Mohon tunggu...
Jimat Kalimasadha
Jimat Kalimasadha Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, blogger

hem, suka baca karena itu saya suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bom di Ruang Keluarga

18 Maret 2013   15:57 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:32 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Cerpen Jimat Kalimasadha

“LIHAT Ibu, anak itu kehilangan kedua tangannya, sekujur tubuhnya terbakar, wajahnya mengalirkan darah, kakinya tinggal satu, dan dia hanya bisa tergolek di atas tempat tidur rumah sakit yang sempit sendirian tanpa ditunggui ayah dan ibunya. Tapi, mengapa anak laki-laki itu tidak menangis?” tanya Linda, gadis berusia sembilan tahun, sambil menatap layar televisi 52 inchi limited edition di depannya.

Pada detik yang lain layar televisi menampilkan sebuah sudut kota yang penuh dengan  puing-puing bangunan runtuh. Beberapa mayat manusia terpendam dalam bangkai tembok hotel tersaruk oleh bulldozer. Bagian anggota tubuhnya telah lepas dan membusuk. Orang-orang menutup hidung, bau anyir memenuhi udara. Jeritan tangis bercampur pekat dengan suara mesin kendaraan berat tersebut, darah berwarna hitam bercampur dengan tanah.

Salah satu dari sekian mayat yang tersaruk bulldozer, kata penyiar berita sore itu, adalah ibu dari anak laki-laki yang kehilangan kedua tangannya, dengan sekujur tubuhnya terbakar, wajahnya mengalirkan darah, kakinya tinggal satu, dan dia hanya bisa tergolek di atas tempat tidur rumah sakit yang sempit. Ibunya, jelas-jelas  telah tewas dan tertimbun di bawah reruntuhan hotel, sedang ayahnya entah di mana.

“Dia sudah tidak bisa menangis,” jawab Ken, ibu sang gadis, sambil berusaha menekan angka lain pada remote control untuk mengalihkan channel. Tapi semua stasiun televisi menayangkan gambar dan berita yang sama atau, dengan pengambilan angelyang  sedikit berbeda.

“Benarkah anak itu tidak bisa menangis?”

“Dia sebenarnya bisa menangis. Tapi, dia sudah tidak mempunyai air mata.”

“Bukankah menangis bisa dilakukan hanya dengan  mengeluarkan suara saja?”

“Suara tangisnya juga sudah habis. Dia tidak bisa menyuarakan tangisnya karena terlalu sakit.  Air mata anak itu sudah habis. Rasa sakitnya  sudah tidak ada terasa. Rasa itu juga sudah habis. Lalu dengan apa dia bisa menangis? Air mata, suara tangis, dan rasa sakit telah berubah menjadi darah yang bercampur dengan tanah,” jawab ibunya dengan emosi ditahan dan keyakinan bahwa jawaban itu sungguh sulit untuk dipahami oleh anak perempuannya.

Ken mendekap putrinya, menutupi bola mata  jernih bocah kecil itu dari kilatan cahaya terang bola api yang membentur hotel bintang lima tersebut pada sebuah malam yang gelap gulita diiringi suara menggelegar dan jeritan orang-orang. Peristiwa ledakan itu memang hanya terjadi beberapa detik di layar televisi. Tapi tayangan itu sudah terlalu cukup bahkan melebihi daya imajinasi anak gadisnya. Perempuan itu tak mampu menjelaskan jawabannya sendiri.

Dia menyesal telah membeli pesawat telivisi sebesar white board dengan subwoofer tercanggih dan menghasilkan suara doubly stereo yang mampu menggetarkan lantai dan dinding kamar. Dia merasa tertipu oleh kenyataan betapa di ruang keluarga yang luas, sejuk, berperabot lengkap, dengan dinding berhiaskan lukisan dan foto-foto keluarga dengan latar belakang Tembok Raksasa Cina itu telah menghadirkan teror sedemikian dahsyat bagi anak semata wayangnya.

Ibu muda itu mengutuki perkembangan teknologi. Dia menyumpahi keberhasilannya menjadi orang tua yang memanjakan anak dan melengkapi ruangan dengan fasilitas serba mewah. Dia menyesal anaknya telah menjadi korban kecanggihan teknologi buatan manusia dan dia kini turut menjadi korban para teroris media dalam dunia kecil yang bernama televisi. Dia tidak bisa berkata apa-apa ketika anaknya sedang dilumat dan dikunyah-kunyah oleh dunia kecil itu. Dia tidak berdaya saat imajinasi anaknya dihantam oleh gambar-gambar teror perang, pemboman, pembunuhan, konflik bersenjata, pemerkosaan, penipuan, kebohongan para koruptor, dan, ouu… sinetron-sinetron yang tak mengajarkan nilai-nilai moral dan kemanusiaan.

Jiwa batin anaknya sama dengan anak laki-laki korban pemboman itu, dan juga sama dengan anak-anak lain yang menjadi korban kebiadaban para orang tua dan para teknokrat dengan tekonologi canggihnya. Seperti anak laki-laki itu, Linda juga tak bisa menangis. Ia ingin marah, ingin menangis juga …

“Matikan saja televisinya, ya sayang. Kita membaca komik atau menggambar pemandangan alam saja,” alihnya.

Linda menggelengkan kepalanya. “Jangan Ibu. Aku ingin melihat anak laki-laki itu lagi.”

“Sebentar lagi ayah datang. Kita main di luar, yuk.”

Dengan malas Linda bangun dari duduknya. Ken cepat-cepat mematikan pesawat televisi. Dia senang bisa mengalihkan perhatian Linda. Dia juga sadar tontonan semacam itu bisa memberi pengalaman buruk pada perkembangan kejiwaan anaknya. Tapi berapa banyak orang tua yang bisa mengontrol anak-anaknya ketika menonton televisi. Setiap jam, setiap menit, di antara nyanyian anak-anak, di antara film kartun yang lucu, di antara iklan-iklan, oo, gambar tragedi kemanusiaan itu menyusup demikian cepat dan menyisakan teror yang dalam. Berita-berita tentang korban perang, pembunuhan warga sipil, hancurnya tempat-tempat bersejarah, dan runtuhnya lautan peradaban oleh gelombang kebiadaban, mengalir tanpa henti seperti lelehan timah yang membatu dalam pikiran.

“Ibu, apakah kalau kita merasakan kesakitan yang luar biasa lantas kita tidak bisa menangis dan air mata kita tak bisa keluar?” pertanyaan Linda belum juga habis. Pertanyaan itu masih bersambung-sambung dalam tempurung kepalanya.

“Kita akan merasakan bahwa sakit yang sangat sakit itu tidak lagi terasa sakit.”

“Bagaimana bisa begitu, Ibu?”

“Begini. Pernahkan Linda tertawa hingga mengeluarkan air mata? Linda mungkin mendengar cerita teman yang sangat lucu atau konyol, atau melihat seorang teman yang bertingkah aneh hingga menyebabkan kamu tertawa terpingkal-pingkal? Dalam tertawa itu, kamu kemudian mengeluarkan air mata seperti seseorang yang sedang menangis.”

“Rasanya pernah, deh.”

“Jika demikian, mungkin nggak ya, sebaliknya. Linda merasa sakit yang luar biasa atau sedih yang sangat hebat, sehingga Linda menangis tapi tak mampu mengeluarkan air mata, bahkan tak bisa mengeluarkan suara.”

Anak itu menggelengkan kepala.

“Ibu pernah mengalami hal demikian ketika melahirkan kamu. Rasa sakitnya tak bisa digambarkan. Tapi kamu tidak tahu, bahkan ayahmu saja tidak tahu. Orang-orang hanya bilang, batasan antara sakit dan nikmat itu sangat tipis. Tapi mereka tidak pernah merasakan. Kalau mereka pernah merasakannya, mereka tidak akan melakukan penyiksaan.”

Linda tidak meneruskan pertanyaannya. Sebenarnya masih banyak pertanyaan yang menggelembung dalam benaknya tapi dia tidak mampu mengutarakannya. Dia belum pernah merasakan kesakitan yang begitu hebat hingga tidak bisa menangis dan tidak mampu mengeluarkan air mata.

Aneh, pikir Linda. Betapa sedihnya anak laki-laki tadi. Ataukah sebaliknya? Anak sekecil itu sudah mengalami penderitaan yang sangat pedih, sampai-sampai dia tidak mengenal batas rasa sakit.

“Mengapa orang-orang dewasa menjatuhkan bom dan melukai anak laki-laki itu? Sebenarnya orang-orang itu ingin mencari apa sih, Bu?”

Ken merasa sulit menjawab pertanyaan anaknya. Dia sendiri juga menanyakan hal yang sama, hanya saja, mungkin dengan bahasa yang berbeda: mengapa demi mempertahankan kekuasaan dan ambisi pribadi mereka mengorbankan orang-orang dan anak-anak tak berdosa?

***

SAMPAI larut malam Linda tidak bisa tidur meskipun dia sudah berusaha memejamkan matanya. Bayangan anak laki-laki yang kehilangan kedua tangannya, sekujur tubuhnya terbakar, wajahnya mengalirkan darah, kakinya tinggal satu, dan dia hanya bisa tergolek di atas tempat tidur rumah sakit yang sempit sendirian tanpa ditunggui ayah dan ibunya itu tidak bisa terhapus dari pikirannya.

Mengapa anak laki-laki itu tidak bisa menangis? Pada malam yang kalut seperti ini, seperti yang dia rasakan, mungkinkah anak laki-laki itu bisa tidur dengan mata terpejam?

Angin malam masuk melalui ventilasi kecil di atas jendela kamarnya. Tapi dia tidak berani membuka gorden jendela itu. Di luar bulan berwarna putih kelabu menyerupai wajah pucat yang tak teraliri darah.

Pikiran Linda tidak bisa lepas dari anak laki-laki itu hingga dia terlelap. Dalam mimpi, anak laki-laki itu seperti pahlawan kecil yang menyelamatkan seorang panglima perang dan terluka parah oleh keganasan peluru musuh. Lalu Tuhan mengirimkan malaikat berbaju putih dan menggendongnya dengan sayapnya yang berkibar-kibar indah. Mereka melintasi awan, mega, pelangi, melewati bulan, bintang-bintang, dan masuk di lapisan langit ke tujuh. Dia turun dari punggung malaikat dan seketika itu dia terpesona oleh pemandangan yang serba indah, serba sejuk, serba gemerlap.

Daun-daun bercahaya seperti lampu merkuri, angin berhembus merdu bagai nyanyian bidadari, dan embun yang menetes di pagi hari menyerupai manik-manik intan putih berkilauan. Air yang mengalir di sungai bawah sana tampak seperti benang raksasa, dibawa oleh layang-layang raksasa, oo, mengapa sungai itu mengalir ke angkasa?

Anak laki-laki itu sangat bahagia. Dia lupa pada sakitnya, lupa bahwa ia sendirian tidak ditunggui oleh kedua orang tuanya. Tubuhnya yang terluka telah kembali seperti sedia kala dan sempurna. Lihatlah! Dia menengok ke belakang, melambaikan tangannya ke arah Linda.

Anak laki-laki itu tersenyum. Dan senyumnya membuat Linda terpesona. Linda membalas lambaian itu. Ia ingin terbang mengikuti anak laki-laki itu. Ia bisa bermain-main dengan bebasnya. Tapi Linda tidak bisa menjangkau. Ia hanya mengerjap-ngerjapkan matanya dan menelan ludah seperti melihat temannya tengah memegang es krim kesukaannya. Begitu inginnya, begitu terpesona!

“Ibu! Ibu! Aku ingin ikut anak-anak laki-laki itu! Nyalakan TVnya. Nyalakan TVnya. Aku ingin ikut dia!” teriak Linda setengah sadar.

Dari kamar tidurnya, Ken tergeragap mendengar jeritan anaknya. Perempuan itu buru-buru membuka pintu kamar tidur Linda dikuti oleh suaminya. Tangan Linda masih melambai-lambai. Wajahnya berpeluh, tangannya berkeringat dingin, dan kedua kakinya masih terbungkus selimut beludru berwarna putih ungu.

Ken mendekap dan menciumi wajah anaknya. Linda belum juga sadar sepenuhnya. “Ibu, aku ingin ikut anak laki-laki itu…” suara Linda terbata-bata.

“Tidak sayang. Kamu mengigau. Kamu bersama ibu.”

Ken tak henti-henti menghibur anak yang sangat ia sayangi dengan segala-galanya. Dia tak tega meninggalkannya tidur sendirian. Semalaman ia tak bisa memejamkan mata. Berita anak laki-laki yang kehilangan kedua tangannya, sekujur tubuhnya terbakar, wajahnya mengalirkan darah, kakinya tinggal satu, dan dia hanya bisa tergolek di atas tempat tidur sempit sendirian itu tidak bisa terhapus dari pikirannya.

Anak laki-laki itu pasti belum juga bisa menangis. Pada malam yang kalut seperti ini, seperti yang dia rasakan, anak laki-laki itu mungkin tidak bisa tidur dengan mata terpejam.

Esok paginya ketika melintasi ruang keluarga yang luas, sejuk, berperabot lengkap, dengan dinding berhiaskan lukisan dan foto-foto keluarga dengan latar belakang Tembok Raksasa Cina itu, Ken menyaksikan pesawat televisi 52 inchi bagai raksasa jahat yang siap menerkam anak semata wayangnya. §

Patiayam, September 2006

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun