dingin. Bukankah push up dua kali tahapan saat bangun tidur dalam keadaan setengah sadar sudah sangat menyiksa?. Karena tidak ada yang bergerak, akhirnya pak Kusuma mulai mengomel, “katanya dingin, dikasi solusi biar hangat, tidak mau. Terus mau kalian apa?. Ya, sudah, sekarang kalian melompat-lompat di tempat” Kami pun melompat-lompat mengiringi suara jangkrik dan kodok yang malam itu juga lagi ‘berdisko’ di seputar kami, seakan-akan mereka mengerti suasana hati kami. Setelah dua menit melompat-lompat, pak Kusuma kembali bertanya,

“bagaimana? panas atau masih dingin?”

“panas pak, dingin pak” kami menjawab dengan nada kesal dan dengan jawaban yang bervariasai. Pak Kusuma, bukannya diam mendengar jawaban kami. Beliau malah menyuruh kami membuka baju yang mengatakan panas. Lagi-lagi dengan terpaksa kami harus membuka baju yang mengaku panas. Ketika baju kami sudah terbuka, teman-teman yang mengaku dingin hanya melihati kami yang sudah membuka baju, mereka merasa menang dengan jawabannya. Namun mereka pun akhirnya dapat semprotan kata-kata dari pak Kusuma,

“katanya, bersaudara, team work, kompak. Mana? Temannya buka baju, malah kalian hanya memplototinya. Mana bukti kekompakan kalian? Mana rasa persaudaraan kalian? Mana hati kalian yang sok suci dan perhatian itu?”

Dengan serta-merta, teman-teman yang masih pakai baju, langsung membuka bajunya. Kami pun bagai sekumpulan induk tuyul yang gentayangan pada dini hari. Untung saja lokasi ini jauh dari keramaian dan cahaya, sehingga tubuh kami tidak terlihat orang lain, terutama kaum Hawa.

***

Shalat tahajjud dimulai pukul 03.30 WIB sampai menjelang shubuh dengan hitungan satu rakaat satu halaman dari ayat Al-Qur’an yang dibaca oleh imam. Adapun yang bertindak sebagai imam adalah ustadz Kamal sendiri sebagai guru tahsin dan tempat kami menyotorkan hafalan kelak setelah resmi menjadi Mahasantri.

Usai shalat shubuh, kami mengawali hari dengan membaca zikir pagi dan membaca beberapa lembar dari ayat-ayat Al-Qur’an, semoga itu dapat menjadi tameng dari berbagai mara bahaya yang akan menimpa hingga sore hari. Rasulullah saw senantiasa membaca zikir pagi dan petang untuk melindungi dirinya dari berbagai mudharat yang akan menimpa. Bahkan dalam Al-Qur’an Allah swt menyebutkan bebarapa ayat tentang zikir pagi petang ini, “Hai orang-orang yang beriman, berzdikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya diwaktu pagi dan petang”.

Rasulullah saw dalam haditsnya juga banyak menyebutkan akan keutamaan zikir pagi petang ini. Adapun diantara keutamaan dzikir pagi dan petang secara umum adalah lebih utama dari memerdekakan empat orang budak dari anak Isma’ilsebagaimana yang diriwayatkan oleh . Abu Dawud  dari Anas bin Malik ra, ia berkata: “Rasulullah saw bersabda, ‘Aku duduk bersama orang-orang yang berdzikir kepada Allah dari mulai shalat Shubuh sampai terbit matahari lebih aku sukai dari memerdekakan empat orang budak dari anak Isma’il. Dan aku duduk bersama orang-orang yang berdzikir kepada Allah dari mulai shalat ‘Ashar sampai terbenam matahari lebih aku cintai dari memerdekakan empat orang budak.'” Dan akanlebih besar lagi keutamaannya jika dilakukan di masjid, sambil menunggu syuruq, terbitnya matahari dipagi hari, kemudian sholat Isyraq dua raka’at. Hal ini biasa dilakukan oleh Nabi saw dan menyebutkan dalam sabadanya yang diriwayatkan oleh Thabrani., Barangsiapa yang mengerjakan shalat shubuh dengan berjama’ah di masjid, lalu dia tetap berdiam di masjid sampai melaksanakan shalat sunnah Dhuha, maka ia seperti mendapat pahala orang yang berhaji atau berumroh secara sempurna.” .

Pukul 06.00 WIB, suara sirine kembali menderung di lapangan, memanggil-manggil kami yang baru saja menuruni anak tangga masjid. Pak Kusuma sudah stand by di lapangan dengan atribut olah raga yang lengkap.

Kami berlarian menuju kemah untuk mengganti pakaian shalat kami, tentu tidak lupa memasang semua atribut out bound berikut telur amanah. Terlambat sekian detik bisa menjadi bahan omelan pak Kusuma dan tentu juga dari teman-teman yang sudah bosan push up . Saat kami telah berbaris rapi sesuai urutan masing-masing dan mulai berhitung, tiba-tiba ada satu teman yang baru nongol. Tak pelak lagi, pak Kusuma langsung mengalihkan perhatian ke teman yang terlambat ini. Alasannya tidak diterima oleh pak Kusuma, ia baru saja keluar dari toilet. Seperti yang sudah kami duga. Pak Kusuma kembali mengomel panjang lebar, “kenapa baru ke toilet?” tanyanya “bukankah waktu kalian sejak ba’da shubuh sampai jam 06.00? kalian memang suka mencari-cari alasan untuk menghindar dari kegiatan, jangan kira, kami tidak tahu kalau ada yang absen” kami Sembilan belas orang, hanya bisa menggerutu dan mengutuk habis-habisan dalam hati teman yang terlambat ini. Sungguh dia tidak memikirkan kemaslahatan bersama, padahal sebenarnya dari kami juga banyak yang mau ke toilet, tapi karena memikirkan maslahat bersama, maka kami mengalah untuk menahan, sampai nanti diberi kesempatan.

“yah, sesuai kesepakatan, satu yang melanggar maka semua dihukum, silahkan turun” kami dengan setengah hati alias terpaksa mengambil posisi push up sambil melirik ke teman yang tadi terlambat. Lirikan yang bermakna, ini gara-gara kamu, sehingga kita semua harus menanggung akibatnya.

Matahari makin meninggi, sehingga cahayanya mulai menorobos dari sela-sela dedaunan, menghangatkan kami yang lagi berolah raga di halaman villa. Rasa dingin perlahan-lahan hinggap dari tubuh kami, seakan mengalir keluar lewat pori-pori.

Usai sarapan dengan gaya makan seperti sebelumnya, kami kembali berbaris perkolompok untuk meneriakkan yel-yel masing-masing. Setelah itu permainan game dan simulasi dimulai. Pak Kusuma punya segudang permainan yang aneh-aneh dan belum pernah kami lihat sebelumnya. Diantara permainan yang paling menantang adalah, ‘buang badan’. Pak Kusuma mencari dinding tanah yang agak tinggi, kemudian satu per satu dari kami harus naik ke dataran tanah yang tinggi itu secara bergiliran. Permainan ini dipandu oleh mas Taufiq dan team sebagai fasilitator panitia. Paniti ini kemudian membalikkan tubuh kami sehingga tumit persis ditepi jurang daratan tinggi tadi, panitia lalu menutup mata kami dengan kain yang sudah disiapkan, begitu pun tangan kami yang disilang didada kemudian di ikat erat. kami harus membuang badan dengan posisi lurus, pasrah bagai mayat yang telah dikafani. Setelah itu enam orang dari teman kami di intruksikan panitia untuk menanti di bawah  siap menimang dengan posisi berhadap-hadapan. Masing-masing memegang tangan kirinya di bawah  siku, lalu tangan kiri mencengkram erat tangan kanan teman dihadapannya sehingga tangan itu saling menguatkan satu sama lain. Teman yang telah ditutup matanya tadi berteriak kebawah, ke enam teman yang dihantui rasa was-was ”apakah kalian sudah siap” yang enam orang ini menjawab dengan setengah yakin, sehingga suaranya terdengar pelan. Melihat situasi ini, panitia memberikan penjelasan, “kalian yang di bawah  harus siap, kuat, kompak dan rela berkorban. Jangan sampai teman kalian terluka atau terjadi apa-apa padanya, hanya karena kalian tidak percaya diri.” Teman yang akan membuang badan pun merasa kurang yakin, jantungnya berdebar-debar. Sebab meleset sedikit maka tubuhnya akan jatuh ketanah bahkan aspal. Panitia kembali mengintruksikan  untuk mengulangi pertanyaannya, “apakah kalian sudah siap?” yang di bawah  menjawab lantang, “siap” panitia kemudian menyuruhnya untuk bersyahadat, seakan ia akan mengakhiri hidupnya dengan buang badan ini. Kemudian disuruh membaca “tawakkaltu ‘alal hayyi-lladzy laa yamuutu abadaa” aku sudah bertawakkal kepada Dia yang Maha Hidup dan tidak akan mati selamanya. Bacaan ini diharapkan dapat lebih mempermantap hatinya. Apapun yang akan terjadi, ia sudah mengikhlaskan dirinya. “ada wasiat yang mau disampaikan” Tanya panitia dengan nada bercanda. Teman ini hanya tersenyum kecut. “bismillah…saat hitungan ketiga, maka badanmu sudah harus melayang kebawah. Kalau tidak, maka kami akan dorong secara paksa” ancam panitia. “satuuu…, duaaa…, tigaaa…” sekonyong-konyong tubuh itu kemudian rebah kebawah. Dalam hitungan detik telah terbaring diatas tangan teman yang menimangnya. Kami semua bernafas legaa “Alhamdulillah, selamat” ucap kami serentak tanpa komando. Tepuk tangan kemudian riuh membahana. Ini dilakukan secara bergantian sehingga semua harus merasakan.

Setelah semuanya mendapat giliran, pak Kusuma masuk ditengah-tengah lingkaran kami dan melontarkan pertanyaan, “nilai-nilai apa yang bisa dipetik dari serangkaian simulasi yang telah kita lalui”

“kekompakan” teriak salah seorang dari kami. “keikhlasan” tambah yang lain. “percaya diri dan saling percaya satu sama lain” ucapku mantap. “Ada lagi?” Tanya pak Kusuma. Hening beberapa saat. “semua harus memberikan komentarnya” tambahnya. Semua kemudian berfikir mencari jawaban dari dalam otak masing-masing. “kerja sama” Hasan tiba-tiba berteriak memecah keheningan. Setelah itu bersahut-sahutan jawaban dari mulut kami, “pengorbanan” “inisiatif” “kreatif” “inovatif” “berfikir” dan masih banyak lagi jawaban lainnya. Butuh proses-loading saja untuk menemukan jawaban tersebut.Sayup-sayup terdengar suara azan dzuhur dari masjid kampung sekitar yang mengharuskan kami mengakhiri simulasi ini. Menuju masjid. Memenuhi panggilan Ilahi. Panggilan terindah. panggilan terpenting dari semua bentuk panggilan.

“cepat buat lingkaran seperti biasa” perintah pak Kusuma dari tengah lapangan. “mana ‘piring keramik’ kalian?” tanyanya dengan nada menghina piring kami yang dari daun pisang. Ketua kelompok kemudian bergegas mengambil tumpukan daun pisang yang sudah berubah warna menjadi kehitam-hitaman dan agak melengkung pinggirannya. mungkin Karena sudah mulai mengering. Seperti biasa, mas Taufiq masuk ke tengah lingkaran membawa termos yang beisikan nasi hangat. Setelah semua mendapat jatah dua sendok nasi, sempritan berbunyi sebagai aba-aba bolehnya memulai makan. Kami saling melirik sekilas sebelum makan sebagai kode, bahwa kemungkinan besar makan siang ini nasibnya sama dengan kemarin. Kami menertawakan diri sendiri sambil menunduk. Takut kelihatan sama pak Kusuma. Nanti bisa di omelin lagi kalau tersenyum-senyum tanpa ada yang lucu di mata dia.

Benar saja dugaan kami. Beberapa detik berlalu tidak ada lauk pauk. Nasi melengket di jari-jemari kami yang kering. Tanpa kuah, tanpa cuci tangan. Kami hanya menjilat-jilatnya berkali-kali. Sambil makan dengan setengah selera, hati kami tetap berharap-harap cemas pada panitia agar ada sedikit rasa prihatin, rasa kasihan sebagai manusia kepada sesamanya dengan memberikan sedikit lauk pauk, agar nasi ini mudah tertelan masuk ke tenggorakan.

Sudah beberapa suapan nasi yang masuk ke mulut kami, namun sepertinya lauk yang kami nanti-nanti itu tidak kunjung datang juga. Malah sesuatu yang tidak kami harapkan, itulah yang terjadi. Sebuah suara sempritan kembali berbunyi, sebagai tanda menggeser piring ke teman sebelah. Antara sebel dan ingin tertawa, kami menjalaninya. Sempritan kembali berbunyi sebagai kode melanjutkan makan dari makanan sisa teman. Begitu terus hingga tiga kali putaran. Menjelang nasi habis, barulah panitia datang tergopoh-gopoh membawa tempe goreng, sambal dan kecap cap bangau. “ada yang mau lauk?” Tanya pak Kusuma “maulah pak” jawab kami dengan nada kesal. Mas Taufiq pun masuk membagikan kepada kami lauk yang lebih banyak dari nasinya. Kami nikmati saja. Nikmat atas dasar syukur.

Setelah semua mengumpulkan piring keramiknya dengan bersih mengilap tanpa dicuci. Kami kembali berbaris rapi. Siang ini, simulasi game dilanjutkan. Panitia sudah menyiapkan semuanya. Pak kusuma menunjuk garis-garis disebelah kanan kami. “ini ada kotak-kotak” silahkan kalian kerjakan. ada satu jam kami berfikir dan berunding memikirkan jalan keluar dari gambar kotak-kotak ajaib ini. Setelah mencoba berbagai cara, kami akhirnya menemukan jawabannya. Setelah itu, kami berpegangan tangan kemudian di buat kocar-kaci hingga tangan-tangan kami seperti benang kusut. Pak Kusuma perintahkan kami untuk mengurai ‘benang kusut’ ini tanpa ada yang melepas tangannya. Permainan ini juga menghabiskan waktu selama kurang lebih satu jam. Kami merasa sangat kelelahan dan kepanasan di bawah  terik matahari. Ternyata mahatari Megamendung juga cukup menyengat saat sudah berada diatas kepala.

Tanpa terasa, dua jam lebih telah kami habiskan hanya untuk menyelesaikan dua bentuk permainan. Karena kami sudah menjama’ shalat ashar dengan jama’ taqdim waktu dzuhur tadi, maka kegiatan terus dilanjutkan. Bersambung



Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun