Demokrasi, sebuah konsep yang pada awalnya dianggap sebagai harapan bagi keadilan, kini seringkali menjadi sumber kekecewaan dan kemarahan bagi banyak rakyat. Mahfud MD, saat masih menjabat sebagai Ketua MK (Mahkamah Konstitusi) dan cawapres nomor 3 pada suatu waktu mengkritik perkembangan demokrasi pasca-reformasi, menyatakan bahwa demokrasi yang kita miliki tidak semakin membaik, malah cenderung memperburuk keadaan. Pandangannya menyoroti masalah mendasar yang mengakar dalam sistem demokrasi Indonesia saat ini (mkri.id, 12/2/2013)
Demokrasi yang kita kenal hari ini nampaknya hanya menjadi rutinitas belaka, terutama dalam konteks pemilu. Pemilu, yang seharusnya menjadi tonggak untuk meningkatkan kualitas demokrasi, justru seringkali dipenuhi oleh perilaku-perilaku yang merusak, seperti politik uang, suap-menyuap, dan kecurangan. Ini menunjukkan bahwa demokrasi kita masih jauh dari substansial, belum mampu menghasilkan pemimpin yang berkualitas dan berintegritas.
Guyonan Menteri Investasi Bahlil Lahadalia yang menyatakan bahwa para mahasiswa bisa lebih jahat daripada dirinya ketika menjadi pejabat, mencerminkan betapa merosotnya moralitas dan etika di dalam lingkungan politik kita. Hal ini menunjukkan bahwa problem dalam demokrasi bukanlah terletak pada kesalahan konseptual atau paradigmatik, melainkan pada implementasi yang meleset dari prinsip-prinsip dasarnya.
Kita patut memahami jika dalam sistem demokrasi, hukum diciptakan oleh manusia dan seringkali dilihat dari segi manfaat material semata, tanpa memperhitungkan nilai-nilai moral dan etika. Hal ini menjadikan hukum dapat diperjualbelikan, moralitas diabaikan, dan agama dipinggirkan. Aktor di balik kemunduran ini adalah para penguasa dan pejabat yang tidak bertanggung jawab.
Para politisi seringkali menggunakan strategi pencitraan untuk menyembunyikan wajah asli mereka yang penuh bopeng dari kebobrokan dan ketidakmampuannya dalam mengurus rakyat. Mereka menggoda rakyat dengan janji-janji palsu, namun setelah terpilih, janji itu seolah menguap begitu saja. Siklus ini terus berulang, dengan politisi yang terus memperdaya rakyat untuk mempertahankan kekuasaannya.
Namun, di tengah kerumitan sistem demokrasi saat ini, ada alternatif yang ditawarkan: politik berbasis Islam. Dalam sistem ini, politik tidak dibangun di atas kebohongan dan pencitraan, melainkan di atas prinsip-prinsip akidah Islam yang menuntut kejujuran, keadilan, dan ketakwaan. Proses pemilihan pemimpin tidak dilakukan berdasarkan pencitraan, melainkan berdasarkan rekam jejak dan kelayakan yang sesungguhnya.
Dalam Khilafah Islamiah, misalnya, pemimpin dipilih berdasarkan kriteria-kriteria yang ketat, seperti keadilan dan ketaatan pada syariat Islam. Tidak ada ruang bagi politikus untuk menyembunyikan wajah asli mereka di balik lapisan pencitraan. Akibatnya, rakyat mendapatkan pemimpin yang benar-benar adil dan bertanggung jawab, tanpa tipu-daya dan kebohongan.
Dalam konteks ini, politik berbasis Islam menawarkan solusi yang lebih baik dalam memperbaiki wajah bopeng demokrasi yang sekarang ini bikin rakyat marah. Hal ini bukan hanya tentang mengganti sistem, tetapi juga tentang mengembalikan moralitas, integritas, dan etika dalam berpolitik. Dengan demikian, masyarakat dapat memiliki pemimpin yang benar-benar mewakili kepentingan mereka dan mampu membawa perubahan yang nyata dan berkelanjutan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H