Mohon tunggu...
Maria Yosephine
Maria Yosephine Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - Singer and Songwriter

Seorang yang mulai bercerita tentang dunianya

Selanjutnya

Tutup

Diary

Berduka di Media Sosial

8 November 2024   12:00 Diperbarui: 8 November 2024   13:30 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hanya saya saja atau anda juga mengalami hal yang sama? bahwa media sosial dapat membaca perilaku atau bahkan suasana hati penikmatnya. Saya pernah menonton beberapa konten mengenai hal itu, yaitu tentang rahasia aplikasi sosial media yang dapat merekam minat penggunanya. Misalnya saat mengobrol dengan teman tentang keinginan memiliki gadget contohnya, maka akan muncul iklan-iklan gadget di beranda media sosial kita. 

Walaupun belum menggali lebih dalam lagi apakah hal itu hanya rumor atau sudah valid. Tapi ada keresahan yang ingin saya bagi. Tentang menjalani proses Kedukaan dan peranan media sosial.

Ayah saya meninggal dunia pada 1 Februari 2024 pukul 16.04 sore hari. Sengaja saya tuliskan waktu kepergiannya supaya tidak lupa. Berbulan-bulan saya mencari penghiburan kemana saja. Mulai mengikuti komunitas rohani, mencoba aktivitas yang baru, bertemu orang-orang baru, membaca buku, dan hal-hal baru lainnya. Namun tetap berakhir ditempat tidur setiap malam dengan beruraian air mata. 

Saya pengguna media sosial aktif, dan sudah terbiasa melihat quotes, video pendek motivasi dan semacamnya. Dan dalam masa kedukaan, saya lebih banyak menghabiskan waktu dengan membaca renungan dari situ. Banyak renungan firman atau quotes yang memberi penguatan. Dan sedikit demi sedikit mulai pulih kekuatan saya. Dalam satu kesimpulan, sepertinya ini akan menjadi salah satu source dalam mencari ketenangan.

Bulan demi bulan berlalu, saya akhirnya mulai menjalin hubungan pendekatan dengan seseorang dan tidak berhasil. Saya mengalami patah hati yang cukup berat karena hubungan komunikasi yang buruk. Banyak menyalahkan diri sendiri, tanpa tahu pasti mengapa hubungan ini tidak berhasil. Seperti biasa saya mengharapkan diberi kekuatan oleh 'pakar-pakar cinta' di media sosial. Dan sedikit terkejut karena secara detail beberapa kreator memberi saran sesuai dengan kondisi dan permasalahan yang saya hadapi saat itu. Lalu muncul konten-konten serupa. Beberapa dari mereka memberi pandangan dan kata-kata motivasi mulai dari cara pelan dan menenangkan hingga berteriak seolah-olah harus menyadarkan kita. 

Kadang setuju namun berujung bingung dan sakit hati. Merasa sudah mendapatkan jawaban tentang kondisi yang terjadi. Padahal pada kenyataannya hubungan ini menggantung begitu saja, belum ada komunikasi yang terjalin lagi. Namun seolah isi kepala saya sudah mulai dibentuk untuk berpikir bahwa seburuk itulah kondisinya. Mulai banjir konten-konten tentang isi pikiran pria dan wanita, bagaimana ciri sikap yang tulus. Jika tidak melakukan hal ini berarti dia tidak ingin melanjutkan hubungan. Dan pandangan ini membuat sakit hati  yang cukup dalam. Saya tenggelam dalam persepsi yang media sosial berikan. Sangat membingungkan. 

Diujung kelelahan akhirnya saya menyadari satu hal. Jutaan miliaran manusia mengalami patah hati dan kedukaan. Mereka akan membuat rumus sendiri tentang apa dan bagaimana mengatasinya. Lalu membuat konten agar orang lain juga mampu mengatasi dengan cara yang sama. Namun tidak semua bisa, karena karakter tiap manusia berbeda. Kondisi setiap manusia juga berbeda. Walaupun ada persamaan kasus namun tetap tidak bisa diterapkan dengan cara yang sama.

Pengaruh yang begitu banyak bertaburan dalam bentuk konten. Menyadarkan saya untuk lebih bijak membacanya. Bahaya mendefinisikan permasalahan hanya berdasarkan sebuah konten. Saya juga tidak ingin sikap saya di artikan demikian oleh pasangan. karena begitu banyak alasan yang kompleks. Perlu penyelesaian, kejujuran, penguraian, hingga ada rekonsiliasi. Baru kebenaran dari semua kekacauan ini terjawab. Jika beruntung.

Media sosial tidak terbendung. Kembali pada diri sendiri dengan membatasi informasi apa yang masuk ke kepala kita. Sabar menunggu jawaban. Belajar rendah hati menerima, jika problema yang terjadi mungkin saja tidak akan pernah terjawab. Dan bila itu kenyataannya maka memang Tuhan menyembunyikannya untuk alasan yang baik. Bukankah tidak semua hal kita boleh tahu? mungkin karena semua hal tidak akan sanggup kita terima. Berbesar hati adalah PR saya saat ini.

Menjalani kedukaan ditengah banyaknya informasi di media sosial tentang keadaan serupa bisa menjadi boomerang. Saya memilih menghindari konten-konten serupa, memberi diri ini ruang untuk menjadi manusia lagi. Manusia yang mempunyai kelemahan, tidak semua hal harus ada jawabannya. Manusia yang berserah, yang hidupnya dimiliki oleh Tuhan Yang Maha Esa. Sebagai satu-satunya pribadi yang bertanggung jawab atas yang terjadi dalam hidup kita. Kiranya kita semua diberkati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun