Mohon tunggu...
kaisar sihombing
kaisar sihombing Mohon Tunggu... lainnya -

seorang yang ingin belajar...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

WARISAN (YANG HARUS KUWARISKAN)

16 Januari 2014   12:06 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:47 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

I

Dua bulan lalu Mahar, teman kecilku, bercerita tentang almarhum ayahnya. “Sesaat sebelum hembusan nafasnya yang terakhir, Bapak memastikan sebidang tanah di kampung jadi milikku,” begitu kisahnya. Hm…warisan, pikirku. Dua minggu sesudahnya, tukang jual rokok di depan biara berbagi kisah kepadaku. Lagi-lagi menyangkut warisan. Hampir setali tiga uang dengan kisah Mahar, teman kecilku.

“Frater, kalung ini peninggalan ayahku, lho!” Dijulurkannya lehernya sambil menyisihkan kerah baju. “Bukan soal harganya, ter,” tambahnya meski aku tidak menanggapi apa-apa. “Puluhan tahun ayahku merawatnya dan ia lalu memberikannya kepadaku,” dengan bangga ia bercerita kepadaku. Hmm….warisan lagi. Kali ini aku mulai menajamkan nalar untuk mengenal perkara yang satu ini.

Warisan memiliki ragam rupa dan kisah. Kucoba membuat abstraksi atas narasi dua sahabatku ini. Aku menyimpulkan, untuk sementara, warisan itu sesuatu yang berharga dari orang yang tercinta. Tunggu dulu… sandal jepit yang usang nan merana milik Pater Humilis amat berarti baginya….Masa iya itu bisa dijadikan warisan? Akh….membayangkannya saja aku tak sanggup.

II

Apapun itu,  arti dan contoh benda warisan,  satu hal yang pasti: ada yang memberi dan ada pula yang menerima warisan. Fakta ini memancing hatiku untuk mulai bertanya-tanya – kenapa seseorang mau memberi warisan? Apakah demi kesejahteraan penerimanya? Kalau ini alasannya, kalung perunggu milik penjual rokok di depan biara tidak akan masuk kategori warisan. Atau simbol ketakikhlasan seseorang untuk meninggalkan dunia yang menjanjikan keenakan daging ini? Mungkin.

Yah….maksud hati bisa berbeda-beda, saudara,” begitu jawab Pater Humilis, pemilik sandal penuh derita nan kumal itu, merespon serbuan pertanyaanku bertemakan warisan.

“Apa yang bisa kamu berikan kepada orang lain? Hidup ini seperti rumput ... segar di pagi hari lalu layu di sore hari dan berakhir di pembakaran. Habis. Sehabis itukah dirimu?” Pastor tua yang kuhormati ini lalu berbalik badan meninggalkan aku terdiam dalam diam. Namun, sejenak ia berbalik lagi, “Sisakan hatimu bagi sesama! Jangan biarkan terbakar begitu saja!” Lalu ia pergi.

Aku yakin, kalimat yang terakhir ini  lahir dari permenungannya. Sayangnya, aku belum yakin bahwa aku sungguh mengerti kalimat itu. Alih-alih diam dalam kebingungan, aku mencoba mengenali diriku: seorang pria, tanpa uang dan benda berharga. Bahkan – yang ini sangat terbuka kemungkinan – aku akan hidup tanpa anak isteri hingga hari tuaku nanti. Setidaknya, itulah konsekuensi ideal yang mesti kutanggung di pilihan hidup yang satu ini. Adakah aku orang yang tak punya sesuatu untuk diwariskan dan tak punya seseorang yang kepadanya warisan kuberikan? Seperti kata pemazmur, boleh jadi aku akan segera layu dan berakhir di pembakaran. Tanpa jejak. Atau lebih hebat lagi, hidupku itu kesia-siaan belaka, seperti kata Pengkotbah. Entahlah...

III

Ketumpulan nalarku di hadapan warisan ternyata tidak bertahan lama. Pertemuanku dengan Pater Historius, dosen Sejarah Gereja, membuka cakrawala pikiranku.

“Cara hidup kita sekarang ini, berjubah dan  berkumpul-kumpul, adalah warisan dari para pendahulu kita!”

“Itu warisan?”

“Kamu bangun pagi-pagi lalu pergi tidur larut malam. Seharian kamu berdoa. Itu buah pewarisan tradisional. Warisan. Percuma bila tidak dimaknai!”

Eureka!! Warisan tidak melulu soal materi, sorakku dalam hati. Mata kuliah ini seketika menjadi begitu menarik bagiku, setidaknya... pada hari ini!

Nalarku di hadapan warisan kini menajam. Dosen yang gemar ngopi di kelas ini mulai menjelaskan. Bapak-bapak tua semacam Plato dan Aristoteles mewariskan paham idealisme dan realisme yang termashyur itu. Ide bukan materi. Kemudian dikisahkannya Justinus Martir dan para pembela iman sezamannya. Demi iman, mereka menghasilkan karya-karya yang membentengi iman dari serangan para kafir Romawi. Pembelaan itu yang mereka wariskan kepada orang, hingga kini. Bukan harta atau emas. Pater Humilis menambahkan lagi data historis lainnya, hingga sampai pada kisah di tahun 1500an.

“Pada tahun ini, Ordo Kapusin hadir untuk menjaga warisan Santo Fransiskus,” dengan nada yang sedikit berbeda ia mengucapkan kalimat terakhir ini.

“Warisan apa itu, Romo?” tanya mahasiswa awam yang  di sampingku.

“Hidup dalam ketaatan, tanpa milik dan dalam kemurnian...,” ucapnya lirih. Tidak setegas sebelumnya. Agaknya ia sadar, warisan itu hadir untuknya juga. Seisi kelas seketika menjadi sangat bisu. Yang berjubah membisu dalam permenungan atas warisan pendahulu masing-masing. Mahasiswa awam juga membisu, heran melihat kebisuan orang-orang yang berjubah. Warisan berupa hidup dalam ketaatan, tanpa milik dan dalam kemurnian. Sekali lagi, warisan tidak hanya  harta yang habis dimakan ngengat.

IV

Kerisauanku karena tidak punya sebidang tanah di kampung dan seutas kalung perunggu pupus sudah. Warisan, kan, bukan hanya soal barang semacam itu lagi. Hanya saja, aku bingung mau berbuat apa untuk meninggalkan sebuah warisan. Otakku tidak setajam otak Plato dan Aristoteles dalam mengabstraksikan pengalamannya. Iman dan keberanianku pun tidak semantap yang dimiliki Justinus Martir. Dalam kebuntuanku, terlintas di memoriku kata-kata indah Mother Theresa, “Aku tidak bisa melakukan hal-hal yang besar. Yang bisa kulakukan hanyalah hal-hal yang kecil dengan cinta yang besar.” Hal kecil.

Kata mujarab ini akhirnya menginspirasiku. Segera aku beranjak dari tempat dudukku. Aku berlari kecil memenuhi permintaan semangatku yang berkobar dan berkibar. Setibanya di depan kamar Pater Humilis, aku memanggil-manggil dia. Lalu, kepada Pater Humilis yang telah berdiri di hadapanku, aku berkata, “Pater, ajari aku agar mau memakai itu!” Kutunjuk sandalnya yang usang, jelek dan merana itu. Ia hanya tersenyum. Sebuah senyum dari penanggung jawab warisan hidup membiara.

Kaisar Octavianus Sihombing, ofmcap

Alverna, awal Juli, 2013

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun