Ternyata jarak antara keempat kabupaten itu memang jauh. Sebagai orang baru di tempat ini, saya sama sekali belum mengenal medan. Paling jauh sampai ke kartasura. Safarina Hayati, istri saya, pun begitu. Tapi tetap aja kami menempuh perjalanan ini. Asal berdua, segalanya jadi indah. :-) Dari Surakarta menuju Salatiga, kami melewati Sukoharjo dan Boyolali. Sepanjang jalan yang terlihat adalah alam yang asri dan pohon yang menghijau. Jalannya lebar dengan beberapa bagian yang tampak baru diaspal. Berkelol-kelok laksana ular naga. Terdiri dari turunan dan tanjakan curam, banyak dilintasi oleh bis-bis besar solo-semarang. truk-truk gandeng berisi pasir dan kayu gelondongan ikut meramaikan jalan. jalanan yang teraspal mulus membuat setiap sopir mobil dan pengendara motor tergoda untuk melaju dengan kencang, seakan tak ingin ada mobil atau motor lain di depannya. Menjelang maghrib suasana semakin gelap. hijau pepohonan yang menghiasi sepanjang jalan kenangan tertutup oleh kelambu hitam. butir-butir air turun dengan malu-malu, membawa kabar dari awan hitam yang kian tebal. lalu tiba-tiba gyuuuuuurrr.... butiran bening itu pun tumpah ruah. kami segera menepi karena sepertinya saat ini kami tidak dapat berdamai dengan air hujan. di depan jalan ada sebuah plang tertulis: sukosari. di depannya ada warung bebek goreng. di dekat warung itulah kami memarkir motor. kami mampir dan memesan satu porsi bebek goreng untuk kami santap berdua. di atas sana guruh halilintar ikut memperindah suasana :-) hujan pun reda seiring dengan habisnya satu piring nasi yang kami santap berdua. kami pun melanjutkan perjalanan menuju salatiga. patokannya adalah ramayana. dari sana kami ke utara menuju macanan sampai bertemu dengan gardu listrik. dari gardu itu honda beat terus melaju sampai ke pertigaan bulu. di situ kami belok kiri ke arah jalan mutiara. tepat di depan mesjid al-huda kami berhenti. seusai shalat maghrib kami menuju rumah yang ada di depan mesjid itu. disitulah tempat kediaman mas habiburrahman el-shirazi, novelis peraih penghargaan sastra nusantara, penulis skenario sinetron terbaik, penulis novel mega bestseller ayat cinta dan ketika cinta bertasbih, yang biasa disapa dengan kang abik. "Kalau antum mau melakukan apa saja, lakukan dengan maksimal" itu diantara pesan yang mas habib sampaikan tadi malam. [caption id="attachment_136186" align="alignleft" width="200" caption="http://images.catatanq609.multiply.com"][/caption] Tentu saja itu hanya salah satu dari sekian pesan dan kesan yang saya dapatkan. Mas habib yang waktunya dihargai setiap menitnya ketika tampil di tv atau saat mengisi seminar-seminar internasional karena dianggap kata-katanya sangat berharga dan menjadi salah satu tokoh penting Indonesia, mas habib itu pulalah yang ngobrol dengan saya dan safarina selama tiga jam di ruang tamu, bercerita tentang berbagai topik dan tema menarik. Mulai dari soal kepenulisan, produksi perfileman, di balik layar sinetron ramadan, kisah dari pangggun mancanegara, pertemuan dengan tokoh-tokoh dunia, sampai pada pertarungan ideologi di kancah budaya dan sastra nasional dan internasional. Di lemari tampak penghargaan yang berderet-deret dan diatur dengan rapi. Tampak pula beberapa foto mas habib bersama Dr. Yusuf Al-Qardhawi, B.J. Habibe, dan Presiden SBY. Saya pun mendapatkan cerita-cerita menarik di balik foto-foto itu. Sangat menginspirasi. Orang-orang hebat itu ternyata bukan orang yang luar biasa. mereka adalah orang biasa yang bisa memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya. Pagi tadi (11/10) saya dan istri pamit pulang. Mas Habib dan Mbak muya, istri beliua, mengantar kami sampai di pintu. Honda beat merah melaju membelah subuh..kami harus segera tiba di surakarta, sebab pagi ini istri saya ada jadwal mengajar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H