Pertama berbeda dengan satu. Pertama selalu ada selanjutnya, namun satu belum tentu ada dua. Aku menulis dalam malam. Mencoba menggerakkan jari, menekan tuts-tuts yang beku. Mencoba mengais apa yang terlintas di kepala. Leher terasa kaku, namun bayangan esok menggelayut mengganjal mata yang lelah. Aku datang dari pulau surga tadi pagi. Meniti urat nadi hidup untuk belahan hati. Cengeng!!
Entah. Besok kami berangkat pagi. Menuju kota yang berbeda. Ada keraguan bertengger di pundak. Membebani. Sebuah perjalanan medley. Tujuan terakhir adalah pulau surgaku. Aku, kami bertiga, sebuah keluarga, seutuhnya.
Pulau surga. Segala keindahan, dan semua memiliki asa padanya. Namun aku telah berada disana, meski keraguan itu ada. Anakku milik masa depan. Lelah.
Sebenarnya ini adalah yang kedua. Satu tahun yang lalu kami pernah mengalaminya. Dengan gembira. Surga seutuhnya. Tiga minggu, namun sekarang dua. Kepalaku pusing menahan kantuk. Namun jemari masih belum. Malam.
Semoga. Dunia tidak selalu sama. Ia terlalu egois. Berputar seenak maunya, tidak ada, ia nihil. Ia satu, bukan pertama, namun bisa juga nihil, seperti kataku, siapa tahu? Berjalan menyusuri urat nadi. Berdegup hati, perut yang kosong, ini malam hari sayang. Senyap. Tidak. Kala tidak memakan hidup. Ia selalu menemani, dalam gelap, bersendawa menahan lapar akan sejarah. Engkau sang pemegang sejarah, kelak, kala selalu memegang janjinya.
Kembali ke esok hari, bersendawa sang kala, kembali. Liku jalanan yang kami tempuh, kecuali satu arah mata angin, menyisir bumi, melawan angkasa. Berteriaklah esok dan lusa. Engkau akan miliki sesuatu di sana. Jauh. Namun yakinlah, ia pasti, dan tidak kemana-mana. Sebuah pelesir ke pulau surga.
Engkau sang pertama, bukan satu. Engkau sang putra ananta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H