Pada Februari 2024, Indonesia memiliki jumlah penduduk usia kerja sebanyak 214 juta. Dari jumlah tersebut, sekitar 149,38 juta merupakan angkatan kerja. Namun, hanya sekitar 142,18 juta yang berhasil terserap dalam dunia kerja. Sisanya, sebanyak 7,2 juta orang, tergolong sebagai pengangguran atau mereka yang tidak memiliki pekerjaan. Meskipun angka pengangguran menurun dibandingkan tahun sebelumnya, masalah pengangguran masih menjadi sorotan utama dalam pembangunan ekonomi Indonesia.
Tingkat pengangguran yang tinggi menjadi indikasi bahwa ada sesuatu yang tidak beres dalam sistem ekonomi dan pembangunan di Indonesia. Salah satu penyebab utamanya adalah kegagalan pemerintah dalam menciptakan lapangan kerja yang cukup untuk rakyatnya.
Era industrialisasi seharusnya menjadi momentum untuk menyerap tenaga kerja, namun kenyataannya, hal ini belum terwujud. Bahkan, penyerapan tenaga kerja lebih banyak terjadi di sektor informal, bukan di sektor industri yang seharusnya menjadi andalan.
Salah satu faktor utama kegagalan ini adalah karena pemerintah mengandalkan sektor swasta dalam penciptaan lapangan pekerjaan. Hal ini lumrah terjadi di sistem kapitalisme.
Saat industri banyak dikuasai oleh swasta, akibatnya lebih mengutamakan keuntungan perusahaan daripada kesejahteraan pekerja. Penekanan terhadap upah pekerja dan penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA) tanpa pengendalian yang ketat menjadi masalah lain yang menyebabkan sulitnya lapangan pekerjaan bagi warga Indonesia.
Selain itu, pembangunan industri yang lebih mengutamakan kepentingan oligarki juga menjadi salah satu akar permasalahan. Proyek-proyek besar yang dilakukan oleh pemerintah seringkali lebih menguntungkan kelompok elit daripada rakyat secara keseluruhan.
Hal ini tercermin dari proyek infrastruktur yang seringkali bermasalah dalam pembiayaan dan tidak memberikan dampak langsung yang signifikan bagi masyarakat.
Sudah menjadi rahasia umum dalam istem kapitalisme yang berkelindan dengan demokrasi akan senantiasa memuluskan kepentingan para pemilik modal besar dibandingkan urusan rakyat kecil.
Tak bisa dipungkiri pendidikan juga menjadi faktor penting yang berkontribusi terhadap tingginya angka pengangguran, terutama dari kalangan lulusan SMK. Kurikulum pendidikan yang cenderung mengikuti permintaan industri tanpa memperhatikan aspek kreativitas dan inovasi menyebabkan lulusan SMK cenderung kurang terampil dan sulit bersaing di pasar kerja.
Hal ini menunjukkan bahwa lagi-lagi dalam sistem kapitalis, output pendidikan hanya diarahkan untuk mengenjot keuntungan para pengusaha. Padahal, generasi bangsa haruslah mengedepankan pembelajaran yang berorientasi pada pengembangan keterampilan dan kepribadian yang holistik.