Dalam dongeng tentang kebesaran Jakarta, nama Ali Sadikin seolah menjelma tokoh mitos. Di tangannya, kampung besar bernama Jakarta diubah menjadi kota metropolitan. Ia yang dulu diremehkan banyak orang, telah membuktikan diri bahwa ia bisa. Ali Sadikin seorang revolusioner, padahal ia tentara yang biasanya hidup dalam kungkungan doktrin. Ia melakukan pendekatan-pendekatan melampaui cara gubernur biasa. Ia keluar dari kotak. Sebagaimana ketika ia harus berdebat dengan Rendra secara terbuka.
Tapi seperti halnya kota lain, Jakarta juga terus berkembang. Sepeninggal Ali Sadikin, Jakarta dikepung berbagai persoalan besar. Gubernur satu dan lainnya saling mewariskan kesemrawutan.
 Jakarta terlambat untuk berbenah. 30 tahun lagi sebagian wilayah Jakarta Utara akan tenggelam. Pembangunan gedung pencakar langit terus berlomba dengan pengisapan air tanah. Banjirnya mobil murah, pembangunan infrastruktur jalan yang terkendala, membuat kemacetan tak terkendali. Jalan tol mestinya jadi jalur paling steril. Tapi tidak untuk jakarta. Jalan tol Jakarta sewaktu sore adalah neraka.
 Banyak orang berharap pada dua sosok baru Jokowi-Ahok saat keduanya memimpin Jakarta. Berbagai proyek infrastruktur terus dikebut. Ruang terbuka hijau dan penggusuran industri tak ramah lingkungan, terus diupayakan. Tapi sampai hari ini, apa yang dilakukan Ahok untuk mewujudkan Jakarta Baru masih berkisar mempercantik kali. Kemacetan, soal sampah, premanisme berseragam, masih menjadi momok.
 Progres baik memang mesti dihargai. Jakarta masih beruntung punya Ahok, bayangkan jika gubernurnya Aher. Banjir akan diusir dengan doa. Sampah akan dihalau dengan fatwa haram. Tapi apa yang dilakukan Ahok sebenarnya tidak istimewa. Ia hanya bekerja sesuai wewenangnya. Ahok tidak keluar dari bayang-bayang gubernur sebelumnya. Ia tidak memutus persoalan secara tepat. Tapi masih berdamai dengan kesemrawutan.
 Persoalan kemacetan misalnya, metromini dan angkot dibiarkan berkeliaran dan membuat onar di jalan. Moda transportasi jadul itu mestinya sudah dienyahkan dari kota sebesar Jakarta. Mereka tidak mengurai kemacetan, bahkan menjadi biang kemacetan karena parkir dan ngetem sembarangan. Jika keduanya tetap ingin dipertahankan, sistem kerjanya mesti diubah. Setidaknya meniru Trans Jakarta. Sehingga tak perlu lagi kejar setoran dan membahayakan nyawa penumpang.
 Mobil-mobil murah juga harus diberantas. Orang-orang berekonomi tanggung itu banyak yang tidak punya parkiran. Mereka menggunakan jalan sebagai tempat parkir pribadi. Pemilik mobil di Jakarta, mestinya orang yang benar-benar mampu. Kalau kurang mampu, jangan belagu. Naik kendaraan umum. Jakarta juga harus menerapkan pajak tambahan untuk mobil lama, agar mereka tidak "menyampah" di pinggir jalan karena jarang digunakan. Kiat itu juga berguna untuk mengurangi volume kendaraan, karena orang akan berpikir soal efisiensi.
 Terkait sampah juga tak ada gebrakan genius. Ahok masih terjebak pola pikir lama. Sampai masa akhir jabatannya, ia bahkan tidak berpikir terhadap mesin pengolah sampah. Padahal itu cara paling efektif dan cerdas. Pemerintah DKI memilih cara konvensional yang sia-sia dan terus berulang. Tapi jangankan alat pengurai sampah, tempat sampah saja tidak disediakan di banyak tempat. Kalaupun ada, ukurannya sangat kecil. Orang harus membayar mahal untuk urusan sampah. Atau mereka memilih membuangnya sembarangan.
 Alat pengangkut sampah justru menyampah di sembarang tempat. Truk sampah besar tidak ideal untuk jalan sempit Jakarta. Grobak-grobak sampah menjadi penguasa jalan dan parkiran. Mestinya ada alat transportasi yang lebih maju. Bak penampungan sampah sementara juga sangat menjijikkan. Kadang-kadang pasir dalam karung, hasil pembersihan selokan, dibiarkan menumpuk di pinggir jalan selama berhari-hari. Sudah begitu, petugas pertamanan kadang menutup jalan hanya untuk memangkas dahan pohon. Mereka tidak bekerja dengan konsep cerdas. Padahal ini Jakarta. Ibu kota tempat segala kesibukan berada.
 Soal preman berseragam, Ahok hanya tampil garang di media. Banyak sekali bawahan Ahok yang memelihara keruwetan. Di jalan misalnya, ada rambu-rambu membingungkan yang jadi sumber pemalakan petugas. Mereka tidak mendidik pengguna jalan, tapi mencari-cari kesalahan. Bahkan membiarkan sumber kesalahan tetap ada, seperti jalur masuk tol dan busway. Langkah Ahok hanya simbolis sifatnya. Ia hanya memecat kepala dinas perhubungan. Tapi menggantinya dengan manusia gagal lainnya. Persoalan mendasar yang jadi biang kerok tidak diperbaiki.
 Ada juga preman lain yang gemar menarik pungli pada home industri tak berijin. Modusnya beraneka bentuk. Ada yang menggunakan kaki-tangan. Sehingga citranya tetap bersih. Petugas-petugas itu akan bergerak jika jatah mereka tidak diberikan. Modus-modus seperti ini masih hidup subur. Langkah Ahok dengan lelang jabatan sudah bagus. Tapi mestinya itu ditingkatkan. Masih banyak yang bermain di balik layar. Rt dan Rw memiliki jalur pat-gulipat yang rumit. Membiarkan mereka leluasa bermain, sama saja melanggengkan kesemrawutan.