Mohon tunggu...
Maria Nofaola
Maria Nofaola Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog Klinis

Sapaannya Kak Ola, seorang Psikolog Klinis, guru yoga, pelaku bisnis, dan pecinta seni yang suka menuturkan segala hal yang disukainya ke dalam tulisan. Tulisan-tulisannya dapat dibaca di blog http://www.MariaNofaola.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Gadis Pengembala dan Lentera Kecilnya

3 Maret 2016   00:13 Diperbarui: 3 Maret 2016   00:57 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sumber: Gadis Pengembala dan Lentera Kecilnya"][/caption]Seorang gadis kecil pengembala duduk diam di pojokan kandang. Air matanya menetes. Kedua tangannya memeluk perutnya erat. Perlahan dia bangkit berdiri, melangkah ringkih, berjalan menuju rumah besar di seberang selokan. Dia mengumpulkan keberanian dari berbagai penjuru menuju kesana, ke rumah tuannya.

"Tak ada uang untuk membeli makanan. Tak ada makanan lagi yang bisa kuberikan untukmu. Kau tahan dan bersabar saja lah", jawab si tuan pemilik 1000 ternak. Lalu sang tuan pergi meninggalkannya.

Gadis kecil pengembala pun terdiam bersama laparnya. Berharap Tuhan menjatuhkan roti untuk mengganjal perut kempesnya dan beberapa butir pemanis untuk menguatkan tubuhnya. Hingga suatu waktu, dia melihat tuannya berkemas-kemas mengangkut barang-barangnya ke atas kereta kuda. Sang tuan tertawa-tawa, bernyanyi-nyanyi. Sesekali tampak melompat-lompat kecil dan menghentak-hentakkan kaki ke tanah seperti sedang menari Zapateado. Si gadis gembala pun lalu mendekat.

"Aku jalan-jalan dulu. Aku hendak bersuka cita menikmati hasil kerja kerasku. Kau tunggu ternak-ternakku. Ingat beri mereka makan sampai gemuk. Makanan ternak sudah kusiapkan di lumbung".

Dia kembali ke pojokan kandang. Duduk diam bersama lentera kecil yang menerangi dan menghangatkannya.

***
Kawan,
Dalam kehidupan sehari-hari, hal ini (mungkin) pernah kita alami. Baik itu dalam keluarga maupun dalam dunia kerja. Ketika kamu meminta sesuatu pada orang tua atau pimpinan, apa yang kamu minta tidak dikabulkan. Meskipun permintaan itu penting dan kamu butuhkan untuk kelancaran aktivitas atau pekerjaanmu. Alasannya, karena tak ada uang, bukan hal yang diprioritaskan, tidak dianggarkan, tidak ada ini, dan tidak ada itu. Kamu pun dengan terpaksa menahan kebutuhan itu. Kamu membuatnya seolah-olah tidak membutuhkannya lagi. Hingga suatu ketika, kamu melihat mereka mengeluarkan biaya yang besar untuk kepentingan lain.

Ya, aku tahu perasaanmu, Kawan. Aku sungguh tahu. Kamu berjuang untuk hal-hal yang kamu perjuangkan. Kamu sendirian. Tak ada yang menawarkan diri untuk menemani perjuanganmu. Apalagi menemani, bertepuk tangan dan memberi dukungan dari jarak jauh saja tak bisa. 

Sebagai anak kamu pasti merasakan ketidakadilan itu. Kamu merasa dibuang. 

Tapi, percayakah kamu, Kawan? Jika kamu mampu melalui semua ini dengan prestasi, kamu lolos uji. Perjuanganmu akan membuat mentalmu seperti baja. Jiwamu akan matang seperti buah mangga yang ranum di pohonnya, siap dipetik, dan dinikmati oleh pelanggan di meja-meja restoran terkemuka. Kamu dewasa. Kamu bijaksana. Kamu mampu memberi bekal dan pesan-pesan meneguhkan untuk orang lain yang mengalami hal serupa. Pengalamanmu mencerahkan hidupmu. Enlightenment. 

 

***
Untuk seorang kawan yang terluka hatinya karena ketidakadilan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun