Mohon tunggu...
Abu Faqih
Abu Faqih Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Mencari Cinta Sejati (Kisah Nyata)#2

25 Mei 2015   10:14 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:38 359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengenal Ibu Kota

Tak terasa mobil sudah memasuki wilayah kota Makassar, Nampak lampu-lampu berkerlap-kerlip menerangi jalan-jalan, rumah-rumah, perkantoran, mobil ramai lalu lalang, perumahan yang ramai, orang yang masih sibuk dan berkeliaran di luar rumah. Sungguh sebuah pemandangan yang sangat kontras dengan di daerahku, yang mana pada jam segini, malam sudah cukup mencekam dengan kegelapannya, orang-orang sudah terlelap dengan mimpi-mimpi indahnya, jalan dan rumah yang siang harinya saja sudah sepi. Sempat terbetik dalam pikiranku, bagaimana dengan ibu kota Jakarta ya? Kota terbesar di negeri ini, yang konon katanya lima kali lipat dari kota Makassar, bahkan lebih. Aku tidak bisa membayangkan diriku yang begitu kecil, orang kampung, orang gunung, orang miskin dan tidak mengerti seluk beluk perkotaan akan mendatanginya. Nekat, itulah diriku.

“de kita sudah sampai di rumah tantemu” suara sopir tiba-tiba menyadarkanku dari lamunanku tentang Jakarta yang mempesona.

“ohh i..i..i ya pak”jawabku masih setengah kaget, setengah sadar. Aku segera membuka pintu mobil dan memeriksa semua barang bawaanku, setelah kurasa semuanya sudah terbawa, aku bayar ongkos dan mengucapkan terima kasih banyak kepada bapak sopir yang telah mengantarku. Entah apa jadinya kalau sudah larut malam begini terus sopir menelantarkanku di terminal, tanpa tidak mau tau dan berbelas kasih, mungkin aku akan benar-benar tidur di tempat yang sangat tidak layak dan tidak terjamin keamanannya.

Ternyata rumah Ahmad agak masuk ke dalam dari jalan raya dan juga berada di pinggiran kota yang masih banyak semak-semak di sekitarnya. Penerangan juga kurang, sehingga semua nampak remang-remang. Ketika turun dari mobil, sudah ada orang yang menuju ke arahku, walau wajahnya tidak terlalu jelas, tapi aku yakin itu pasti ayah Ahmad yang sedari tadi memang sudah menungguku. Ku ucapkan salam dan langsung menjabat tangannya, beliau membantu mengangkat barang bawaanku. Sambil ngobrol ringan, basa-basi, kami berjalan berdampingan menuju rumah yang belum terlihat jelas oleh mataku. Ketika sampai di rumahnya, aku terperanjat, tidak percaya, kaget. Bagaimana mungkin ibu dan bapak yang setiap datang dulu ke pesantren memberiku uang yang jumlahnya melebihi pemberian orang tuaku, membelikan kebutuhan dan membawakan makanan yang cukup memadai tinggal di rumah seperti ini? Rumah yang kira-kira cuma berukuran lima kali lima, dapur, ruang tamu, ruang tengah, jadi satu, kamar tempat tidur juga cuma satu, itu pun hanya muat untuk dua orang saja. Air mataku tumpah, aku mengangis, entah bagaimana, tiba-tiba gemuruh dalam dadaku begitu membuncah ketika melihat rumah itu. Tapi aku segera menguasai diri, dengan bersikap biasa-biasa saja, khawatir beliau menangkap expresiku. Sambil menyeruput kopi dan kue kering yang di hidangkan tante Fathimah di hadapanku, pikiranku masih terus kerumah ini, mungkinkah rumah ini hanya untuk sementara waktu karena beliau mungkin sedang membangun rumah besar yang mewah di lain tempat? Atau beliau habis terkena musibah yang menyebabkan beliau mengungsi ke gubuk yang sangat kecil ini. Ya Allah, sungguh aku tidak mengerti, tapi selama ini juga mereka tidak pernah cerita.

“Mujahid kamu sudah shalat?” sebuah suara kembali membuyarkan lamunanku. Itulah ciri khas diriku yang selalu dan hobi merenung, berpikir, dan mengingat-ingat kenangan.

“belum tante” jawabku singkat

“kamu ke masjid saja, letaknya di seberang jalan tempat kamu turun dari mobil tadi, dekat kok” jelas ibu Ahmad sambil menunjuk arah masjid. Aku pun bergegas menuju masjid yang di tunjukkan tante Fathimah tadi. Sampai di halaman masjid aku mendengar suara-suara, cukup ramai, padahal sudah jam sepuluh malam. Dengan melangkah pelan-pelan penuh kehati-hatian aku menuju ke arahya sambil melirik siapa mereka sebenarnya. Aku sadar kalau saat sekarang sedang berada di kota yang kata banyak orang, masjid pun kerap kali menjadi tempat kejahatan. Mataku menangkap sosok mereka, dari pakain yang mereka kenakan aku sudah bisa menebak, mereka adalah jamaah tabligh, sekolompok orang yang mau meninggalkan keluarga dan kampung halamannya menuju ke pelosok daerah untuk mendakwahkan agama Allah tanpa pamrih. Tanpa pikir panjang aku langsung mendatangi mereka sembari mengucap salam. Mereka menyambutku dengan baik dan senang hati, aku kembali bersyukur memuji Allah. Usai melaksanakan shalat aku mengobrol bersama mereka, kujelaskan kalau aku juga pernah ikut ta’lim dan khuruj mereka waktu di kampung dulu, jadi sedikit banyaknya aku sudah mengerti kehidupan mereka. Aku juga sempat berpikir untuk tidur bersama mereka kalau nanti tidak ada jalan lain, karena rumah Ahmad sudah tidak mungkin untuk aku tempati tidur malam ini. Aku pun menjelaskan keadaanku saat ini, kalau beberapa hari lagi akan berangkat ke Jakarta. Mereka menawarkan padaku untuk ikut bersama mereka saja, karena mereka juga akan kembali ke Jakarta dalam waktu dekat, aku ucapkan insya Allah, tapi belum bisa memberikan kepastian. Setelah cukup  lama mengobrol, aku mohon pamit khawatir ibu Ahmad menungguku. Sampai di rumah, ibu Ahmad langsung berkata padaku, “Mujahid, kamu pasti kelelahan habis menempuh perjalanan jauh, istirahatlah! Besok baru kita ngobrol dan bercerita lagi. Maaf karena beginilah keadaan rumah kami, jadi kamu tidur di rumah samping aja, rumah itu milik adik saya, baru kemarin balik ke kampung karena ada urusan.” Jelasnya padaku di tengah malam itu. Aku pun bergegas menuju rumah itu, dan beberapa menit kemudian, mataku sudah terpejam hanyut dalam mimpi-mimpi indah. Menikmati indahnya malam pertama di kota Makassar.

***

Sementara jauh di lereng gunung sana, di sebuah rumah gubuk yang terletak di tengah sawah ladang dan jauh dari keramaian, sebuah gubuk yang belum terjangkau oleh lampu listrik PLN, di keheningan malam, di sepertiga malam, seorang ibu terbangun dari tidur lelapnya, sebuah kebiasaan yang sudah puluhan tahun di lakoninya. Malam yang mencekam, rasa kantuk yang terus menghantui, dinginnya air yang bagai batu es tidak menjadi penghambat baginya untuk bangun. Bangun untuk shalat malam, shalat tahajjud, shalat sebagai pelipur lara baginya, shalat sebagai pintu rezeki dan kemudahan, shalat sebagai penguat jiwa, shalat sebagai pengokoh qalbu dan senjata orang beriman. Sebagaimana dalam ayat-ayat Allah yang sering kali di baca dan dilantungkannya; “dan pada sebagian malam, bangunlah lakukan shalat tahajjud sebagai amal ibadah tambahan bagimu, mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji” (Al-Isra’: 79)

“sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa berada dalam taman-taman surga dan mata air yang mengalir di sekitarnya, mereka mengambil apa yang di berikan Tuhan kepada mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu adalah orang-orang yang berbuat baik,mereka sedikit sekali tidur di waktu malam, dan pada akhir malam memohon ampun kepada Allah (QS: Adzzariyat: 15-18)

“wahai orang yang berselimut, bangunlah untuk shalat pada malam hari kecuali sebagian kecil, yaitu separuhnya atau kurang sedikit dari itu, atau lebih dari seperdua itu dan bacalah Al-Qur’an itu dengan perlahan-lahan, sesungguhnya kami akan menurunkan kepadamu perkataaan yang berat, sungguh malam itu lebih kuat mengisi jiwa dan bacaan waktu itu bacaan lebih berkesan” (QS.Al-Muddatsir: 1-6)

“ dan pada sebagian malam, bersujudlah kepada-Nya dan bertasbihlah kepada-Nya pada bagian yang panjang di malam hari” (QS. Al-Insan: 26). Ibu yang sudah menjelang usia lanjut itu mengucek-ngucek matanya, ia teringat putranya yang baru beberapa hari meninggalkannya, putranya yang akan pergi jauh menyeberangi lautan nan terbentang luas, mendatangi kota metropolitan yang belum di mengertinya, tidak ada keluarga di seberang sana. Sang ibu mulai khawatir dengan keselamatan buah hatinya. Tapi ibu yang sudah banyak mendapatkan keajaiban dan rahasia Ilahi itu segera menepis pikirannya yang tidak-tidak, ia sudah memasrahkan semua urusannya kepada Yang Maha Kuasa. Sang ibu pun segera bergegas ke kamar mandi, mengambil air wudhu, ia begitu meresapi setiap tetes air yang mengalir dari anggota badannya, ia membayangkan dosa-dosanya luntur dan berguguran bersama tetesan air, sebagaimana yang di sabdakan Rasulullah SAW. Usai berwudhu ia kembali ke kamar mengambil mukenah, mukenah yang sudah lusuh dan sudah mulai kehitam-hitaman karena umurnya yang sudah berpuluhan tahun pula, kemudian ibu itu menghamparkan sajadah yang di sudut-sudutnya sudah terdapat sobekan dan compang-camping, semua itu menjadi saksi bisu ibadah malamnya. Dengan segala kerendahan hati sembari menghinakan diri, ia mengangkat kedua tangannya, takbiratul ihram, sebagai bentuk kepasrahan dan ketidak berdayaannya di hadapan Yang Maha Esa dan Maha Kuasa. Dari mulutnya yang di gerakkan oleh bibir dan di komandoi oleh lisan, keluar lantunan ayat-ayat suci Al-Qur’an, ia baca dengan penuh penghayatan, ia betul-betul menikmati dan meresapi setiap potongan ayat, ia hanyut dalam percintaan dengan Tuhan-Nya di penghujung malam itu. Di akhir shalatnya, saat menjelang azan shubuh berkumandang, ibu yang sudah di tinggal oleh semua anak-anaknya untuk menuntut ilmu agama itu berdo’a, memohon dan mengadu kepada Tuhannya;

“ya tuhan kami sesungguhnya kami telah menzhalimi diri kami sendiri, dan jikalau sekiranya Engkau tidak mengampuni kami, maka sesungguhnya kami termasuk orang-orang yang merugi. Ya Allah ya Tuhan kami pada lahiriyahnya memang kami miskin harta, tapi kami merasa kaya jiwa dan kaya hati, kami memang hidup di daerah terpencil dan jauh dari keramaian, tapi sungguh kami menikmati hidup ini, hidup di bawah naungan cinta-Mu, nikmat dalam beribadah. Yaa Hayyu Yaa Qayuum, dengan rahmat-Mu aku memohon kepada-Mu, berilah keselamatan kepada anakku dalam perjalanannya hingga sampai tujuan, mudahkanlah urusannya, jagalah dirinya dari marabahaya yang mengintainya, jauhkan ia dari segala fitnah, Yaa Razzaqu Yaa Kariim, cukupkanlah bekal dan rezkinya, tutupi kebutuhannya, berkahi usia dan ilmunya, Yaa Waduudu Yaa Waduud, Yaa Rahmanu Yaaa Rahiim, limpahkanlah segala rahmat, cinta dan kasih sayang-Mu kepadanya, Yaa Aziiz, Ya ‘Aliy Yaa Fattahu Ya ‘Aliim jadikanlah anak-anakku anak yang shaleh dan shalehah ,yang  taat kepada-Mu dan patuh kepada orang tuanya, jadikanlah mereka ahli Al-Qur’an yang menghafal ayat-ayat-Mu, memahami isi, maksud dan tujuannya, dan  mengamalkan apa yang di kandungnya serta mengajarkan dan mendakwahkannya kepada ummat manusia. Ya Tuhan kami berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa api neraka. Subhana rabbika rabbil izzati ‘ammaa yashifuun wa salaamun ‘alal mursalin wal hamdu lillahi rabbil alamin”.

Ibu itu kemudian merasa lebih lega, lebih tenang, lebih tentram dan lebih rileks usai mengadukan semua curahan hatinya kepada Allah Azza Wajalla. Dan akhirnya azan shubuh pun berkumandang membangunkan hamba-hamba-Nya yang masih terlelap. Mentari pun mulai mengintip dari ufuk timur.

***

Tak terasa, tidurku  setengah malam itu bagai sejam saja, mungkin karena kelelahan sehingga tidur begitu pulas. Pagi hari itu aku kembali kerumah tante Fatimah, usai sarapan beliau mohon izin karena harus bekerja, begitu pun ayah Ahmad, aku di amanahi untuk jaga rumah. Sebelum mereka berangkat, kuberanikan diri untuk bertanya, walau ini sangat berat.

“tante dan bapak kerja di mana? Mungkin Mujahid bisa ikut bantu” tanyaku polos.

“ohhh….tidak usah nak, tidak usah, kamu istirahat saja dulu, lagi pula kamu akan berangkat jauh, perlu stamina dan badan sehat” jawab tante Fatimah merendah, beliau kemudian melanjutkan bicaranya.

“kalau tante bekerja di rumah-rumah sekitar sini, menjadi tukang cuci keliling, kalau ada yang panggil, tante datang, sementara bapak menarik becak” jelas tante Fatimah. Jawaban tante tadi membuat leherku seperti di cekat, mukaku merah pasi, aku terdiam bagai patung. Untung saja tante Fatimah segera mengangkat suara, “maaf ya nak kami pamit dulu karena buru-buru, khawatir sudah di tungguin sama tuan rumah, insya Allah sekitar jam sepuluh tante sudah pulang”.

“iya tante jawabku singkat” “ya Allah…. Tak pernah kubayangkan dan terbesit dalam pikiranku sama sekali, kalau ternyata  tante yang berhati malaikat itu adalah seorang buruh cuci di rumah-rumah sekitar beliau tinggal, begitu pun ayah Ahmad yang tukang becak. Selama ini dalam benakku mereka adalah pegawai kantoran yang mempunyai gaji tetap dan lebih dari cukup. Begitu mulia hatimu tante, begitu dermawan sikapmu. Semoga saja hidupmu berkah”. Gumamku dalam hati sambil mendo’akan beliau. Pekerjaan yang di tekuninya mungkin rendah dan hina di mata manusia, jadi tukang cuci dan tukang becak, bila di bandingkan dengan pegawai negeri, pedagang, pengusaha, institusi pemerintahan yang gajinya melimpah ruah, tentu jauh berbeda dan lebih bergengsi. Tapi pernahkah kita merenungkan bagaimana pekerjaan kita itu di mata Allah? Boleh jadi, buruh, tukang cuci dan tukang becak itu jauh lebih mulia dan lebih halal hasil keringatnya, ketimbang mereka karena keikhlasan, ketulusan, qona’ah, dan sifat kedermawanannya. Hasil keringat yang di perolehnya selalu di sisihkan untuk besedakah dan berinfak. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pekerjaan dan jabatan yang tinggi itu kadang lebih besar resiko, cobaan dan ujiannya, yang tidak sedikit sudah menjadi korbannya. Korupsi. mayoritasnya bukan di lakukan oleh orang-orang bawahan, bukan orang awam, bukan masyarakat kecil. Bukan, melainkan orang-orang yang berada di kursi parlemen, di kursi pemerintahan. Hasil sedekah dan infak mereka pun masih di pertanyakan banyak orang, begitu pun uang yang di pakai untuk umroh dan naik haji bolak balik dengan dalih memohon ampun di depan ka’abah, di multazam atau di hijr Ismail. Uang ini dari mana? Halal atau tidak? Dan orang-orang seperti ini pun sangat langka kita dapatkan mau berbagi dan peduli sama orang-orang bawahan, orang-orang kecil, fakir miskin, anak jalanan. Dan ini sudah berkali-kali menjadi bukti dan terjadi pada diriku bahkan depan mata kepalaku sendiri.

Saat aku berbaring di atas bangku panjang depan rumah sambil merenungkan banyak hal menjelang siang hari itu. Tante datang dengan mengucapkan salam yang mengagetkanku. Aku bangun dan duduk di atas bangku panjang tadi, beliau pun duduk di dekatku, kami mengobrol ringan sambil menunggu waktu shalat zuhur tiba. Masih nampak rasa lelah pada diri beliau, bekas-bekas kerja juga masih terlihat pada pakaian beliau, pada tangan beliau. setiap kupandangi dirinya dan keadaannya, aku selalu ingin meneteskan air mata, rasa sedih, haru, salut, bangga, bahagia, becampur menjadi satu. Bila ku ingat beberapa waktu lalu, Sungguh  begitu jauh berbeda saat beliau dulu datang ke pesantren menjenguk Ahmad dan diriku, tidak ada dalam bayanganku, pikiranku sedikit pun kalau keadaan beliau seperti ini.

Usai shalat zuhur, kami makan bersama, ayah Ahmad juga sudah kembali dari menarik becak. Tapi ternyata itu belum akhir dari pekerjaan mereka,  karena beberapa saat setelah kami makan mereka kembali mencari nafkah. Makanan yang di hidangkan tante Fatimah siang ini sangat sederhana tapi sungguh nikmat, kami semua makan dengan lahap. Saat makan itulah aku teringat kembali istilah guruku di pesantren dulu  ketika makan bersama beliau, “pilih mana, enak makan atau makan enak?” sebuah pertanyaan yang sangat sederhana, kami yang makan bersama beliau saat itu sempat terdiam sejenak merenungkan pertanyaan bijak beliau, kemudian kami tersenyum sama-sama setelah mengerti maksud pertanyaan tersebut. Beliau kemudian menjelasakan.

“jadi di dunia ini banyak orang yang makan enak, tapi nggak enak makan, sehingga apa yang di komsumsinya pun jadi ikut tidak enak. Kamu bisa perhatikan orang-orang kota, orang-orang kaya, artis-artis, bahkan sebagian besar para pejabat saat mereka makan, yang mereka makan itu kan suatu hal yang sangat enak menurut kita, namun hasilnya mereka tidak sedikit menyisakan porsi yang sangat banyak dan akhirnya di buang, mubazzir, padahal harganya pun ratusan ribu bahkan sampai jutaan. tapi mereka kurang menikmati.” kami sempat terperanjat kaget mendengar penjelasan beliau, makanan satu porsi? ratusan ribu? Kalau untuk kami itu sudah cukup buat satu bulan di pesantren dengan lauk pauk yang sangat sederhana namun nikmatnya luar biasa.

“kalian juga bisa membandingkan kuli bangunan yang makan di warteg, petani yang makan di pinggir ladangnya, dengan makanan yang sangat sederhana, lauknya pun cuma tahu, tempe, ikan kering, harganya juga cuma ribuan, tapi mereka makan dengan lahapnya, nyaris tak ada yang tersisa. Itu karena mereka enak makan. Kata kuncinya cuma satu; BERSYUKUR, dengan rasa syukur  itulah kita bisa rela, ikhlas dan mau menerima apa adanya, rasa syukur itulah yang melahirkan rasa nikmat dan bahagia, rasa syukur itulah yang menjadikan nikmat kita semakin bertambah, rasa syukur itulah yang mampu merubah banyak hal. Beliau menyetir firman Allah “kalau kalian mensyukuri nikmatku maka akan kutambahkan, dan jika kalian mengkufurinya, maka ingatlah azabku sangat pedih” (QS. Ibrahim: 7) ” jelas kyaiku panjang lebar dengan mengutip satu ayat Al-Qur’an untuk lebih mempermantap keyakinan kami. kami semua manggut-manggut mendengar penjelasan itu, di ruang makan itulah kami mendapatkan ilmu kehidupan yang mungkin tidak di temukan dalam kelas. Dan saat ini kata kyaiku itu betul-betul terbukti.

Saat tante Fatimah dan ayah Ahmad berangkat kerja, aku kembali merogoh kantongku, kukeluarkan HP untuk menemani kesepian dalam kesendirian, kustell murottal, dari HP mungil itu keluar suara lantunan ayat-ayat suci Al-Qur’an yang di bacakan oleh imam masjidil haram, syekh Abdurrahman As-Sudais, suaranya mengalun  begitu syahdu menggetarkan hatiku. Subhanallah begitu  indah firman-Mu ya Rabb…! Sembari mendengarkan murottal, kukirim kabar ke kampung kalau aku sudah tiba di Makassar  tadi malam, yang punya nomor HP ini juga tinggalnya lumayan jauh dari rumahku, berhubung karena orang tuaku belum punya HP, jadi setiap ada keperluan selalu lewat tanteku yang punya HP itu, sekaligus aku minta nomor HP kelaurgaku yang tinggal di Makassar. Beberapa menit kemudian nomor yang kuminta itu sudah di kirim. Segera kukirim pesan singkat kepadanya.

“Assalamu ‘alaikum Wr.Wb. apa kabar om? Ini aku Mujahid, anaknya Nurmiah. Saat ini aku di Makassar, tolong kirimin alamat lengkap rumahnya”

keluargaku ini memang masih sepupuan denganku, tapi berhubung karena umurnya jauh di atasku, bahkan seumuran dengan ummiku, jadi aku lebih senang memanggilnya om. Beberapa saat kemudian balasan sms darinya pun datang.

“wa’alaikum mussalam Wr.Wb. Alhamdulillah baik. Iya udah kamu ke rumah aja, aku jg sdh lama ingin ketemu denganmu, sejak kmrn2 ummimu sering cerita tntang dirimu yg belajar di pesantren. Alamatnya tepat belakang rumah sakit Islam Fiasal”

Aku tersenyum  puas, aku bahagia bisa berkomunikasi dengan keluargaku yang sering kudengar namanya itu, tapi seumur hidup belum pernah bertemu. insyaAllah sebentar lagi aku akan melihat wajahnya.

Aku berpikir dan berencana malam ini sudah harus pergi dari rumah ini dan bermalam di rumah keluargaku yang barusan aku sms, aku merasa tidak enak tinggal lama-lama di rumah Ahmad, walau aku tahu kalau orang tuanya sangat senang aku datang, tapi melihat keadaan beliau, aku tidak sampai hati, apalagi semalam aku bermalam di rumah adiknya, nanti kalau adiknya sudah pulang, aku harus tidur di mana lagi? Akhirnya aku putuskan untuk berangkat malam ini. Ku kemasi semua barang-barangku dan siap-siap untuk pamit sama tante Fatimah kalau beliau sudah pulang kerja. Sore harinya adik tante Fatimah datang ke rumah, aku jelaskan rencanaku. Alhamdulillah beliau siap mengantar dengan kendaraannya, beliau sudah lama di Makassar, sudah dua puluh tahun, jadi sudah hafal nama-nama jalan dan tempat-tempat umum. Saat tante Fatimah dan ayah Ahmad sudah pulang ke rumah, aku pamit kepada beliau dengan menjelaskan keadaanku, kalau aku harus ke Jakarta dalam waktu dekat ini, sementara masih banyak keluargaku yang belum kutemui. Alhmdulillah Beliau mengerti. Saat akan berangkat dari rumahnya, beliau mengungkapkan beberapa untaian nasehat padaku “Mujahid…., baik-baiklah di rantau orang nak. Kalau kamu baik, maka insyaAllah orang-orang pun akan berlaku baik padamu, begitu pun sebaliknya. Jangan lupakan kami, sering-sering kasi kabar, walau kamu sudah berada jauh di seberang sana. Maaf  kalau semenjak keberadaan kamu di rumah ini banyak hal yang tidak berkenan. Inilah kami apa adanya, tidak ada yang istimewa. Ini sedikit ada uang jajan, buat kamu di perjalanan nanti. Maaf cuma sedikit” ungkap tante Fatimah sembari meyelipkan uang di kantong bajuku. Aku berusah menolak dan mengembalikannya, tapi beliau tidak mau dan terus memaksaku untuk mengambilnya dengan mengungkapkan kata-kata

“rezeki tidak boleh di tolak, ini juga tidak seberapa kok”. Walau agak berat hati, kuterima uang itu dengan mengucapkan banyak terima kasih atas segala bantuan dan kebaikannya.

“semoga Allah membalas dan memberikan yang terbaik untukmu tante” ucapku sembari memeluknya, beliau meneteskan air mata, tangannya yang agak kasar karena pekerjaan rumah tangga itu menepuk-nepuk pundakku. Aku kemudian menaiki motor yang sudah menunggu di sampingku. Ku ucapkan salam perpisahan kepada mereka dengan melambaikan tangan. Motor RX King itu pun melaju membawaku ke tempat yang baru.

***

Ternyata kawasan rumah sakit Islam Faisal itu besar dan luas, di sekelilingnya juga penuh jalan-jalan yang bercabang-cabang. Aku bingung mencari mana depan mana belakang rumah sakit. Apalagi sudah jam Sembilan malam, keadaannya sudah tidak jelas, remang-remang, orang-orang tempat bertanya juga sudah kembali dan masuk ke rumah masing-masing. Aku yang dari kampung malah tambah pusing dengan suasana yang seperti ini. Aku turun sejenak dari motor, adik tante Fatimah menyarankan padaku  untuk menelfon om Tahir, pemilik rumah yang akan kami tuju, tapi sayang nomornya tidak aktif, ku ulangi berkali-kali tapi tetap dengan jawaban yang sama dari operator “nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan” aku mulai kesal, kucoba menghubungi nomor keluargaku yang lain, tapi jawaban yang kuterima sama saja. Tidak aktif. Aku tidak habis pikir, kenapa saat mendesak seperti ini semua nomor yang aku butuhkan tidak aktif, padahal tadi sebelum berangkat, aku sudah mengabari.

Karena sudah lama menunggu di situ dan tidak ada kepastian, akhirnya aku dan adik tante Fatimah melanjutkan pencarian, kami mutar-mutar keliling komplek, tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara orang banyak sedang mengobrol di bagian depan jalan. Kami pun merapat ke sumber suara. Sampai di tempat itu aku turun dan bertanya lagi, tapi ternyata nama Tahir yang aku maksud mereka tidak kenal. Kembali kami melanjutkan pencarian, setelah beberapa ratus meter, kami kembali mendapatkan sekumpulan orang sedang main domino. Aku dekati mereka dan bertanya lagi.

“permisi pak, maaf mengganggu. Mau nanya, rumah pak Tahir dimana ya?” tanyaku dengan perasaan was-was, khawatir mereka sekumpulan preman yang sedang mencari mangsa. Mereka malah balik bertanya,

“Tahir yang badannya agak pendek-pendek itu ya?” aku bingung harus jawab apa, aku kan belum pernah bertemu, jadi tidak tahu bagaimana ciri-cirinya. Waduh…ku tepuk jidatku, melihat sikapku yang kebingungan, orang tadi bertanya lagi,

“Tahir yang istrinya namanya Maryam?” Lagi-lagi aku tambah bingung. Tahir saja aku belum tahu apalagi istrinya. Ingin rasanya aku menertawakan diriku, tapi ini dalam keadaan mendesak. Khawatir malah di kirain tidak waras sama orang di depanku. orang itu kembali berkomentar,

“di dekat sini ada yang namanya Tahir tapi dia berasal dari Sinjai, sopir mobil” haa… sungguh jawaban yang pas, gumamku dalam hati. Ini sebenarnya jawaban yang kutunggu, tapi aku tidak sampai kesana bertanya dan berpikirnya. Segera kurespon,

“rumahnya dimana pak?” tanyaku cepat

“di ujung lorong ini, rumah yang dinding dan pagarnya pakai seng” jawab bapak itu sambil menujuk jauh ke depan.

“terima kasih banyak pak” ucapku sembari berlalu pamit. Kami pun menuju ke rumah yang di tunjukkan bapak yang kutanyai tadi. Sesampai di depan rumah, kami melihat rumah dalam keadaan gelap, teras dan jalan di depan rumah pun gelap, rumah tetangganya pun gelap. Kucoba kembali menghubungi nomor HPnya, ternyata belum aktif. Ku ucapkan salam berulang-ulang, tapi tidak ada jawaban. Ku coba memanggil adik sepupuku yang konon sudah tiga minggu tinggal di situ karena kerja di Makassar. Adik sepupuku yang bernama Ani itu adalah teman bermain masa kecilku dahulu saat datang kerumahnya di kampung sebelah. Dengan nada agak keras ku panggil nama Ani, belum ada jawaban, ku ulangi sekali lagi dengan nada yang agak lebih keras lagi

“Aniii…!” tiba-tiba dari dalam ada suara orang berjalan menuju pintu, tapi masalahnya bukan dari rumah om Tahir “berabeh” gumamku. Kalau dia marah karena aku teriak malam-malam begini dan merasa terganggu, aku harus tanggung resiko. dari pada malam ini terkatung-katung dalam ketidak jelasan?

“dengan siapa? Ada apa? Cari siapa?” tanyanya bertubi-tubi, aku seperti di hujani pertanyaan.

“aku Mujahid  bu, keluarganya bapak Tahir. Beliau ada nggak ya?” ibu itu segera menyalakan lampu kemudian berteriak kearah rumah om Tahir memanggil Ani. Beberapa menit kemudian, suara orang membuka pintu kedengaran. Lampu teras di nyalakan, terlihat lelaki yang agak pendek seperti yang di katakan orang yang kutanyai tadi.

“oh kamu toh Mujahid, kirain siapa yang panggil-panggil si Ani, soalnya akhir-akhir ini banyak cowok nakal yang sering mengajaknya kencan, jadi aku tidak pedulikan. Eh malah kamu yang jadi korban. Maaf ya, HPku juga lowbet, seharian sibuk di luar. Soalnya tantemu baru saja tadi shubuh meninggal dunia dan baru di kebumikan tadi sore di kampung” jelasnya panjang lebar.

“innaa lillahi wa innaa ilaihi raji’un” ucapku lirih. Tante yang seumur hidupku belum pernah kutemui dan hari ini aku tiba di tempatnya untuk silaturrahim, untuk melihat wajahnya yang selama ini namanya sering kudengar, Sitti Hajar, sebuah nama yang sangat populer di kampung dan di daerah tetangga. Beliau adalah guru ngaji besar yang melahirkan banyak murid-murid berkualitas dan saat ini dari sebagian murid-muridnya itu sudah menjadi guru ngaji juga, termasuk ummiku.

“ya Allah Engkau telah mengambilnya, sebelum aku berjumpa dengannya, berilah aku dan keluargaku kesabaran dalam menghadapi musibah ini, dan semoga amal ibadah beliau Engkau terima di sisi-Mu serta Engkau ampuni dosa-dosanya. amiiin”.

Om tahir kemudian mempersilahkan masuk, kami pun duduk bersama di ruang tamu, Ani yang dari tadi kucari-cari, akhirnya nongol juga, dia keluar dengan membawa minuman sambil tersenyum tersipu-sipu, kini ia sudah tumbuh jadi anak gadis yang cantik, sungguh jauh berbeda dengan yang ku kenal dahulu di kampung. Ia langsung duduk di depanku, sambil menatapku  lekat-lekat. Mungkin ia masih ragu dan belum percaya kalau yang di depannya itu adalah kakak sepupunya, teman bermainnya tiga belas tahun silam di lereng gunung sana. Beberapa saat kemudian, setelah merasa yakin dengan yang di lihatnya, ia angkat suara dengan menepuk pundakku

“eh kak Mujahid toh, kirain siapa. Sudah berapa tahun kita tidak jumpa kak?” tidak ada perubahan dari gaya bicaranya, walau ia sudah tinggal di kota, tutur kata dan gerak-geriknya semakin mengingatkanku tentang masa lalu.

“yaaaa baru sadar toh? Kemana aja? Baru bangun ya?weee…” kukeluarkan lidahku dengan gaya mengejek dan ngerjain. Tanpa ba bi bu cubitannya sudah mendarat di lenganku.

“uuuhh kakak ni nggak berubah deh jailnya, suka ngerjainnya ternyata masih kayak dulu” gerutunya agak kesal sambil berdiri dan kembali ke dalam. Aku cuma bisa meringis kesakitan.

Walau masih dalam keadaan berduka, kami berusaha menghibur diri dengan bercanda dan bercerita. Aku ceritakan masa laluku di kampung, masa-masa di pesantren, kemudian saat aku tiba di Makassar sampai bertemu dengannya di rumah ini. Om Tahir kadang tertawa terpingkal-pingkal mendengar ceritaku yang unik dan lucu-lucu. Aku sampai lupa memperkenalkan adik tante Fatimah yang mengantarku kepada beliau, nanti hendak pamitan pulang baru aku menyadari. Segera ku perkenalkan siapa beliau, terus kujelaskan kalau dia juga dari kampung, terus masih ada hubungan keluarga dengan kita. Ku persilahkan beliau ngobrol. setelah berbicara panjang lebar akhirnya mereka bertemu pada satu titik yang tak di sangka-sangka.

“ohh jadi kamu si Husain adik ipar Muhadir itu? Pak Muhadir kan pamanku. dulu kamu yang sering bawa mobil angkot itu kan? Aku ingat, masya Allah ternyata dunia ini betul-betul tidak selebar daun kelor ya? padahal kita sama-sama sudah bertahun-tahun tinggal di Makassar” komentar om Tahir dengan mata berbinar-binar sambil menepuk-nepukkan tangannya ke udara. Aku juga terperanjat mendengar keanehan ini. Aku merasa senang sekali bisa menyambungkan Kembali silaturrahim mereka yang sudah berpuluh tahun sempat terputus.

Setelah om Husain pulang kerumahnya, malam itu juga om Tahir mengajakku untuk ikut ta’ziyah kerumah  om  Ihsan, om Ihsan adalah anak tante siti hajar yang baru saja berpulang ke rahmatullah, tapi karena usianya yang juga seumuran dengan ummiku, maka aku lebih senang memanggilnya om seperti halnya om Tahir. Dengan mengendarai sepeda motor seperempat jam kami sudah tiba di rumah duka, Nampak tamu-tamu peta’ziyah sudah berdatangan, rumah pun sudah mulai sesak. Lautan manusia yang membludak di rumah itu adalah wajah-wajah baru di mataku, aku jadi merasa terasingkan di rumah dan kerumunan keluargaku sendiri. Dari ratusan orang yang berada di rumah itu aku menangkap satu sosok yang sangat kukenal, tante Hamidah, ibu dari adik sepupuku Ani, dialah satu-satunya orang yang kukenal, karena memang sangat sering bertemu di kampung. Saat pandangan kami bertatapan, tante Mida langsung bergegas ke arahku, beliau memelukku di tengah kerumunan orang itu, beliau tidak menyangka kalau diriku akan berada di sini dalam suasana seperti ini. Orang-orang yang berada di sekeliling kami merasa heran dan memusatkan pandangan mereka kearah kami, akhirnya aku yang jadi pusat perhatian. Timbul banyak pertanyaan di hati-hati mereka.

“itu siapa sih” celetuk salah satu dari mereka penasaran. Tante Mida langsung menjawab sambil menyeka air matanya

“ini keponakanku, keponakanmu juga, ini Mujahid anaknya Nurmiah” serentak suara bersahut-sahutan, ada yang menjerit, ada yang tertawa setengah percaya, ada yang merasa kaget. Aku tiba-tiba seperti jadi artis dadakan yang di temui penggemarnya malam itu. Mereka pun memelukku secara bergantian dengan berbagai komentar. Ada yang berkata,

“masya Allah kamu sudah besar ya, ternyata waktu begitu cepat berlalu, waktu aku ke kampung dahulu, kamu masih bayi” ada pula yang berkata, “Mujahid masih mau di gendong nggak? Saat masih bayi dan kanak-kanak dulu, aku yang sering menggendongmu” yang tidak kalah serunya komentar yang satu ini, “nak masih ingat nggak waktu tante menggendongmu dengan senang hati, sembari bernyanyi-nyanyi keliling ruangan, tiba-tiba kamu kencing, terpaksa waktu itu  aku pinjam baju ummimu yang sangat kebesaran buatku” aku jadi tersipu-sipu malu dengan komentar-komentar mereka tentangku sekitar delapan belas-sembilan belas tahun silam. Aku pun angkat suara untuk menghilangkan kekakuan dan rasa maluku.

“yaa maaf tante, dulukan belum ada pampers. Tapi kalau sekarang tante masih mau gendong, yakin deh Mujahid nggak kencingin lagi. Hehehe” tawa riang pun membahana memenuhi ruangan itu. Orang-orang jadi lupa kalau ini masih dalam keadaan berduka. Tapi sekali lagi aku justru senang sekali bisa memberi hiburan kepada mereka yang mungkin lebih menghibur di bandingkan ceramah ta’ziyah pada umumnya. Bukankah tujuan dan arti ta’ziyah itu untuk menghibur orang yang di tinggl mati keluarganya?

Kami pun mengobrol ringan di ruang tengah, aku masih menjadi bahan pembicaan, aku masih di kerumuni mereka. Di tengah-tengah kerumunan itu banyak juga gadis-gadis sebayaku, tapi mereka tidak ada yang kukenal dan mereka pun tidak mengenalku. Dari sela-sela kerumanan orang itu, aku lihat banyak kamera HP yang mengarah kepadaku. Aku tertunduk, tiba-tiba dari mereka ada yang angkat suara.

“kakak cakep, minta fotonya dong” semua mata tertuju ke asal suara. Melihat suasana itu, dari tanteku ada yang langsung angkat suara,

“Mujahid kenal dia nggak?” aku menggelengkan kepalaku tanda tidak tahu.           “itu adik kamu juga, semua gadis-gadis ini sama saja dengan si Ani, mereka anak-anakku dan keponakanku” ucap tante yang sampai sekarang juga aku belum tahu namanya. Gadis-gadis itu pun kemudian memperkenalkan namanya satu persatu,

“kakak, aku Anna, nama lengkapku Nurjannah, aku yang paling imut di ruangan ini, anak bungsu dari empat orang bersaudara, kelas tiga SMP, anaknya bapak Ihsan” ucapnya lancar memperkenalkan dirinya dengan ceplos-ceplos.

“uuuuuuuhhhh…..GR banget sih” teriak yang lain, menyoraki Anna yang sangat polos itu,

“oh kalau begitu kamu masih keponakanku, karena om Ihsan masih sepupu denganku” aku kembali menimpali.

“ohh kalau begitu aku panggil om Mujahid aja gitu?” hahaha, suara tawa makin ramai membahana . Aku baru sadar, ternyata keluargaku begitu banyak di kota Makassar ini, kenapa waktu itu aku begitu bingung tentang penginapan. Ini karena kurangnya komunikasi pikirku.

Malam sudah semakin larut, tamu-tamu sudah banyak yang pulang, rumah sudah agak sepi, anak-anak kecil juga sudah pada tidur, jadi tidak ada lagi yang bikin riuh. Kami pun semua menuju tempat peristirahatan. Ini baru malam kedua aku di Makassar dan begitu banyak sudah pelajaran, keajaiban, keanehan yang kudapatkan, termasuk teka-teki kehidupan yang baru mulai terjawab. Inilah bagian dari rahasia Ilahi yang baru mulai terungkap secara perlahan-lahan. Takdir memang hanya Dia yang menentukan, keputusan akhir semua ada di tangan-Nya.

Aku merasa lega dengan nikmat silaturrahim yang membawa banyak berkah ini. Aku teringat dengan sabda nabi yang dahulu kupelajari di pesantren,

“barang siapa yang ingin di lapangkan rezekinya dan di panjangkan umurnya maka hendaklah menjalin dan menjaga tali silaturrahim”

sebelum tidur kusempatkan shalat dua rakaat dan mengulangi hafalan Al-Qur’anku walau cuma dua lembar. Malam itu, langit yang bertaburan bintang seakan ikut tersenyum padaku. Alhamdulillahillazy bini’matihi tatimmusshaliahat.

***

Pagi harinya aku melihat sosok orang yang sangat gemuk dan berwibawa. Ternyata dia itulah om Ihsan, anak satu-satunya Siti Hajar yang baru kemarin meninggal dunia. Om Ihsan adalah keponakan, teman bermain dan seperguruan ayah dan ummiku dulu di kampung dan di sekolah agama tradisional yang terletak di pelosok kabupaten Bulukumba saat mengaji kepada seorang kyai yang juga masih bagian dari keluarga. Om Ihsan adalah salah satu karyawan di UNHAS sementara istrinya bekerja di kantor pengadilan. Om Ihsan inilah ayah dari Anna yang lucu itu, pantas saja Anna sangat gemuk dan imut, Karena memang orang tuanya juga besar dan gemuk. Ini pasti keturunan pikirku.

Pagi itu juga Om Ihsan dan istrinya berangkat ke kantor sementara Anna dan  kakaknya berangkat ke sekolah, tinggallah aku dan pak Sabbari, ayah dari Om Ihsan, istrinya Sitti Hajar almarhumah. Melihat pak Sabbari, aku seperti melihat pamanku yang sedang dirawat di rumah sakit karena penyakit stroke yang menimpanya. Saat pertama kali melihat pak Sabbari aku kaget.

“kenapa pamanku yang stroke itu kok tiba-tiba berada di Makassar dalam keadaan sehat ya?”. Sangkaku. Ternyata pak Sabbari itu kakak dari paman Yunus yang sedang stroke itu, paman Yunus, sangat aku kenal dan akrab dengannya, sebab waktu kecil bahkan waktu liburan di pesantren aku sering berkunjung ke rumahnya. Aku tidak pernah tahu dan mengerti sebelumnya kalau ternyata pak Sabbari, paman Yunus dan ibunya om Tahir itu adalah saudara kandung, pantas saja mereka sangat mirip. Dan pagi itulah baru aku tahu semuanya, setelah usiaku menginjak angka dua puluh tahun. Ironis memang.

Pak Sabbari ternyata sangat lucu, walau usianya sudah lanjut dan hampir semua rambutnya sudah putih. Pak sabbari banyak bercerita tentang masa kecilnya, masa mudanya dan waktu masih tinggal di kampung. Aku sering kali di buatnya tertawa terpingkal-pingkal.

“dulu waktu ummimu mengaji sama istriku almarhumah itu, sangat nakal dan susah di atur, ummimu juga yang paling kecil waktu itu, sehingga aku sering menghiburnya dan menemaninya bermain, ummimu juga sering sekali menjadi korban teman-temannya yang sudah besar-besar” kenang pak Sabbari. Beliau kemudian melanjutkan ceritanya.

“dulu juga waktu kecil aku punya tekad yang sangat kuat untuk belajar dan menuntut ilmu, tapi saat hendak berangkat sekolah dengan membawa papan serta arang sebagai buku dan pena yang berlaku masa itu, aku di cegat oleh Kepada Desa di tengah jalan dan berkata kepadaku ‘Sabbari, kalau kamu sekolah dan meninggalkan orang tuamu, nanti kamu dan keluargamu makan apa? Kamu pulang ke rumah dan membantu orang tuamu saja, cukup adikmu saja yang sekolah’ akhirnya dengan rasa kecewa dan perasaan hancur luluh aku pulang ke rumah kemudian menuju ladang membajak sawah, itulah makanya saya sangat berbeda dengan adikku Yunus yang terangkat jadi Imam Desa, karena dulu ia sempat sekolah, sementara aku hanya bekerja di ladang. karenanya sekarang kamu harus bersyukur yang banyak, karena tidak ada yang menghalangi untuk belajar, bahkan semuanya memberikan dukungan kepadamu, belajarlah yang baik dan sungguh-sungguh biar kamu kelak tidak seperti saya, dan semoga ilmu yang kamu peroleh itu bisa menerangi kami juga yang di kampung dan tidak sempat mengenyam pendidikan”. Cerita pak Sabbari yang panjang lebar pagi itu sangat bermanfaat bagiku, banyak nilai-nilai dan hikmah yang dapat kupetik darinya. Beliau memang tidak sempat mengenyam pendidikan di sekolah formal, tapi belajar dan mengaji kepada kyai dan guru-guru besar di luar sekolah formal itu banyak beliau tekuni, sehingga pemahaman agamanya juga cukup luas, ibadah-ibadahnya juga sangat disiplin, sehingga kata-katanya sangat menyentuh dan bijaksana.

***

“Om bisa antar aku ke pelabuhan  tidak? soalnya aku belum mengerti situasi sama sekali” mintaku pada om Tahir setelah dua hari kedatanganku di rumahnya.          “tiket kamu memang jam berapa dan tanggal berapa?” beliau balik bertanya padaku. Aku terperanjat kaget mendengar pertanyaannya .

“ lho,Memang tidak bisa langsung kesana saja om, nanti di bayar di kapal atau nanti kalau sudah sampai di Jakarta” aku kembali menimpali.

“ya tidak bisalah, kita harus beli tiket dulu, nanti di tiket itu baru kita lihat jam dan tanggal pemberangkatannya” jelas om Tahir.

“oooohhh begitu ya om” jawabku sambil manggut-manggut.

“aku kirain sama saja kalau naik angkot om” lanjutku kembali.

“Ya sudah, nanti sore kita ke loket penjualan tiket, sekarang kamu istirahat saja dulu”.

Sore harinya kami pun berangkat ke loket penjualan tiket, aku lihat jadwal pemberangkatan dan tujuan kapal di papan pengumuman. Setelah memastikan nama kapal dan tujuannya kami menuju kasir.

“bu kapal ciremai tujuan tanjung priok” ucapku pada ibu penjaga kasir,

“475.000 rupiah, tapi nanti mampir di Surabaya dulu menurunkan barang dan penumpang” jelas ibu itu sambil menyodorkan tiketnya padaku. Aku langsung melihat jam dan tanggal pemberangkatan, kamis, 28 Agustus 2008, pukul 17.00 WITA. Berarti aku masih ada waktu tiga hari lagi di Makassar ini, masih ada waktu untuk jalan-jalan. Tiga hari itu kusempatkan mengunjungi beberapa rumah keluarga, juga keliling kota. Om Tahir membawaku ke tempat-tempat bersejarah dan di anggap penting, seperti yang namanya sering kudengar. Ada Pantai Losari, masjid Al-Markaz Al-Islami, masjid Raya, mall ratu indah, kampus UNHAS, termasuk juga membesuk keluarga yang sedang di rawat di rumah sakit Islam Faisal jl. A. pettarani. Dari situ aku sedikit sudah mulai tahu tentang Makassar. bersambung...



Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun