Kenaikan harga beras belakangan ini telah menjadi sorotan utama di sejumlah wilayah di Indonesia. Wakil Ketua Dewan Pembina Gerindra, Dedi Mulyadi, menyoroti reaksi masyarakat terhadap kenaikan harga beras dengan mengaitkannya dengan sikap diam mereka terhadap kenaikan harga barang lain seperti skincare dan rokok.
"Kalau harga beras naik ribut, dunia serasa mau kiamat," kata Dedi dikutip dari kanal YouTube, Kang Dedi Mulyadi Channel (27/2/2024).
Banyak netizen yang geram dengan pendapat Kang Dedi Mulyadi. Pasalnya beras adalah kebutuhan pokok masyarakat, yang tidak bisa dibandingkan dengan skincare atau rokok.
Sebagai bahan pokok masyarakat Indonesia, harga beras mempengaruhi langsung stabilitas ekonomi rumah tangga, terutama bagi mereka yang berada dalam kalangan ekonomi menengah ke bawah.
Kenaikan harga beras berdampak pada pengurangan daya beli, yang pada gilirannya mempengaruhi pemenuhan kebutuhan dasar lainnya seperti lauk-pauk, biaya pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan sehari-hari lainnya.
Dalam video yang diunggahnya Kang Dedi juga mengatakan, "Setiap hari makan nasi dari beras tapi tidak pernah menghargai sawah dan buruh tani."
Kritik tersebut menarik perhatian karena menggambarkan kondisi negara yang tampaknya kurang menghargai peran petani.
Berita terbaru juga melaporkan bahwa kenaikan harga beras tidak selalu menguntungkan petani. Hal ini terlihat pada mundurnya musim tanam padi karena pengaruh fenomena El Nino, yang menyebabkan hasil produksi petani menurun secara signifikan. Di Lumajang, petani juga mengeluhkan biaya yang tinggi untuk menanam, membeli pupuk, dan obat pertanian. Dengan lahan yang terbatas, para petani mengeluh jika hasil panen hanya cukup untuk menutupi biaya produksi dan pengolahan, sementara sisa hasil panen yang tersisa untuk konsumsi pribadi sangat sedikit (Kompastv Jawa Timur, 26 Februari 2024).
***
Muhammad Hatta, seorang ekonom dari Pusat Analisis Kebijakan Strategis (PAKTA), mengungkapkan bahwa terdapat banyak faktor yang menjadi penyebab kenaikan harga beras.