Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur memunculkan sejumlah pertanyaan kritis mengenai nasib kota ini dan apakah akan mengulangi nasib Jakarta. Meskipun pemerintah berusaha menjalin kemitraan dengan investor lokal dan internasional, khususnya "sepuluh naga" seperti Agung Sedayu, Ciputra, Sinarmas, dan lainnya, tetapi apakah kebijakan ini akan membawa dampak positif atau malah menyerupai kondisi kapitalistik di Jakarta?
Jakarta, sebagai ibu kota saat ini, menjadi contoh negatif dengan masalah ekologis yang signifikan, seperti banjir akibat minimnya ruang terbuka hijau. Apakah IKN, yang telah melibatkan sejumlah konglomerat sebagai investor, dapat menghindari nasib serupa?
Menteri Investasi/BKPM Bahlil Lahadalia menyebutkan sejumlah nama besar investor yang sudah bergabung dengan IKN, termasuk Franky Widjaja dari Grup Sinar Mas. Namun, pertanyaannya, apakah keterlibatan investor ini akan membawa keuntungan langsung bagi masyarakat atau malah menjadi sarana untuk mencapai imperialisme ekonomi baru?
Dalam kaitannya dengan keterbatasan APBN untuk IKN, pemerintah memprioritaskan investor dalam negeri untuk membangun fasilitas umum seperti hotel, taman, sekolah, rumah sakit, dan mal. Namun, pertanyaannya, apakah pembangunan ini benar-benar memenuhi kebutuhan rakyat atau hanya untuk kepentingan investor?
Adanya revisi UU IKN yang memberikan investor hak atas tanah selama 190 tahun menimbulkan pertanyaan lebih lanjut. Apakah hal ini hanya akan menguntungkan para investor besar tanpa memperhatikan kepentingan masyarakat? Adakah potensi risiko terjebak dalam imperialisme ekonomi baru di IKN?
Penjelasan mengenai sepuluh perusahaan besar yang menanamkan modalnya, dipimpin oleh Agung Sedayu Group, menunjukkan bahwa nilai IKN tinggi di mata investor. Tetapi, bagaimana dampaknya terhadap perekonomian lokal dan keadilan distribusi kekayaan?
Dalam konteks ini, pandangan Islam memberikan perspektif yang berbeda. Islam mengharamkan investasi yang dapat menguasai kekayaan alam atau harta milik umum. Islam juga menekankan tanggung jawab negara untuk membangun kota untuk memenuhi kebutuhan rakyat, bukan semata-mata untuk keuntungan bisnis.
Pertanyaannya, apakah pemerintah dan investor di IKN mempertimbangkan prinsip-prinsip ini dalam pembangunan? Apakah IKN dapat meminimalkan risiko imperialisme ekonomi baru dan lebih memperhatikan kepentingan dan kesejahteraan masyarakat?
Selain itu, Islam juga menawarkan solusi konkrit untuk mengatasi masalah banjir, yang selama ini menjadi masalah serius di Jakarta. Pendekatan yang efisien dan canggih dalam pembangunan infrastruktur, kebijakan undang-undang yang memperhatikan drainase dan karakteristik tanah, serta tanggapan cepat terhadap bencana alam menjadi bagian dari kebijakan Khilafah.
Dengan melihat isu ini dari berbagai perspektif, baik ekonomi, politik, maupun agama, kita dapat memahami kompleksitas pembangunan IKN dan menilai apakah kota baru ini akan menjadi simbol kemajuan atau justru bagian dari tantangan baru yang harus dihadapi oleh masyarakat Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H