jet pribadi yang digunakan oleh Kaesang, putra Presiden Jokowi, memunculkan pertanyaan mendalam tentang apa yang terjadi di balik akses ini. Bagi sebagian orang, hal ini bukan hanya soal kemewahan, tetapi menyentuh ranah keadilan dan transparansi dalam pengelolaan kekuasaan.Â
Di Indonesia, fenomena fasilitas mewah yang diterima oleh anak pejabat, sepertiKaesang, yang merupakan seorang pengusaha dan anak presiden, mendapat perhatian karena pengakuan bahwa jet pribadi digunakan untuk kepentingan pribadi, bukan untuk urusan negara. Ini memunculkan pertanyaan besar: apakah ini bagian dari gratifikasi terselubung yang seharusnya tidak terjadi di dalam sistem pemerintahan yang transparan dan adil?
Di dalam sistem sekuler kapitalisme, tidak ada undang-undang yang secara tegas mengatur bagaimana pejabat atau anak pejabat seharusnya menikmati fasilitas. Selama fasilitas tersebut tidak memengaruhi kebijakan atau keputusan yang diambil dalam urusan negara, dianggap sah.Â
Namun, ini tentu menimbulkan ketimpangan sosial yang semakin besar. Di satu sisi, kita melihat para pejabat dengan akses tak terbatas terhadap fasilitas mewah, sementara di sisi lain, banyak rakyat yang berjuang dengan kehidupan yang penuh tantangan.
Sistem yang ada saat ini cenderung memberikan kebebasan penuh kepada mereka yang berada di atas. Dalam pandangan kapitalisme, selama tidak ada bukti langsung bahwa fasilitas itu digunakan untuk tujuan politik atau keputusan yang melibatkan kepentingan publik, maka itu dianggap bukan sebagai masalah.Â
Tetapi apakah itu berarti kita harus membiarkan ketidakadilan ini terus berlanjut? Bagi banyak orang, masalah ini lebih besar daripada sekadar apakah aturan hukum dilanggar atau tidak. Ini menyangkut kesenjangan antara mereka yang memiliki akses ke fasilitas tersebut dan mereka yang tidak memilikinya.
Dalam sistem pemerintahan demokrasi, yang menganut prinsip kebebasan individu, tidak ada pembatasan yang jelas tentang sejauh mana seorang pejabat bisa menikmati fasilitas mewah selama tidak melanggar hukum yang ada. Namun, di balik kebebasan ini, terdapat sistem yang memungkinkan para pejabat untuk memanfaatkan status mereka demi memperoleh keuntungan pribadi. Fakta ini berpotensi menambah ketidakpercayaan masyarakat terhadap sistem pemerintahan yang ada. Ketiadaan kontrol sosial dan kontrol agama terhadap perilaku penguasa mengarah pada praktik yang dianggap merugikan rakyat banyak.
Hal ini sangat kontras dengan sistem hukum Islam yang memiliki pandangan tegas terkait penyalahgunaan kekuasaan dan gratifikasi. Dalam Islam, gratifikasi atau pemberian yang diterima oleh pejabat untuk kepentingan pribadi jelas dianggap sebagai tindakan yang salah dan haram.Â
Sebagaimana yang diriwayatkan dalam hadis Nabi Muhammad SAW, bahwa "Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kufur" (HR Ahmad). Gratifikasi, dalam perspektif Islam, tidak hanya dilarang, tetapi dianggap sebagai tindakan yang bisa merusak integritas pemerintahan dan merugikan rakyat.
Jika kita menilai dari sudut pandang Islam, maka fasilitas mewah yang diterima oleh anak pejabat, seperti jet pribadi, jika digunakan untuk kepentingan pribadi, akan termasuk dalam kategori gratifikasi yang sangat dilarang.Â
Dalam Islam, pemimpin tidak boleh menggunakan kedudukannya untuk meraih keuntungan pribadi, apalagi menggunakan fasilitas yang sebenarnya dimiliki negara atau dibiayai oleh rakyat. Pemimpin, baik itu seorang khalifah atau pejabat negara lainnya, harus bertanggung jawab atas setiap tindakan yang berhubungan dengan kekuasaan yang diberikan kepadanya.