[caption id="attachment_73866" align="alignright" width="155" caption="novel inpiratif (http://neonsign.wordpress.com/)"] [/caption] Lezat nian rasanya buku yang satu ini, kawan. Ada getar-getar yang berbeda dalam setiap paragrafnya. Ada sambungan cerita yang tak terduga dalam setiap babnya. Banyak kekonyolan yang tertata rapi dan berderet-deret dalam kisah Ikal, sarjana lulusan Prancis yang terombang-ambing dalam cintanya kepada A Ling, cewek Tionghoa pemilik kuku keramat, terseok-seok menjadi pengangguran, yang akhirnya terdampar di warung kopi milik Kamhar, pamannya sendiri. Seperti sedang berada di warung kopi, begitulah aku dibuatnya. Padahal kini aku berada di depan Benteng Qaitbay; pusaka peninggalan para perwira yang di bangun dekat Pantai Iskandariah atau Alexandria. Benteng yang dibangun oleh Sultan Qaitbay Al Zahiry (1468 – 1496 M)  ini dianggap sebagai benteng pertahanan yang penting, tidak hanya di Mesir tetapi juga di sepanjang pantai di Laut tengah. Bersamaku ada Syarif, Yudi, Fajar, Akhri, Jalil dan Anas. Perjalanan ini terasa sangat menyenangkan, melengkapi kebahagiaan Idul Adha kali ini. Sejak tiba di kota yang dibangun oleh Alexander The Great itu, kami langsung mengambil posisi untuk berfose macam model sampul majalah tiruan yang banyak dipampang di FB itu. Dalam perjalanan dari benteng Qaitbay menuju puing reruntuhan peninggalan kerajaan Romawi, Ikal memperkenalkan aku dengan perempuan pendulang pertama dalam sejarah penambangan timah. Enong namanya. Usianya tidak lebih dari 14 tahun. Padahal, tahukah engkau, kawan, pekerjaan mendulang timah amatlah kasar. Berlipat-lipat lebih kasar dari memarut kelapa, menyiangi kepiting, kerja di pabrik es, atau sekedar menjaga toko. Pendulang timah dipanggil kuli mentah, artinya kuli yang paling kuli. Jabatan dibawah mereka hanya kuda beban dan sapi pembajak. Dalam kubangan air setinggi pinggang dan langsung ditikam tajamnya sinar matahari, disitulah Enong berkantor. Posisi kantornya sangat jauh berbeda dengan warna laut Alexandria yang begitu biru menawan dan hanya bisa disaingi oleh pesona warna langit yang membentang.
akhri, fadjar,
muma, syarief, yudi, dan jalil tepi pantai, dekat benteng Qaitbay (dok.pribadi)Apalagi dibandingan dengan peninggalan Romawi itu. Sungguh sangat jauh berbeda. Di sini tidak ada air. Apalagi timah. Lebih-lebih pendulang. Apatah lagi yang perempuan. Di sini yang tampak adalah sisa peradaban masa silam. Ada ruang belajar yang tak ada atapnya, yang mungkin sudah dihantam topan saat zaman dahulu kala. Tempat belajarnya bersusun-susun seperti bangku di Stadion Olimpico punya AS Roma. Aku tidak habis pikir bagaimana seorang guru mengajar sekian banyak murid di tempat luas seperti itu, saat Mic pengeras suara belum ditemukan. Suaranya pasti akan dibawah angin, terbang ke awang-awang, ikut membantu proses tidur setiap murid dengan lebih cepat. Tapi ternyata di situ ada sebuah lempengan batu yang aneh. Saat berdiri di atas lempengan itu, suara akan menggema seperti berada di sebuah auditorium. Padahal lempengan batu itu ada di ruang terbuka, dekat kursi yang bersusun-susun. Aku menduga, gurunya mungkin berdiri di situ, tak boleh bergerak-gerak selama beberapa waktu, agar suaranya tidak dibawa angin, seperti atap dan dinding tempat belajar itu yang sudah tidak ada lagi. Atau memang didesain tanpa atap dan dinding sama sekali. Dalam bisu, tiang-tiang berdebu yang ada disitu telah menceritakan sebuah kisah perjalanan umat manusia yang amat panjang. [caption id="attachment_73875" align="aligncenter" width="560" caption="masrah rumani (
http://ar.wikipedia.org)"]
[/caption] Di kantor yang tergenang itu, yang amat jauh berbeda dengan peninggalah Romawi itulah, Enong bekerja demi Ibu dan adik-adiknya, terus menambah guratan urat, laksana ular hijau itu, ditangannya. Wanita itu seakan karang. Ia tak dapat disurutkan oleh bimbang, tak dapat dinisbikan oleh gamang. Ia terus belajar dan menantang segala ketidakmungkinan. "Beri aku pelajaran yang paling sulit sekalipun, Boi. Aku akan belajar" katanya. Paling tidak ada tiga kata sakti yang mewakili jeritan hatinya; sacrifice, honesty, dan freedom. Pengorbanan, kejujuran, dan kemerdekaan. Ia siap berkorban untuk keluarganya, ia ingin menjadi orang yang jujur, dan ia ingin memerdekakan dirinya dari kesedihan. Maka Enong, alias Maryamah Karpov itu, selain menjadi perempuar lemper--lembut dan perkasa--pendulang timah, ia juga menjadi jago Bahasa Inggris satu kampung dan grand master catur tingkat kecamatan. Dibawa pula aku dengan sepedanya berkunjung ke Manggar atau ke Tanjong Pandang mengikuti kreatifitas--atau bisa disebut juga dengan aneka kegilaan, seperti naik sepeda ke rumah A Ling hanya untuk menanyakan apakah dia mendengarkan kiriman lagu dari radio, lalu langsung pulang lagi--yang kerap ia lakukan. Memang cinta itu berbanding lurus dengan gila, seperti juga banyak kegilaan yang terjadi di dunia ini berawal dari cinta. Menjelang sore, kami bertolak ke Pantai Muntazah. Di sinilah akhir yang indah itu. Taman ini mengumpulkan keindahan taman yang hijau, bunga-bunga bermekaran,
wisata pantai, dan selancar air. Di sini juga letak Istana Raja Faruq yang memerintah Mesir sebelum menjadi republik. Di sini tampak muda-muda yang entah sedang pacaran, pasangan yang sedang bulan madu, sedang menikmati ulang tahun pernikahannya yang ke sekian atau sekedar piknik keluarga, aku tidak tau. Yang jelas tempat ini sangat-sangat ramai dan menjadi pilihan yang tidak mengecewakan. [caption id="attachment_73872" align="alignleft" width="300" caption="muma (dok.pribadi)"]
[/caption] Oya, melihat orang berpasang-pasangan itu, aku teringat Ikal. Sudah sejak lama yang ia bercerita soal perasaannya kepada A Ling. Kalau Ikal minta pendapatku soal pernikahannya dengan A Ling, aku sependapat dengan ayahnya, tentang keputusannya terkait masa depan anaknya yang muslim itu. Bagaimanapun juga ia adalah seorang muslim dan mempunyai anak yang muslim. Sementara A Ling adalah penganut Konghucu sejati. Tak ada pengajaran dari Rasulullah bolehnya Nikah beda Agama. Itu terlarang, dan kalaupun sampai menikah, maka dalam pandangan agama ia seperti tidak menikah. Segala aktifitas suami istri yang dilakukannya sama seperti ia beraktifitas dengan wanita yang tidak halal baginya.  Kasihan sekali Ikal yang harus memusuh ayahnya sendiri karena tak dapat menanggung perasaan harus kehilangan perempuan Tionghoa itu. Sedih memang, tapi itu jauh lebih baik dari pada harus menabrak aturan. Kutinggalkan Padang Bulan ketika beranjak dari Pantai Muntazah yang sangat indah itu. Aku mulai mengantuk. Rasanya inilah jalan-jalan paling indah yang aku rasakan. Aku seperti hidup di dua alam yang tidak sama, atau tepatnya di dua dunia yang berbeda. Entah apa bedanya dua istilah itu, aku tidak tau. Aku ikut hadir mengantarkan matahari yang harus bekerja menyinari bagian bumi yang lain dari atas jembatan di tepian laut muntazah, sekaligus ikut bersama Ikal dan Detekfif M. Nur menanti mentari di Belitong sana. Perjalanan yang melelahkan namun mengesankan sekaligus menidurkan. Di kursi belakang mobil Avanza, kusandarkan kepalaku, setelah sebelumnya melihat foto-foto di kamera. Lalu kusimpan kamera itu dalam tas dan aku pun mengatupkan kelopak, menikmati suara-suara alam melalui indra pendengaran. Hingga akhirnya suara itu hilang sama sekali. Aku tidak ingat apa-apa. Senyap........ Hingga tiba-tiba: BRUKK..........! DUKKK...! BUZZ!!! $*(&*((&(*&^*&^*^&£"!%*((@ Mobil masuk lobang dan kepalaku beradu keras dengan loteng belakang mobil. Wadowww. Aku terbangun. Ternyata masih di atas mobil dan baru saja keluar dari kota Alexandria. Hanya sakit sedikit, selebihnya sakit sekali. Tapi tidak lama. Aku segera melupakannya. Karena beberapa detik setelah kejadian itu, aku tiba-tiba telah berada di depan rumah. Sudah tiba rupanya. Nampaknya lama juga aku tadi tertidur pulas. Ketika itu waktu menunjukkan pkl. 12.30 pm. waktu
Kairo, tanggal sembilan belas November dua ribu sepuluh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Travel Story Selengkapnya