Mohon tunggu...
Umarulfaruq Abubakar
Umarulfaruq Abubakar Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa Universitas Islam Indonesia - Yogyakarta

Saya menulis bukan karena saya pandai menulis, melainkan karena ada yang ingin saya sampaikan. Saya ingin memberi kepada bangsa ini dan berbagi dengan anak-anak negeri walau hanya dalam sebentuk tulisan. Hitung-hitung juga sebagai deposito amal untuk nanti setelah mati. Salam kenal buat semua. Kenalkan (sambil mengulurkan tangan): saya Umarulfaruq Abubakar, asal Modelomo-Boalemo-Gorontalo.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Oleh-oleh dari Negeri Dua Sungai Nil

17 November 2010   08:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:32 744
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1289981956209077123

[caption id="attachment_73371" align="aligncenter" width="574" caption="panorama jembatan khartoum (http://img15.imageshack.us)"][/caption] Alhamdulillah. Akhirnya tiba juga. Di penghujung malam tanggal 15 November 2010 kemarin pesawat Sudan Air mendarat di negeri seribu menara. Hawa dingin menerpa, begitu sejuk terasa. Terlupakanlah segala hari-hari yang selalu dirundung panas berdebu di bumi Sudan.  Saya pun bisa melewatkan lebaran Idul Adha kali ini di negeri kedua ini. Welcome to Egypt, sambut kawan sekamar saya dengan penuh senyuman. Sejak lama saya merasakan banyak hal yang berbeda antara Kairo dan Khartoum. Di Kairo  saya bisa menikmati suasana alam yang bersahabat. Ada empat musim yang silih berganti melakukan rotasi, tampil dengan kepribadian masing-masing. Dari dingin menuju semi, dari semi berganti panas, ditutup dengan musim gugur. Ada dominasi kehangatan saat panas dan gugur, ada aura kesejukan ketika dingin dan semi. Di Sudan pun sama. Empat musim itu tetap ada, tapi tetap saja ada stempel bara-nya. Di Kairo, saya bisa hidup dalam sebulan dengan biaya $50 USD atau sama dengan 278 pound Mesir. Itu sudah cukup untuk bayar rumah plus makanan dua kali sehari ditambah biaya transportasi ke kuliah dan ke tempat lainnya. Di Khartoum, untuk sekedar bertahan hidup dengan cara yang sehemat-hematnya, saya harus menyiapkan $100 USD. Dalam keadaan seperti itu, saya jadi tidak semangat keluar rumah. Disamping juga tidak banyak tempat yang bisa saya kunjungi. Di Kairo saya punya banyak pilihan aktifitas. Selain sekolah di Darul Ifta Al-Mishriyyah, saya bisa ke perpustakaan mahasiswa, ke tempat almamater, mengikuti seminar dan kajian, atau menikmati kenyamanan di rumah saja, berdua bersama buku, atau berkeliling dunia melalui internet. Di Khartoum saya pun  bisa beraktifitas. Selain kuliah yang kemarin sudah selesai, saya bisa Wisma Duta (kalau pas ada acara) bertemu Pak Dubes yang baik, ramah, dan menginspirasi. Di kedua tempat itu, saya bisa banyak dapatkan tambahan ilmu dan informasi. Saya juga pernah ke Suq Arabi (Pasar Arab yang ada di dekat Mesjid Khartoum), Bait Syami (rumah makan menu syam), Monaliza (restoran kaware terenak di Khartoum) atau ke Shabirin (rumah makan dekat Universitas Afrika). Dari atas angkutan umum saya bisa menikmati keindahan dua nil; blue nil dan white nil, yang mengalir indah di tengah kota. Kalau lagi tidak ada kegiatan, saya memilih menikmati kesejukan Mesjid Markaz sambil baca Al-Quran atau mengobrol dengan kawan-kawan yang banyak nongkrong di sana. Itulah yang sempat saya lihat di kedua negeri pemilik sungai nil tersebut. Dari Khartoum, saya jadi bisa menikmati indahnya Kairo. Saya jadi sadar, ternyata hidup saya bertabur karunia. Lalu bagaimana hidup kawan-kawan di Sudan? Pola kehidupan di sana membuat mereka bisa berkompromi dengan alam. Kawan-kawan sudah bisa memahami perubahan cuaca yang ekstrim itu. Mereka bukan tidak merasakan panas, tapi mereka sudah tau bagaimana berinteraksi dengan panas yang membara itu. Mereka bisa menikmati kebersamaan selalu. Semua saling kenal dan informasi dapat menyebar dengan cepat. Sore ada info baru, habis isya hampir semua mahasiswa indonesia sudah tau. Biasanya melalui rantai emas (silsilah dzahabiah) informasi dari mulut ke mulut. Apalagi bagi yang baru pulang KKN (kuliah kerja nyata) dari kampung-kampung yang ada di Sudan. Mereka langsung merasakan kenikmatan yang luar biasa dengan segala kondisi yang ada. Bagaimana tidak, di kampung-kampung di luar Khartoum itu terdapat pemandangan yang sangat memilukan. Rumah-rumah penduduk itu masih sangat sederhana, itu pun kalau masih bisa disebut rumah, sebagai benteng pertahanan dari terpaan cuaca panas dan dingin yang ekstrim. Persediaan air sangat terbatas. Untuk minum, mandi, buang air dan kepentingan lainnya, mereka harus berbagi dengan jumlah air yang sangat sedikit itu. Lalu bagaimana orang-orang kampung itu menikmati hidup mereka? Mereka lebih tau. Hidup yang keras itu sudah mereka jalani sejak lama. Mereka sudah tau bagaimana berinteraksi dengan alam. Pada kenyataannya, orang-orang Sudan tampak selalu gembira. Mereka senang bercanda dan menyambut baik orang-orang asing yang datang ke negerinya. Tampak aura kebahagiaan yang tak pernah padam dari wajah-wajah mereka. Apapun alasannya, saya tetap tidak bisa memungkiri hati kecil ini: bahwa hidup ini bertabur nikmat yang tiada taranya. Seandainya kebahagiaan itu ada pada harta benda dan strata sosial, maka orang miskin tidak berhak bahagia. Padahal kemiskinan bukan jaminan untuk kalah. Kekurangan tidak langsung menjadi deposito kesusahan. Sebab bahagia itu ada di hati. Bahagia itu adalah keputusan.  Bahagia adalah hasil dari pilihan untuk menikmati dan selalu mensyukuri segala karunia yang ada. Di atas langit masih ada langit. Di bawah tanah masih ada lapisan yang lebih di bawah lagi. Pesan Nabi Muhammad: "Lihatlah siapa yang lebih berada di bawahmu dan jangan lihat siapa yang ada di atasmu. Dengan demikian kamu tidak akan pernah meremehkan nikmat Allah yang diberikan kepadamu"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun